Motor Baru

1102 Words
Aku pergi ke kedai setelah mengantar Geo ke sekolahnya dan menitipkan anak itu kepada gurunya. Di pintu masuk masih tergantung tulisan closed yang artinya kedai belum buka. Tapi, Ari sudah mengintruksiku untuk langsung masuk saja. Di dalam wanita bernama Meri katanya sudah menunggu. Seorang wanita cantik datang menghampiriku. "Mbak Rivana ya?" Aku tersenyum. "Betul, saya Rivana. Mbak Meri?" Meri tampak tersenyum lega dan membenarkan. "Yuk ikut saya ke kantor." Aku tidak tahu kalau di kedai ini ada kantornya. Wanita bernama Meri itu membawaku masuk lebih dalam ke kedai. Dia lalu mempersilakan aku masuk ke sebuah ruangan. Ternyata yang disebut kantor itu ada di bagian belakang bangunan. Yang tidak aku tahu, di belakang ternyata ada sebuah taman. Aku meneguk ludah. Ini kah kedai yang Ari sebut? "Silakan masuk, Mbak." Meri memintaku duduk di sebuah sofa. Lalu dia sendiri duduk di sofa seberangku. "Baik, Mbak Riva. Sebelumnya perkenalkan saya Meri manajer operasional kedai ini...." Manajer? Bahkan Ari sudah memiliki menajer operasional, lalu kenapa dia masih butuh orang untuk mengecek kedainya? Aku yakin di kedai satunya lagi dia pun memiliki manajer operasional. "Karena Pak Ari belum mau resign dari perusahaan tempatnya bekerja, dia agak sedikit kewalahan jika harus mengecek kedainya yang di sini. Pas baru satu mah dia bisa. Tapi sepertinya dia mulai sibuk lagi. Makanya dia butuh asisten. Untuk menggantikannya," terang Meri seolah tahu kebingunganku. "Ya meskipun di sini sudah ada saya sebagai manajer, tapi sebagai pemilik pasti Pak Ari juga ingin mengecek kedainya. Dan beliau mempercayakan tugas itu kepada Mbak Riva," lanjutnya lagi. "Oh iya, Mbak Riva sudah membawa CV yang Pak Ari minta?" "Saya bawa, Mbak." Aku langsung mengeluarkan sebuah amplop cokelat yang berisi CV dadakan yang aku buat. Isinya juga hanya copy paste dari sebuah blog. Aku sudah lama tidak pernah lagi melamar pekerjaan. Jadi, saat tiba-tiba Ari memberitahuku untuk membawa CV, aku sedikit kebingungan. "Oke, Mbak. Sambil jalan aja ya, Mbak. Untuk pakaian, Mbak Riva tidak perlu seragam seperti kami. Mbak bebas memakai apa pun asal rapi dan sopan. Anggap saja kedai ini kantor, Mbak. Oh iya, Mbak Riva juga bisa menggunakan ruangan ini sebagai tempat kerja. Sebenarnya ini ruang kerja Pak Ari, tapi berhubung Pak Ari paling malam ke sininya, jadi ruangan ini bisa Mbak Riva gunakan di pagi atau sorenya. Ada yang ingin Mbak Riva tanyakan?" Aku sontak mengingat percakapanku dengan Bayu semalam. "Oh iya. Apakah saya perlu menandatangani kontrak kerja, Mbak?" Meri mengangguk. "Tentu Mbak. Penandatanganan perjanjian kerja kemungkinan sore. Nanti Pak Ari yang akan langsung mengurusnya. Ada lagi pertanyaan, Mbak?" tanya Meri lagi. Aku menggeleng. Lebih baik aku langsung bekerja saja. "Baik, kalau enggak ada yang perlu ditanyakan. Mbak Riva bisa ikut saya. Saya akan mengenalkan kepada Mbak Riva pegawai-pegawai di kedai ini. Dan akan memberitahu apa-apa yang akan Mbak Riva kerjakan." Aku benar-benar menjadi anak on the job training sekarang. Meri memberitahu padaku semua hal tentang kedai ini. Mengenalkan para pegawainya, dari mulai bagian belakang sampai bagian depan. Hingga apa-apa yang harus aku lakukan selama bekerja. Ari ternyata benar. Tidak ada pekerjaan berat yang harus aku lakukan. Tugasku hanya mengawasi para pegawai dan memastikan semua stok bahan makanan aman. Sementara Meri dia lebih ke operasional, memastikan makanan yang kedai ini jual aman sampai ke depan pelanggan. Atau dia yang akan menangani segala keluhan pelanggan. Intinya yang berkaitan dengan operasional kedai dia yang mengerjakannya. "Nah, ini data stok hari ini, Bu." seseorang yang bertugas sebagai juru masak menyerahkan selembar kertas kepadaku. Aku masih harus mempelajari beberapa hal terkait batas maksimum dan minimum stok bahan. "Oke, terima kasih." Aku juga harus menyimpan beberapa nomor supplier agar memudahkan aku untuk menghubungi mereka. Pukul sebelas siang aku meminta izin untuk menjemput Geo ke sekolah. Aku bergegas keluar dari kedai. Namun saat berhasil keluar, Meri berseru memanggil. Dia tampak tergopoh menghampiriku. "Ada apa, Mbak Meri?" tanyaku bingung. Melihatnya sampai berlari mengejarku. "Ada yang saya lupa." Dia tampak merogoh saku celananya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. "Ini titipan dari Pak Ari." ujarnya menyodorkan sebuah gantungan dompet kulit. Oh, bukan. Ternyata itu bukan sekedar gantungan. Ada sebuah kunci di gantungan itu juga. "Apa ini Mbak?" tanyaku agak terkejut. "Kunci motor buat transportasi Mbak Riva. Tuh motornya ada di sana." Meri menoleh ke arah parkir dan menunjuk sebuah motor matic berwarna hijau. Bentuk motor itu mirip seperti vespa, tapi ini versi manisnya. Ternyata ucapan Ari kemarin itu benar. Astaga. "Kok Mbak diam aja sih? Ini kuncinya." Aku yang masih belum menyambut kunci itu terkesiap. "Harusnya ini nggak perlu, Mbak." Meri nyengir. "Saya kan hanya disuruh Pak Ari, Mbak." Dia menarik tanganku dan meletakkan kunci itu ke telapak tanganku. "Udah, pake aja, Mbak. Kamu pasti butuh." Setelah mengatakan itu, dia kabur masuk kembali ke kedai. Aku bingung menatap kunci motor yang ada di genggaman tanganku. "Kenapa begini sih?" Aku ingin menghubungi Ari, ingin protes soal motor ini, tapi dia pasti sedang sibuk di kantornya. Akhirnya dengan pasrah aku menghampiri motor itu. Bentuk motor itu mungil dan sangat bagus. Dilihat dari kartu pajaknya sih motor ini baru sekitar satu tahun. Lumayan masih sangat baru. Geo pasti kaget aku menjemputnya dengan motor itu. Di atas motor itu terdapat dua buah helm yang satu tersangkut di kaca spion dan satunya lagi ada di atas jok motor itu. Aku memindahkan helm yang berbentuk lebih kecil itu ke cangkolan depan. Lalu aku sendiri memasang helm ke kepala. Dengan perasaan berdebar, aku mulai menaiki motor tersebut dan menyalakan mesinnya. Bunyinya teramat halus. Ah, aku sudah lama mendambakan naik motor sendiri jika mengantar-jemput Geo. Dan akhirnya hari ini bisa terwujud, tapi anehnya aku merasa ada yang mengganjal di hati. Aku perlu bicara dengan Ari nanti. Yang penting saat ini aku harus segera menjemput Geo karena sudah sangat terlambat. Aku melajukan motor dengan kecepatan sedang. Menyusuri jalan menuju sekolah Geo. Tidak membutuhkan waktu lama, hanya sekitar sepuluh menit. Sekolah Geo tidak terlalu jauh dari kedai. "Wah! Mama Geo motornya baru nih!" sapa seseorang, salah satu wali murid dari teman Geo. Ibu-ibu glamour yang sering mengantar anaknya menggunakan motor matic besar. Aku hanya tersenyum dan pamit masuk ke gerbang sekolah. Aku memarkirkan motor tepat di depan kelas Geo karena suasana sekolah sudah sepi. Kulihat Geo sedang bermain-main di depan ruang guru. Dia tidak melihatku datang. Mungkin dia pikir yang datang orang lain sehingga dia mengabaikan. "Geo!" seruku memanggil. Geo yang sibuk entah bermain apa, menoleh. Dia sontak berdiri. Bukannya menghampiriku dia malah lari memanggil gurunya. Aku bergerak melepas helm dan turun dari motor. Lalu berjalan menyusul anak itu yang sudah lebih dulu masuk ke ruang guru. "Selamat siang," sapaku begitu memasuki ruang guru. Aku bisa melihat Geo bersama dengan wali kelasnya. "Itu bener Mamanya Geo kok," ujar wali kelasnya tersenyum. Ada apa ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD