Part 4

1015 Words
Hari yang selalu ditunggu oleh para pelajar atau pun pekerja akhirnya tiba juga. Yap!hari ini adalah hari minggu, tepatnya waktu untuk semua orang bersantai dari segala aktivitasnya. Daripada sunthuk dan tak tahu akan berbuat apa, Nara berinisiatif untuk membuat Brownis bersama Umi tercintanya. Memasak dan membuat kue merupakan salah satu hobinya. Jadi, kemahirannya dalam hal ini tidak perlu diragukan lagi. Saat tengah berkutat dengan adonan ditangannya, Arman-Abi Nara memanggilnya dari ruang tamu. Tanpa basa basi Nara langsung bergegas menuju keberadaan abinya. "Mi, Nara tinggal sebentar gak papa?" "Iya sayang" Nara melepaskan celemek yang membungkus sebagian tubuhnya kemudian meletakkan benda itu di tempatnya dengan rapi. Gadis itu membenahi khimarnya yang sedikit berantakan lantas ke ruang tamu. "Iya Abi kenapa?"tanyanya sambil  membersihkan gamisnya, barangkali ada terigu yang menempel. "Ada nak Ilham sayang,"katanya Nara yang tadinya menunduk, kiní mendongak. Menatap pria yang telah lama menetap direlung hatinya. Jujur saja, Nara sedikit gugup saat bertemu Ilham. Bukan hanya itu, jantungnya pun terkadang menggila. Rasanya seperti ingin lepas saja. "Eh... Assalamualaikum Ustadz"sapa Nara ramah kemudian duduk di samping Abi nya. Menetralkan rasa gugupya, gadis itu memainkan meremas gamisnya kuat. "Walaikumussalam warrohmatullah."balas Ilham dengan senyum yang selalu tersungging di wajahnya. "Sudah lama Ustadz?" "Oh belum, baru saja. Kebetulan kemarin saya ada urusan diluar kota dan sekalian aja pulangnya mampir kesini."ucapnya "Eh ini juga ada beberapa oleh-oleh buat kalian,"sambungnya sambil meletakkan beberapa bingkisan diatas meja. "Ya Allah ustadz Ilham repot-repot segala,"timpal Umi Lia yang sudah duduk di single sofa. "Eh umi, enggak kok Mi. Ilham beli banyak itu. Sayangkan kalau dibuang?lagian Orang rumah sudah Ilham bagi semua."jelasnya Semenjak mengenal keluarga ini, Ilham memang sudah biasa menyebut Arman dan Lia dengan embel embel 'Abi dan Umi'. Itu sendiri murni perintah Lia, katanya agar lebih akrab saja. "Masya Allah...eh itu ada brownis dicicipi dulu nak Ilham, Nara yang bikin loh."kata Umi Lia yang diangguki oleh Ilham. "Iya Mi makasih." Ilham mencomot satu potong brownis yang ada dihadapannya. Tak bisa dipungkiri, kalau rasanya benar-benar lezat. Sepertinya ia tak akan salah pilih Nara untuk dijadikan istri. Batinnya tersenyum. "Bagaimana nak Ilham?"tanya Umi Lia "Ini sungguh enak Umi kayanya Nara udah pentes deh buat dijadiin istri."celetuknya membuat Nara tersedak ludahnya sendiri. Uhukkk uhukk "Aduhh...hati hati dong nak,"ucap Umi Lia mengulurkan air putih. "Eh, maksud Ilham--" "Santai aja nak Ilham."potong Arman Ilham hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Abi, Umi, Nara kalau begitu Ilham permisi dulu ya."pamitnya "Lho!barusan sampai lo nak Ilham kok buru-buru sih?"sahut Umi Lia "Ilham masih ada urusan Mi, habis ini Ilham langsung ngisi pengajian di masjid sebelah komplek."katanya "Oh ya sudah kalau begitu, terima kasih ya nak!kapan-kapan main lagi!ajak bapak sama ibu mu juga kalau bisa."ujar Umi Lia santai "Insyaa Allah Mi, Ilham pamit ya Assalamualaikum." "Walaikumussalam."balas mereka bersamaan. *** Motor Alya sudah terpakir apik di halaman rumah sahabatnya-Nara. Gadis itu berencana untuk mengajak Nara ke toko buku untuk membeli  novel yang sedang tenar saat ini. Salah satunya karya Tere Liye. Kebetulan sekali, belum sempat ia mengetuk pintu Nara keluar terlebih dahulu membawa kotak sampah yang tidak terlalu besar. Mungkin dia ingin membuang atau membakarnya di tempat penampungan sampah yang berada di samping rumahnya. "Astaghfirullah Alya!ngagetin aja tau gak sih!"sungut Nara sambil mengelus dada "Hhhhe...maaf,"kata Alya mengandalkan cengiran kudanya. "Mau kemana?"tanya Nara ketika menyadari penampilan Alya yang lebih rapi dari biasanya. "Jalan jalan yuk!ke toko buku, bosen tauk di rumah doang."ajak Alya "Males ah!aku masih banyak kerjaan."bantah Nara Alya mengerucutkan bibirnya, sedetik kemudian gadis itu menampilkan pupil eyes andalannya. "Ayolah Raa... bentaran doang!janji deh gak lama-lama."rengek Alya mengangkat jari tengah dan telunjuknya membentuk huruf 'V'. Pasalnya, Alya kebiasaan kalau ngajak Nara pergi pasti ngaret dari waktu yang sudah ditentukan. Terkadang juga membuat Nara harus kena semprot dari uminya. Makanya, dia paling was was kalau pergi bersama Alya. "Ogah ah!kamu---" Ucapan Nara terpotong saat Umi Lia sudah ada dibelakangnya. "Eh ada Alya ya, kok gak disuruh masuk sih nak?"kata Umi Lia menatap Nara Alya menggapai tangan wanita paruh baya didepannya, kemudian menciumnya. "Umi, Alya boleh gak ajakkin Nara pergi, bentaran doang kok,"pinta Alya memelas. Umi Lia hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. Beliau sudah menganggap Alya seperti anaknya sendiri, jadi sudah hapal dan tidak heran lagi dengan  sifat gadis yang satu ini. Umi Lia menjawil hidung Alya "Boleh sayang, tapi janji ya jangan lama-lama."ujarnya Alya tersenyum girang. Kemudian memeluk manja Umi Lia erat. "Aaaa makasih Umi cantik...Sayaaang deh sama Umi,"rayunya membuat Nara memutar bola mata jengah. "Kamu ini kalau ada maunya baru aja puji-puji Umi."Umi Lia terkekeh "Naraa."Alya menaik turunkan alisnya "Iya iya, bentar aku buang sampah dulu!" Ketus Nara Skip Setibanya di toko buku, Alya langsung menggeret tangan Nara agar jalannya lebih cepet. Dia sudah tidak sabar untung memborong novel novel incarannya. "Buruan Ra!keburu abis ntar novelnya!"gemas Alya yang melihat Nara berjalan ogah ogahan. "Ck santai aja kali Al!toh toko bukunya punya stok banyak."balas Nara "Cepet ishh," Mereka berdua memasuki area dan mendekat ke rak buku yang berjejer rapi disana. Tak bisa ditampik bahwa pengunjungnya memang sungguh ramai. Dari kalangan anak anak, remaja, bahkan dewasa pun ada. Alya mencari jajaran novel sedangkan Nara buku spiritual. Mata Nara terpikat pada sebuah buku yang begitu menarik perhatiannya. Namun sayang, benda itu terletak di rak paling atas. Apalah daya untuk gadis ini yang hanya memiliki tinggi badan kurang lebih 160 cm. Nara kesulitan untuk menggapainya. Tapi gadis itu tak menyerah, apapun ia lakukan agar mendapatkan buku itu sampai berjingkrak pun tak ia hiraukan. Tiba-tiba ada sebuah lengan panjang yang mengambil lantas menyodorkan kearahnya. Ia menerima kemudian berterima kasih tanpa menatap orang itu. Jika diperhatikan, seperti postur tubuh laki-laki.  Nara mendongak dengan tatapan terkejutnya. "Pak Abidzar"lirihnya lalu membalikkan tubuh hendak menghindar. "Kamu masih marah sama saya Nara?"tanya Abidzar menghentikan langkah Nara. "Tidak!"jawabnya singkat "Lalu kenapa seminggu ini kamu tidak berangkat?dan sekarang kamu menghindar bila bertemu saya?"ucap Abidzar dengan nada frustasi. "Saya tidak marah!saya hanya belum siap ketemu bapak!Permisi" pamitnya melenggang. Nara menarik tangan Alya dan mengajaknya kekasir agar segera melakukan pembayaran dan ia bisa cepat pulang. "Aduhhh Ra...aku belum selesai ini!"keluh Alya karena Nara dari tadi ribut. "Ayo Al!cepetan...aku mau pulang."Kata Nara dengan nada gelisah. "Kamu kenapa sih Ra?kok wajahmu panik gitu?"bingung alya. Nara memang belum menceritakan masalahnya pada Alya dengan bos Songong itu. "A...aku kurang enak badan!"Nara beralibi. Alya hanya bisa menatap sahabatnya heran. Bukannya waktu berangkat tadi Nara baik baik saja ya? "Tapi---" "Buruann!!" "Eh iya iya, kita bayar ke kasir dulu" Akhirnya Alya mengalah. Sedikit yang Alya paham, jika Nara seperti itu tandanya dia sedang ada masalah. Walaupun Nara tak berbicara ataupun mengungkapkan padanya, tapi Alya bisa menangkap dari sorot mata Nara yang terlihat panik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD