Part 3

1006 Words
Seminggu lebih aku lalui menjadi seķretaris dari bos baruku, Pak Abidzar. Tahu tidak?selama itu pula kesabaranku benar benar terkuras karena menghadapinya. Sikapnya yang suka seenaknya, otoriter, dan pemaksa membuatku sering sering menghela nafas. Sudah satu jam lebih aku berada diruangan CEO songong ini, tapi dia tak berbicara sepatah katapun. Lalu untuk apa aku disini?sebagai pajangankah?yang benar saja, aku bukan Vas bunga yang hanya diletakkan begitu saja sebagai hiasan. Lihat saja, dia malah sibuk sendiri dengan laptop dan beberapa berkas ditangannya. Aku sudah sangat bosan disini. Kalian tahu tidak apa yang aku lakukan diruangan ini bersama pria itu?hanya duduk, bengong, melirik jendela, mengotak atik ponsel, berdiri, duduk lagi, berdiri lagi terus seperti itu sampai aku jengah. Ingin sekali rasanya mengumpat makhluk dihadapanku saat ini. Kalau saja aku tidak tahu etika sopan santun dan takut dosa, mungkin aku sudah mengabsen satu persatu penghuni kebun binatang. Astaghfirullah... "Pak"aku angkat bicara Lelaki itu tak menggubrisku sama sekali. "Bapak!"aku merampas kertas ditangannya. Membuat dia melotot. "Saya suruh ngapain sih pak?perasaan dari tadi saya cuma dikacangin doang! Bapak malah sibuk sendiri sama laptop sama kertas ini." Akhirnya aku pun mengeluarkan semua uneg-uneg ku. "Ya teruss... kamu maunya saya sibuk sama kamu gitu?"katanya percaya diri. Jangan lupakan tampang watadosnya! Aku mendelik tajam. "Idihhh...siapa juga yang nau disibukkin sama Bapak?ngarepp!mendingan saya sibuk sama monyet-monyet di hutan daripada sama Bapak! ogah banget!"cibirku. Sungguh aku mulai tersulut emosi saat ini. "Ya sudah ke hutan aja sana!ngapain juga kamu kerja disini?!"ucapnya dengan nada mengusir. Aku mengangkat kepalan tanganku keudara. Lebih tepatnya, didepan wajahnya. Gigiku gemeletuk. Rahangku mengetat. Gemas. Siapa yang tidak gemas jika berhadapan dengan pria yang sifatnya sangat menyebalkan seperti Pak Abidzar. Pria itu hanya memasang tampang datar. Aku menurunkan kembali kepalan tanganku. Menarik  nafas, kemudian kembali membuka suara. "Ishhh... Bapak bisa gak sih gak usah nyebelin sekaliii aja!"pintaku memelas. "Nggak!"acuhnya kembali pada laptop dan kertasnya. "Kalau emang saya gak di butuhin disini, lebih baik saya keluar aja sekarang!" "Saya gak ijinin!" "Atas hak apa Bapak melarang saya!"nada bicaraku sudah naik satu oktaf sekarang. "Atasan kamu,"katanya singkat yang memang aku benarkan. Aku menghentakkan kakiku kesal. "Bodo amat!" Gak mau tahu, aku langsung berjalan menuju pintu keluar yang memang sedang terbuka. Namun dengan cepat, pria itu menghadang langkahku. "Tunggu atau saya pecat!"ancamnya. Nyaliku menciut. Ku hela nafas pasrah kemudian kembali duduk di sofa yang lumayan lebar itu. "Baguss."ucapnya tersenyum smirk. Oke, saat ini aku mengalah. Tapi aku harus menemukan cara agar bisa keluar dari ruangan ini. Setelah cukup lama berpikir sebuah ide cemerlang terlintas diotakku. Aku berdehem pelan. "Ekhemm," pria itu hanya melirikku sekilas. "Jujur saja, saya tertekan dengan cara Bapak yang kaya gini. Saya gak nyaman, saya berasa jadi tahanan. Bukan tahanan sih lebih tepatnya pajangan!ada tapi gak dianggap! Kalau saya punya salah sama bapak saya minta maaf, tapi jangan kek gini juga. Baru aja seminggu kerja sama bapak rasanya udah kaya hidup di jaman penjajahan Belanda yang berabad-abad. Capek tau pak!"celotehku panjang kali lebar. "Aishhh... bisa diam tidak?!saya lagi konsentrasi ini,"desisnya kesal. "Atau Bapak punya dendam sama saya?atau karena masalah tempo lalu?saya minta maaf deh Pak waktu itu saya bener-bener kebawa emosi!Janji deh gak begitu lagi!kalau gitu ijinin saya keluar ya?"mohonku. "Bisa diam tidak?!"geramnya Aku gak mau nyerah. Aku yakin jika aku terus berceloteh dia dengan sendirinya tidak nyaman kemudian mengusirku untuk keluar dan aku akan bebas. Karena aku yakin, semua ocehanku yang tidak berfaedah akan membuyarkan konsentrasinya. "Yaudah kalau begitu ijinin sa--"ucapanku terhenti saat tiba-tiba Pak Abidzar mendekatiku kemudian membekap mulutku dengan telapak tangannya. "Kalau sekali lagi saya dengar kamu ngomong, bukan cuma tanganku yang akan membekapmu melainkan mulut saya sendiri."bisiknya membuat seketika bulu kudukku meremang. Sadar atau tidak, ucapannya membuatku takut sekarang. Seluruh tubuhku gemeteran. Pasalnya selain Abi dan keluargaku, dia adalah pria pertama yang menyentuhku tanpa ada ikatan mahrom. Dan itu membuatku merasa berdosa. Tanpa ku perintah air mataku meluncur begitu saja. Dengan cepat aku langsung melepaskan bekapannya kemudian menamparnya. Plakk "Bapak jangan kurang ajar ya! Bapak sadar tidak kalau kita ini bukan mahrom! Bapak gak bisa seenaknya menyentuh saya!"tudingku dengan wajah memerah. Pak Abidzar mengacak rambutnya kasar. "Maaf Nara, bukan maksud saya se--" "Mungkin saya memang bukan perempuan baik dan soleha seperti yang diluaran sana!Tapi saya masih ingat batasan!dan saya tidak terima dengan perlakuan Bapak tadi!"bentakku. Mungkin aku memang lancang, tapi otakku sudah dikuasai amarah saat ini. Rasanya harga diriku langsung turun begitu saja. Tanpa sadar, aku sudah berlari keluar dari ruangan itu dan membanting pintunya secara kasar. Masa bodo dengan tatapan orang orang terhadapku. Aku tak tahu kemana langkah kaki ku akan membawa ku pergi. Yang jelas, aku sedang tidak ingin melihat wajah Pak Abidzar saat ini. Berkali-kali aku mengusap air mata ku dengan kasar. Tapi rasanya buliran bening itu tak mau berhenti dan terus saja keluar. Sampai pada akhirnya, tibalah aku di sebuah cafe dekat kantor. Mungkin menyesap coklat panas akan sedikit membalikkan moodku dan menenangkan pikiranku. Hal ini sudah menjadi kebiasaanku sejak kecil. Jika sedang kesal, marah, sedih pasti aku langsung mencari coklat panas. Kepercayaan masyarakat bahwa coklat mampu meningkatkan mood ternyata bukan hanya sebatas mitos saja. Olahan coklat memiliki kandungan phenylethylamine yang cukup tinggi. Zat ini ternyata mampu mendorong sekresi hormon dopamindan serotinin. Hormon ini sering dipercaya sebagai hormon yang membuat orang memiliki rasa bahagia. Sebenarnya secara otomatis tubuh mampu memproduksi hormondopamin dan serotininmeskipun tanpa bantuan coklat sekalipun. Namun dalam kondisi-kondisi tertentu, tubuh perlu dirangsang untuk memproduksi hormon ini. Sehingga mengonsumsi coklat dapat berakibat meningkatkan mood karena hormon kebahagiaan meningkat. Tak perlu menunggu lama, seorang pelayan mengantarkan pesananku. Harumya begitu menguar membuatku ingin segera mencicipinya. "Hufttt" perasaanku sedikit melega  sekarang. Tapi jika mengingat kejadian beberapa menit lalu, air mataku kembali menetes. "Kenapa sih dia harus senyebelin itu!"gerutu ku. "Pokoknya aku benci banget sama dia!titik!" Suara tawa yang menurutku tak asing terdengar di gendang telingaku. Aku menoleh dan benar, Ustadz Ilham sedang menertawakanku saat ini. "Hhhha...kamu tu kalo lagi sebel lucu banget tau gak sih!!"katanya Aku semakin mengerucutkan bibir. Ustadz Ilham menarik kursi lantas duduk dihadapanku. "Kamu kenapa?hmm," "Gak papa. Ustadz kok bisa ada disini?"tanyaku bingung. "Mau nyamperin temen!Kebetulan dia kerja disini."jawabnya. Aku hanya ber'oh' ria. Kami pun berbincang singkat. Sesekali Ustadz Ilham membuatku tertawa karena lawakannya. "Kamu beneran gak mau cerita sama saya?siapa tahu saya bisa bantu?"tawarnya "Gak usah Ustadz, makasih. Nara udah mendingan kok."ucapku. "Ya sudah kalau begitu, saya permisi dulu yah!keburu teman saya nunggu nanti!"katanya. Aku hanya mengangguk sekilas. Pria itu beranjak dari hadapanku. Meninggalkanku dengan secangkir coklat di genggamanku. Setidaknya kehadirannya membuatku sedikit terhibur dan melupakan masalahku sejenak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD