Ruang kerja Cedric dipenuhi aroma tinta dan lilin yang hampir padam saat pria itu pulang dan memasuki ruang kerjanya.
Di atas meja, peta wilayah kekuasaan keluarga kerajaan terbentang. Namun perhatiannya tidak tertuju pada peta itu. Matanya justru menatap selembar kain tipis berwarna putih gading, dengan noda samar di tengahnya. Bekas itu—jejak halus berwarna merah, merupakan satu-satunya petunjuk yang ditemukan oleh salah seorang pengawal yang dimintanya untuk mencari Elena semalam. Kain linen itu direbut dari tangan seorang pelayan yang tampak baru selesai merapikan beberapa kamar di Istana.
"Darah?" gumamnya pelan, menatap kain tersebut dengan segudang pertanyaan terlontar di dalam benaknya. "Mungkinkah ... ini miliknya?" Seingat Cedric tidak ada anggota keluarga kerajaan yang masih perawan saat ini. Sejauh yang ia tahu, semua yang ia kenal sudah berkeluarga. Tapi tidak dengan semua putri bangsawan yang menghadiri pesta tadi malam. Dan juga ... Elena.
Ia lalu bersandar di sandaran kursinya, menautkan jari-jari tangannya di depan wajahnya. "Elena Light ... dia tak akan semudah itu menyerahkan tubuhnya pada seseorang yang tidak dikenalnya. Benar, 'kan?" Cedric menggelengkan kepalanya, tidak! Ia sangat mengenal siapa Elena, dan dalam berbagai kondisi, wanita itu pasti akan mempertahankan kehormatannya. Apalagi dia seorang penyembuh, darah keluarga Light juga sangat istimewa.
Dan, jika Elena sampai memilih menghindarinya yang luar biasa tampan ini dalam kondisinya yang seperti semalam—well, kebetulan ia kerap mendengar pujian itu dari bibir para putri bangsawan. Maka wanita itu pasti lebih memilih menyembuhkan dirinya sendiri demi menjaga kehormatannya persis dengan apa yang diucapkannya di rumah mewahnya beberapa saat yang lalu.
"Aku melakukan hal itu atas nama cinta, mencoba mencegah skandal agar tidak mencoreng namamu."
'Tapi bagaimana dengan bekas merah di lehernya?' Suara ketukan di pintu seketika membuyarkan lamunan Cedric.
"Masuk," ucapnya dingin.
Seorang ksatria berpakaian seragam abu-abu yang bekerja pada keluarganya, masuk dan menunduk dalam. "Lord, kami telah bertanya pada para pengawal istana sesuai perintah Anda. Salah seorang yang menjaga gerbang mengatakan, bahwa semalam kereta Sir Aldric pergi meninggalkan Istana sekitar hampir tengah malam. Sir Aldric sempat menyapanya dan berkata kalau putrinya sedang tidak enak badan. Jadi dia mempersilakan kereta itu lewat tanpa memeriksanya terlebih dahulu. Dan seorang pengawal lainnya ikut membenarkan ucapannya. Pria itu bahkan benar-benar melihat jika Lady Light berada di dalam kereta tersebut ketika tirai keretanya tertiup angin."
Cedric mengangkat wajahnya. "Berarti semalam dia pulang bersama ayahnya?" Ia menyipitkan matanya. "Tapi mengapa semalam Sir Aldric mengatakan bahwa dia tidak tahu di mana putrinya berada ketika aku bertanya padanya?"
Ksatria itu menunduk, "Mungkinkah Sir Aldric telah menemukan alasan untuk membatalkan perjodohan antara Anda dengan putrinya? Bagaimanapun, selama ini pria itu tidak pernah benar-benar menyukai Anda, My Lord."
Cedric menggebrak meja di hadapannya dengan kesal, membuat beberapa barang menjadi berserakan di atas meja. "Pria itu tidak mungkin menemukan orang yang lebih baik dariku untuk menjadi calon menantunya," geramnya. Setelah itu, ia mengusir ksatria itu yang telah berhasil menyentil egonya.
Ksatria itu mengangguk patuh kemudian pergi dengan cepat.
Begitu pintu tertutup, Cedric menatap kaca patri yang memenuhi bingkai jendela ruang kerjanya, melihat bayangan dirinya yang terpantul samar di sana.
"Tidak, apapun yang terjadi dia akan menjadi milikku. Elena Light, dia adalah tiketku untuk menggulingkan Adam," dengusnya.
***
Usai mandi sore dan berpakaian lengkap, Elena duduk di depan kaca riasnya. Sinar matahari sore yang hampir tenggelam membias di kaca patri jendela yang berwarna-warni, memantulkan bayangan pelangi di lantai kamarnya.
Sesaat, ia mengerjapkan matanya ketika melihat pantulan dirinya yang berada di dalam cermin. Entah mengapa ia merasa kalau pantulan itu tidak bergerak seirama dengan dirinya.
Dengan wajah penasaran, ia menatap lebih dekat. Dan di balik pantulan mata birunya, tampak sekelebat cahaya biru lain yang bergetar—seolah ada sesuatu yang mencoba menembus batas kaca.
"Angel ...."
Suara itu tiba-tiba terdengar dari dalam kaca, lirih, seperti gema dari masa lampau. Nama panggilan khusus dari ibunya untuk dirinya.
"Tujuh menuju kebangkitan, Angel."
Elena sontak terlonjak dari kursinya. "Siapa itu?!" teriaknya, sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamarnya.
Namun kamarnya kembali hening. Hanya detak jam dinding dan desir angin dari jendela yang menjawabnya.
Setelah tak juga mendapatkan jawaban, ia menurunkan pandangannya kembali, menatap cermin riasnya. Tangannya yang ramping sedikit gemetar saat ia menyentuh permukaan cermin itu. Hangat, hidup.
Dan di ujung jemarinya yang menempel di atas permukaan cermin, perlahan-lahan muncul simbol berbentuk bulan sabit berwarna biru keperakan.
Simbol itu ... ia pernah melihatnya.
Di buku tua milik ibunya. Buku yang dulu dilarang dibuka oleh ayahnya, dengan lambang yang sama terukir di sampulnya "Tujuh Ksatria Cahaya."
Ingatan samar yang terpenjara di dalam otaknya, satu-persatu menyeruak ke permukaan. Potongan masa kecilnya yang terlupakan, suara ibunya yang berbisik lembut di tengah malam.
"Jika suatu hari kegelapan datang, panggillah mereka, Angel. Mereka akan datang dari tujuh arah, diikat oleh sumpah darah keluarga Light."
Elena menahan napas, dan menatap dirinya di cermin sekali lagi. "Ibu? Kau kah itu?" Lagi-lagi tidak ada jawaban.
Ia lalu membuka laci meja riasnya, mengeluarkan buku tua berdebu yang tertutup segel parafin berwarna merah. Di tengah simbol bulan sabit itu yang terdapat di atas permukaan sampul buku, ada tulisan kecil yang samar, hampir pudar.
"Darah yang terlahir kembali, bukalah jalan para Ksatria."
Elena menggigit bibirnya, sedikit ragu sekarang. Selain itu, ayahnya telah berkali-kali melarangnya agar ia tidak mengikuti jejak ibunya. Garis hidup yang akan membuat pihak keluarga kerajaan akan merasa terintimidasi dengan keberadaan keluarga mereka. Tapi ... jika hal itu bisa menyelamatkan keluarganya kali ini, Elena siap mengambil resiko terburuk sekalipun.
Setelah memantapkan hatinya, ia mengambil sebilah belati kecil dari laci meja—warisan ibunya. Dan dengan tangan gemetar, ia menggoreskan ujung belati itu ke ujung jari telunjuknya di atas segel itu. Setetes darah jatuh, menguapkan segel parafin yang telah lama merekat di atas permukaan buku.
Begitu tetesan darahnya menyentuh lambang di bawah segel, cahaya biru menyala dari buku itu—lembut, namun menembus udara, membentuk pola seperti sayap di atas mejanya. Kemudian suara itu terdengar lagi.
"Yang pertama ... telah menunggumu di utara. Colosseum."
Elena terdiam. "Apakah ini keinginan Ibu? Apa Ibu ingin agar aku mengumpulkan lagi para Ksatria Cahaya?" desisnya pada cermin riasnya, seakan ia sedang berkomunikasi dengan arwah ibunya.
"Mereka adalah cahaya yang akan mengeluarkanmu dan ayahmu dari kegelapan, Angel. Carilah mereka! Kumpulkan mereka!"
Elena menggigit bibir bawahnya. Sejujurnya, hal ini pernah terlintas di benaknya kemarin. Mengumpulkan beberapa pria tangguh untuk melindungi keluarganya seandainya Cedric mengumumkan perang dengannya suatu hari nanti. Elena melirik bekas merah samar yang terdapat di lehernya, ia lupa menutupinya ketika Cedric datang menemuinya. Ia juga belum mencari tahu siapa yang telah memberikan kissmark itu padanya. Tapi ia pasti akan menemukan pria itu nanti.
Huft! Ia menghela napas sejenak. Ia harus secepatnya mempersiapkan dirinya, karena menolak Cedric tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dan kini jalan itu sudah ditunjukkan oleh ibunya, tapi ... bagaimana caranya ia mengenali mereka? Para Kstaria Cahaya itu?