Perkara Motor

1066 Words
Aku dan guru kelas Geo terkekeh. Geo lari ke dalam ruang guru lantaran kaget melihatku yang menggunakan motor. Dia pikir aku bukan mamanya. Anak itu lantas bergerak ke sampingku, dan berpamitan kepada gurunya. "Tadi aku kaget Mama pake motor. Mama kan nggak punya motor," ujar Geo saat kuminta naik ke atas motor. Dia memilih duduk di depan seperti yang sering teman-temannya lakukan. "Iya, mama dapat pinjeman dari tempat kerja Mama," sahutku lalu menyalakan kembali mesin motor, dan putar balik keluar gerbang sekolah TK Geo. "Jadi, ini cuma pinjem? Nanti dibalikin ya, Ma?" "Iya. Kalau Mama enggak kerja di sana lagi ya Mama balikin motornya." Geo di depan mengangguk-angguk. "Kalau gitu Mama kerja aja biar Geo bisa dijemput pake motor, kalau pake motor kan cepat." Aku hanya terkekeh menanggapi ucapan anak yang usinya hampir enam tahun itu. Sebelum pulang ke rumah, aku menyempatkan diri membeli lauk dan sayur yang sudah matang di warung dekat perumahan. Mereka menyediakan aneka lauk pauk siap makan. "Mama nggak masak ya?" tanya Geo saat kami berhenti di warung itu. "Iya, mama kan baru pulang kerja. kita beli lauk buat makan siang aja, nanti sore mama masak buat papa kamu." "Ayam goreng boleh enggak, Ma?" Aku pura-pura berpikir. "Memang kamu nggak bosen sama ayam?" "Enggak sih, ipin aja nggak bosen sama ayam goreng. Kan enak, Ma." Aku terkekeh singkat dan mengusap rambutnya. "Oke, mama belikan ayam goreng tapi kamu harus makan sayurnya juga ya," ujarku membantunya turun dari motor. "Oke, Ma." Kami langsung pulang setelah membeli sayur matang dan ayam goreng untuk Geo. Sudah lama sekali aku tidak pernah beli makanan jadi seperti ini. Aku lebih memilih masak sendiri karena jatuhnya lebih irit daripada beli jadi. Ari meneleponku saat aku sedang mempersiapkan nasi untuk Geo. Anak itu sudah berganti baju biasa, dan duduk bersiap di depan meja makan. "Bagaimana kerja hari pertama, Va?" tanya Ari di ujung sana. Aku menghela napas dan bergerak menuju meja makan dengan membawa sepiring nasi untuk Geo. "Mas, apa kamu enggak terlalu berlebihan?" "Berlebihan gimana?" Nada suara Ari terdengar bingung. "Mas, kerjaanku ringan tapi kamu memfasilitasi aku motor." "Itu buat mobilitas kamu, Va. Ingat kan kedaiku ada dua. Dan jaraknya nggak dekat. Kamu butuh kendaraan." "Tapi...." "Aku yakin suami kamu juga pasti mau mengerti. Anggap aja itu motor inventaris. Kamu nggak perlu memusingkannya." Sudah aku duga Ari pasti akan bersikeras agar aku mau menerima motor itu. "Apa karyawan lain juga sepertiku? Kamu beri fasilitas motor?" tanyaku. Aku merasa tidak enak saja. Baru masuk tapi sudah diberi keistimewaan. "Enggak. Mereka beda dong, Va. Kamu kerjanya kan nggak cuma ngurus satu kedai." Aku kembali menghela napas dan duduk di kursi berhadapan dengan Geo yang sudah menyantap makan siangnya. "Va, kamu nggak perlu khawatir. Itu motor buat kerja kamu. Ada alasan kenapa aku memfasilitasi motor itu. Oke?" ucap Ari terdengar meyakinkan aku. Aku mengangguk pasrah. "Oke." seenggaknya aku punya alasan ketika nanti Bayu menanyakan tentang motor itu. "Bagus. Jam tiga kamu bisa menemuiku di kedai kan? Kita akan menandatangani perjanjian kontrak." "Bisa, Mas." "Oke." Lantas kami terjebak keheningan untuk beberapa saat. Merasa tidak ada yang perlu kami bicarakan aku berniat mengakhiri obrolan ini. Tapi.... "Va...." "Ya?" "Terima kasih." Aku mengernyit mendengarnya tiba-tiba berterima kasih. Bukannya seharusnya aku yang melakukannya? "Kenapa kamu berterima kasih?" "Karena kamu udah mau bekerja di tempatku." Ini benar-benar aneh. Aku menahan untuk tidak tersenyum, tapi gagal. "Bukannya harusnya aku yang berterima kasih sama kamu? Karena kamu udah ngasih aku pekerjaan yang supportable banget buat ibu rumah tangga kayak aku." Kekehan Ari di ujung sana terdengar. Dan ini seolah dejavu. Aku dulu sering mendengar tawanya melalui telepon. Saat kami menjalani hubungan jarak jauh. Sekarang aku mendengarnya lagi. "Oke. Sama-sama kalau gitu. By the way Geo sedang apa?" Aku mengerjap dan menggeser pandangku ke Geo yang sedang menggigit ayam gorengnya. Senyumku terulas. "Dia lagi makan siang." "Wah, hebat. Chilla nanyain dia terus. Pertemuan pertama mereka kayaknya berkesan buat anak itu." Aku makin melebarkan senyum. Sebenarnya sama saja. Geo juga begitu. Tapi aku tidak akan mengatakannya atau Ari akan mencetuskan ide agar mereka bertemu kembali. "Kapan-kapan biarkan mereka bertemu, nggak apa-apa kan? Atau kita merencanakan untuk pergi ke suatu tempat dan..." "Mas," potongku cepat. Aku tidak akan membiarkan dia merencanakan hal-hal yang mustahil. "Please, jangan bahas itu ya." "Kenapa?" "Apa harus aku jelaskan?" Ah, aku tidak mau melanjutkan pembicaraan ini. "Maaf, Mas. Aku tutup dulu. Geo harus mengerjakan PR. Sampai ketemu nanti." Aku mematikan sambungan sebelum ada jawaban dari Ari. Ini memang terdengar tidak sopan. Tapi Ari perlu paham ada batasan yang harus aku jaga. "Papa telepon, Ma?" tanya Geo saat aku mengakhiri panggilan. Aku menggeleng. "Dari teman. Kamu makannya sudah?" Geo mengangguk lalu mendorong piringnya yang sudah kosong. "Ayam gorengnya enak, Ma. Tapi lebih enak lagi ayam goreng di restoran Om Ari." Aku menarik napas panjang. Lagi-lagi aku mendengar Geo menyebut nama Ari. "Mama cuci piring kamu dulu ya." Aku mengambil piring kosong Geo dan beranjak ke dapur. "Mama nggak makan?" tanya Geo terdengar bingung. "Ini capcainya enggak dimakan?" "Iya, ini mama mau ambil nasi dulu." Aku meminta Geo untuk lebih sedikit awal berangkat les mengaji karena aku harus menemui Ari dulu di kedai. Sudah aku duga akan banyak pertanyaan dari anak itu. Tapi, aku tidak terlalu memberinya banyak jawaban. "Mama akan menandatangani perjanjian kerja dulu sebentar, Geo." Meski tak paham, dia tetap menurut dan mengikutiku. Kami sampai tepat pukul tiga sore di kedai kopi Ari. Sempat aku melihat mobil Ari ada di salah satu jejeran mobil yang terparkir di depan kedai. "Ma, kok kita ke sini? Kita mau makan di sini lagi?" tanya Geo ketika aku memarkirkan motor di parkiran khusus motor. "Enggak, Geo. Mama ada urusan sebentar." Wajah anak itu tampak heran, tapi menurut saja saat aku ajak dia memasuki kedai. Aku menyapa beberapa pegawai kedai yang berpapasan denganku. Beberapa sudah berganti sif. Oh ya, di kedai ini menerapkan dua sif, karena kedai buka hingga pukul sepuluh malam. Geo menyentak tanganku karena aku terus membawanya masuk ke dalam kedai. "Ma, kok kita enggak duduk di sana sih?" "Itu buat pengunjung, Geo. Mama kan ke sini ada urusan pekerjaan." Geo tidak lagi banyak tanya dan terus saja mengikutiku. Dan tiba-tiba dia berseru lantang. "Om Ari!" Langkahku seketika berhenti. Dan menoleh ke arah yang Geo tunjuk. Ari yang tengah bicara dengan pegawainya juga menoleh dan melihat kedatangan kami. Senyumnya merekah dan tangannya melambai kepada kami. Aku melirik wajah Geo yang sumringah, dia tampak bahagia menemukan Ari di sini lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD