Bab 6. Mengunjungi Colosseum

1348 Words
Cahaya biru dari buku itu akhirnya meredup, namun Elena masih saja duduk diam di depan meja riasnya—memandang lembaran halaman pertama yang kini terbuka dengan sendirinya. Tulisan-tulisan kuno berwarna perak berpendar halus, seolah baru saja terbangun dari tidur panjangnya. Hening memenuhi kamarnya. Hanya suara detak jantungnya sendiri yang terdengar di telinganya. "Colosseum di utara," bisiknya. Nama itu menggema di kepalanya. Perlahan, ia menutup buku di hadapannya, lalu berdiri, melemparkan pandangan ke arah jendela. Dari balik kaca patri, langit malam tampak diterangi cahaya bulan. "Jika ini adalah petunjuk darimu untuk menyelamatkan keluarga kita, Ibu. Maka aku harus menemukan mereka." Elena menggigit bibirnya. Langkahnya membawa tubuhnya ke arah lemari kayu di sudut ruangan, tempat beberapa jubah putih dengan lambang keluarganya tergantung rapi. Ia menyentuh salah satunya seraya memikirkan rencana yang akan ia ambil selanjutnya. "Lady Light, makan malam telah siap." Suara pelayannya tiba-tiba terdengar dari balik pintu, menyentakkan Elena dari lamunannya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab, "baik, aku akan segera keluar." Ia tidak langsung meninggalkan kamarnya begitu ia mendengar langkah pelayan itu meninggalkan depan kamarnya, tetapi ia justru menoleh ke arah cermin riasnya dan berbicara pada cermin itu yang kini memantulkan cahaya samar dari lilin yang menyala di dalam kamarnya. "Besok malam ... aku akan pergi ke Colosseum, Ibu. Itu jika Cedric tidak lagi menggangguku." Dari dalam cermin, sesosok bayangan samar perempuan berambut panjang muncul dan tampak tersenyum sekilas—lalu menghilang setelahnya. *** Keesokan harinya, sore hari, Elena baru saja selesai menata beberapa berkas dan buku tua milik almarhum ibunya ketika kepala pelayan rumahnya meneriakkan tentang kedatangan Cedric. "My Lady, Lord Cedric datang kembali!" Elena menegakkan punggungnya, menahan napas sejenak. "Sudah kuduga ... dia pasti tak akan tinggal diam, seperti seekor cheetah yang sedang berburu,' pikirnya. Dengan malas Elena pergi menemui pria itu, menemukan Cedric sudah berada di ruang tamu dengan wajah yang lebih tegang dari kunjungan terakhirnya ke sini. Sorot matanya menusuk, seolah ingin menguliti semua yang Elena sembunyikan darinya. "Lady Light," sapa Cedric dengan nada hangat, tapi mata birunya tak pernah meninggalkan wajah Elena. "Ada banyak hal yang harus kita bicarakan hari ini." Elena tersenyum lalu menunduk singkat, sambil menahan debar jantungnya. "Aku tak tahu apa maksud Anda, My Lord." Ia mundur selangkah, sengaja menjaga jarak. Melihat apa yang Elena lakukan, Cedric melangkah lebih dekat, menatapnya tanpa berkedip. "Dua malam yang lalu kau tiba-tiba menghilang. Dan kau belum menjelaskan kepadaku di mana kau berada saat itu. Dengar! Aku tak suka dibohongi, Elena Light!" desisnya. Bersamaan dengan itu, Cedric mencengkram pergelangan tangan Elena. Elena menelan ludah, tangannya yang berada di genggaman Cedric gemetar di bawah tekanan pria itu. "Bu-kankah aku telah menjelaskannya padamu? Aku menghindarimu demi mencegah skandal!" ia mencoba memberi alasan. Setelah itu, ia menghela napas, karena alih-alih melepaskan pergelangan tangannya—Cedric justru mencengkeramnya semakin erat. "Malam itu aku menemukan sebuah ruangan kosong, di sana aku menyembuhkan diriku. Lalu pulang bersama ayahku setelah tubuhku sedikit lebih baik." Untung kemarin ayahnya telah menjelaskan padanya bahwa malam itu ayahnya lah yang telah membawanya pulang ke rumah mereka saat ia menanyakannya pada ayahnya. Cedric memindai wajah Elena, berusaha menemukan kejujuran di wajah polos itu. Setidaknya dulu ia selalu menganggap wanita ini seperti itu. Namun kini, wajah Elena seolah menyimpan sebuah misteri yang sulit untuk ia pecahkan. "Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi." Cedric melepaskan pergelangan tangan Elena sembari tersenyum miring. "Tapi ingat baik-baik, Elena Light. Seumur hidupmu kau hanya akan menjadi milikku. Kau mungkin bisa menghindariku saat ini, tapi jangan harap kau bisa melakukannya selamanya. Camkan itu!" Elena menunduk sopan. Tapi sialnya hatinya justru berdebar cepat. Ia merasa takut dan juga marah mendengar ancaman yang Cedric lontarkan padanya. Saat pria itu mengalihkan pandangannya ke jendela, Elena mundur sekali lagi, diam-diam memperhatikan wajah Cedric. 'Kalau aku tidak bergerak malam ini ... takutnya dalam beberapa hari ke depan dia telah mempersiapkan pernikahan kami. Aku tidak bisa membiarkan hal itu terjadi, aku harus segera ke Colosseum,' bisiknya dalam hati, dengan tatapan lurus ke salah satu sisi wajah Cedric yang berada tepat di hadapannya. Cedric memalingkan wajahnya, menatap Elena sekali lagi sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruang tamu rumahnya dengan aura mendominasi dan penuh ancaman. Begitu pintu tertutup, Elena terhuyung ke belakang. Rasanya ia sangat kelelahan mempertahankan sikap defensifnya di hadapan seorang Cedric Draven, pria yang memiliki aura yang sangat berbahaya. Beberapa jam kemudian, Elena telah berada di Colosseum. Ia menundukkan kepalanya dan menarik tudung jubahnya untuk menutupi wajahnya. Setelah itu, ia menghampiri seorang pria paruh baya yang tampak seperti seseorang yang bertanggung jawab atas pertandingan yang terjadi di tempat ini. Suara sorak penonton dan dentingan logam terdengar beradu dari tengah arena. Tapi Elena tahu, di tengah keramaian itu, ia tak boleh lengah. Ia harus terus memusatkan perhatiannya pada pusat arena, di mana pertandingan perebutan peringkat b***k terkuat sedang berlangsung. Para petarung tampak penuh semangat beradu kekuatan, masing-masing menunjukkan keahlian bertarungnya yang memukau. "Aku membutuhkan balkon untuk menonton pertunjukan," ujarnya pada pria yang ia hampiri. Pria itu menatapnya dengan wajah bingung. Bahkan memperhatikannya dengan cara yang membuatnya tidak nyaman. Elena mengeluarkan lima keping uang emas demi memutus perhatian pria itu padanya. "Apa ini cukup?" Mata pria itu berbinar melihatnya, dengan penuh minat pria itu langsung mengambil kepingan emas yang ia sodorkan padanya. "Dengan uang segini Anda bisa mendapatkan balkon pribadi terbaik, My Lady. Silakan ikuti saya!" ujar pria itu. Elena lalu dibawa ke sebuah balkon yang memiliki jarak pandang strategis ke arah tengah arena, di mana pertandingan masih terus berlangsung di sana. "Apa My Lady membutuhkan minuman khusus? Ini adalah salah satu pelayanan yang kami tawarkan secara gratis untuk penyewa balkon terbaik." Elena tidak langsung menjawabnya, melainkan justru melemparkan pandangannya ke tengah arena. Dalam hitungan menit, ia kembali berpaling pada pria itu. "Berikan saja minuman terbaik yang kalian miliki, non alkohol. Dan satu lagi ...." Ia diam sejenak seraya menunjuk ke tengah arena, "apa kau kenal dengan seorang b***k yang sangat baik dalam bertarung? Bukan hanya baik, yang terbaik!" Tekannya. Pria di samping Elena sontak tertawa lebar, "tentu, My Lady. Malam ini, b***k itu akan bertanding di arena. Namanya Adam, tapi karena namanya seperti nama Your Majesty, kami terpaksa menggantinya dan memanggilnya dengan Number One." "Oh?" kelopak mata Elena melebar penuh harap. "Apakah dia benar-benar pintar bertarung?" celetuknya. "Yang terbaik, My Lady. Anda bisa menyaksikannya sendiri sebentar lagi." "Berapa harganya?" Pria itu tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Sebaiknya Anda menonton pertandingannya terlebih dahulu. Masalah harga, jika Anda merasa cocok dengan b***k itu, kita bisa membicarakannya nanti." Elena mengangguk setuju. Tak lama, pria itu pergi meninggalkan dirinya. Sementara Elena sendiri melangkahkan kakinya ke arah pagar balkon. Dari balik tudungnya, ia melihat bahwa pertandingan seru yang tadi ia lewatkan kini telah berakhir. Dan pertandingan lain akan segera digelar. "Akhirnya, saat yang kita tunggu-tunggu sudah tiba. Number One!" Teriak seseorang dari tengah arena, memperkenalkan kedua belah pihak yang akan menaiki arena berikutnya. Elena mengamati pria itu, yang melangkah tegap dan keluar dari sebuah tempat di pinggir arena. Tubuhnya tinggi dan kekar. Kemeja linen lengan pendek membalut setiap otot tubuh bagian atasnya. Pergelangan tangannya berbalut sesuatu yang tampak terbuat dari kulit harimau. Pedang ramping berukuran sedang menggantung di pinggangnya. Tapi yang menarik perhatiannya adalah ... wajah pria itu yang setengahnya tertutupi topeng besi, dari kening hingga di atas bibirnya. Rahangnya masih terlihat, keras dan sempurna. Elena tak bisa melepaskan pandangannya dari pria itu saat pria itu bertanding dengan seorang pria botak yang jauh lebih besar darinya. Sesekali, ia menahan napas, atau terkadang reflek menutup mulutnya ketika melihat pria itu dalam bahaya. Ia tidak tahu mengapa ia sedikit mengkhawatirkan pria itu. Yang ia tahu, ia ingin b***k itu menjadi salah seorang ksatrianya. Dia lincah dan tangguh. Inilah alasan Elena menginginkannya. "Bagaimana, My Lady?" tepat setelah pertandingan berakhir dan dimenangkan oleh pria yang dipanggil dengan sebutan Number One itu, pria yang mengantarkan Elena ke balkon tiba-tiba muncul dengan segelas minuman di tangannya. "Apa sekarang My Lady sudah yakin ingin membelinya?" "Tentu saja," sahut Elena cepat. Meski ia tak yakin apakah pria itu yang sedang ia cari di Colosseum malam ini. "Sebutkan saja harganya, agar aku bisa segera membawanya pulang sekarang juga!" Pria yang baru saja berbicara dengan Elena langsung terbahak. "Anda pasti tidak akan menyesal, My Lady. Mari!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD