Perjanjian Kerja

1092 Words
Selalu seperti ini. Aku terkesima sendiri melihat Ari. Penampilannya tidak serapi seperti saat pertama kali kami bertemu kembali. Tapi entah kenapa di mataku dia tetap menawan. Postur tubuhnya yang tegap, badannya yang cukup berisi, dan tone kulitnya tampak bercahaya di mataku. Ya Tuhan, apa yang aku lakukan? Aku segera membuang pandang. Bisa-bisanya aku memuji lelaki lain selain suamiku sendiri. Tanpa sadar aku menggigit bibir, gelisah. "Wah, Boy! Kamu ganteng banget. Udah rapi. Mau ke mana?" tanya Ari, mencolek hidung Geo sembari membungkuk. Mensejajarkan tingginya dengan Geo. "Aku mau ngaji nanti jam empat, Om." "Wah, keren. Mau Om antar?" "Mau, Om," jawab Geo cepat. Astaga anak itu. "Ya udah. Ayo kita duduk dulu." Dengan mudah Ari bisa memindahkan tangan mungil Geo ke tangannya. Geo sendiri dengan suka hati melakukannya, melepas pegangan tanganku dan menggapai tangan lelaki itu yang terulur. Aku mengikuti mereka di belakang, memasuki kantor operasional kedai. "Nah, Geo duduk di sana dulu ya. Om mau ambil sesuatu." Ari bergerak menuju meja kerja yang ada di sana dan mengambil sebuah map berwarna merah. "Nah, ini kontrak kerjanya. Kamu baca dulu aja. Kalau setuju, kamu bisa tanda tangan," ujar Ari mengangsurkan map itu padaku. Aku menerimanya dan mulai membuka halaman pertama. "Kamu mau berdiri gitu aja? Duduk dong, Va." Aku celingukan, menyadari ternyata aku masih saja berdiri. "Oh iya lupa." "Setiap dua tahun sekali kontrak kerja akan diperbarui. Makanya masa kontrak dua tahun. Bisa diperpanjang kalau kamu betah dan kondisi kedai makin maju," terang Ari begitu aku duduk di seberangnya. Aku membaca setiap poin yang ada di kertas perjanjian kerja dengan hati-hati. Jika tidak ada yang aku pahami aku menanyakan kepada Ari. Secara keseluruhan sama saja dengan kontrak kerja yang pernah aku tanda tangani saat kerja dulu. Gaji yang ditawarkan sesuai yang Ari bilang, bahkan di sana ada bonus-bonus bersyarat. Lalu mengenai jam kerjaku yang fleksibel juga ada di sana. Hanya saja, aku tidak menemukan poin tentang inventaris kendaraan yang aku gunakan. "Jadi, gimana? Ada yang nggak kamu setujui?" tanya Ari begitu aku selesai membaca draft perjanjian kerja itu. "Mas, soal motor itu..." "Tidak ada di situ. Itu hanya ada di kebijakan kantor tanpa tertulis di perjanjian." Aku sangsi itu kebijakan kantor. Paling juga kebijakan Ari pribadi. Tapi, kalau aku menolak pasti Ari akan terus membujuk dengan berbagai dalih. Ari menyodorkan pena ke depanku. "Bisa tanda tangan sekarang?" Aku menarik dan mengembuskan napas, lalu meraih pena itu. Sudah ada tanda tangan Ari di sana terlebih dulu. Tinggal bagianku yang kosong belum terisi. Hanya ada selembar materai sepuluh ribu. Aku lantas membutuhkan tanda tangan di sana dalam keadaan sesadar-sadarnya. Setelah aku selesai menandatangani di beberapa bagian, Ari mengulurkan tangannya. "Selamat bergabung di kedai kami, Riva," ucapnya seraya tersenyum. Aku menyambutnya dan sedikit membalas senyumnya. "Kalau aku melakukan kesalahan. Tegur aja ya, Mas." "Oh, jelas," sahutnya lantas terkekeh. Ari melirik Geo di sebelahnya. "Geo mulai hari ini mama kamu bekerja di sini. Kamu bolehin kan?" tanya Ari padanya. "Beneran itu, Ma?" tanya Geo menatapku. Aku hanya mengangguk dan mengedipkan mata. "Oh, jadi Mama kerjanya di sini. Bos di sini baik, Om. Masa mama dipinjemin motor?" ucap Geo dengan polosnya kepada Ari. "Benar kah?" "Iya loh. Om mau lihat enggak motornya? Bagus loh. Warna hijau." "Nanti Om lihat ya. Sekarang kamu berangkat ngaji dulu. Jadi enggak nih dianter sama Om Ari? Mama kamu biar kerja dulu." "Jadi dong, Om." "Mas, nggak perlu repot. Biar aku yang nganter Geo aja," selaku yang merasa tidak enak selalu merepotkan lelaki itu. "Nggak apa-apa, Va. Aku sekalian mau pulang ke rumah. Nanti pulangnya kamu yang jemput Geo." Aku lagi-lagi hanya bisa pasrah. Apa lagi Geo terlihat sangat antusias pergi bersama Ari. Aku mengantar mereka sampai parkir mobil. "Mas, makasih, ya. Lagi-lagi repotin kamu," ujarku beneran merasa tak enak. "Santai aja kali, Va. Kayak sama siapa aja," ucap Ari menyeringai. Lalu membantu Geo naik ke mobilnya yang tinggi. "Assalamualaikum, Mama. Jangan lupa nanti jemput Geo ya," ucap Geo, tangannya melambai. "Walaikumsalam. Jangan bandel ya." Aku baru kembali ke kedai ketika mereka sudah keluar area parkir dan bergabung dengan pengendara lain di jalan raya. "Mbak Riva pacar Pak Ari ya?" tanya Meri begitu aku memasuki kedai. Pertanyaannya lumayan membuatku terkejut. Aku tersenyum canggung. "Bukan, Mbak Meri. Kami teman." "O-oh, saya kira pacar Pak Ari. Habis akrab banget." Meri terkikik. "Kalau anak kecil tadi siapa? Kalian itu seperti satu keluarga kecil." Aduh, aku baru masuk kerja padahal, tapi sudah kena gosip. "Dia anak saya, Mbak." "O-oh," Meri ber-oh panjang. "Oke, Mbak. Kalau gitu saya permisi pulang ya, Mbak. Saya titip kedai." "Iya. Hati-hati di jalan ya." Perempuan cantik itu melambai dan keluar dari kedai. Aku menghela napas sebelum mulai bekerja. Memastikan semua stok untuk besok pagi aman. Pekerjaanku selesai bertepatan dengan jam jemput Geo. Aku menghubungi Ari terlebih dulu sebelum pamit menjemput Geo. "Kamu nggak perlu izin sama aku, Va. Kamu tinggal titip pesan saja sama ketua tim sif itu. Nanti aku ke sana sekitar pukul tujuh setelah makan malam dengan Chilla," ujar Ari di sana. Aku tahu itu. Hanya saja aku masih baru di sini. Dan, tidak enak saja kalau harus pulang lebih dulu. "Iya, Mas." "Oke, kamu hati-hati ya di jalannya. Sore begini biasanya ramai." Geo berlari-lari kecil ketika aku sampai di tempat les ngajinya. Dia tersenyum senang dan langsung memposisikan diri di depanku. "Tadi aku dibelikan kue sama Om Ari. Banyak deh, Ma. Ini aku simpan di tas," tutur Geo. "Aduh, Geo. Jangan repotin Om Ari terus dong. Kan Mama jadi nggak enak," ujarku sembari meringis. "Aku nggak tau, Ma. Tadi itu Om Ari mampir ke mini market dan nggak bilang kalau mau beliin kue buat aku. Terus tiba-tiba Om Ari kasih kantong plastik gede isinya kue-kue," jelas Geo, ikut merasa bersalah. "Besok lagi kalau dianter Om Ari Geo bilang deh biar nggak usah mampir ke mini Market." Aku menggeleng mendengar pemikiran polosnya. "Nggak ada besok lagi. Kamu akan dianter-jemput Mama seperti biasa," ujarku menyalakan kembali mesin motor. "Uh, padahal enak naik mobil Om Ari. Keren!" "Naik motor sama Mama emang nggak keren?" tanyaku mulai melajukan motor dengan pelan. "Keren juga sih, Ma. Tapi, Om Ari lebih keren dong," seru anak itu semangat. "Oh iya kamu ngucapin terima kasih enggak sama Om Ari?" tanyaku, motor matic yang kami tunggangi sudah melaju bersama pengendara lain. "Udah dong, Ma." "Lalu apa yang akan kamu bilang sama papa kamu kalau papa liat kue kamu sebanyak ini." Geo tiba-tiba memukul kepalanya sendiri. "Aduh, Ma. Bilang apa ya? Kan nggak boleh bohong." Aku menggeleng. "Kalau begitu jangan tunjukkan kue kamu sama papa kamu. Nanti mama yang kena marah." "Oke! Bakal Geo simpan di tas aja."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD