Part 10

1119 Words
Awan berubah menjadi gelap, pertanda bahwa hari telah malam. Dari celah jendela, angin berhembus kencang, membuat siapapun merasa dingin terkecuali gadis yang saat ini masih mengenakan gaun pengantinnya, membuatnya sangat gerah. Tak ada percakapan antara dua insan yang kini sedang berada dalam satu ruangan ini. Siapa lagi kalau bukan Abidzar dan Nara. Hanya ada derikan jangkrik yang mengisi sunyinya malam ini. Setelah resmi, bukannya mereka tambah akrab malah yang ada cuma kecanggungan. Nara yang mendadak mejadi calm dan Abidzar yang masih bertahan dengan gengsinya. "Ni cowok tumbenan amat anteng!biasanya juga nyebelin gak ketulungan!"Batin Nara sambil menatap Abidzar yang sedang bermain game, seperti kebiasaannya jika ada waktu senggang. Merasa lelah, Abidzar menyudahi game nya lalu melirik ke arah Nara yang masih sibuk melepas satu persatu aksesoris yang di kenakannya. Karena tamu lumayan banyak, jadi habis Maghrib tadi baru selesai acaranya. "Pak," "Nara," Panggil Abidzar dan Nara bersamaan. "Kamu dulu."kata Abidzar. "Bapak aja" balas Nara halus "Kamu saja, barangkali ada yang penting" Nara yang semula sedang bercermin, meluruskan pandangan ke arah suaminya. "Bapak mau makan atau mandi dulu?"Tanya Nara "Mandi saja!" "Kalau gitu, biar saya siapkan airnya,"tawar Nara "Tidak usah, lagian aku sedang gerah. Enakan pakai air dingin." Kata Abidzar kemudian menyambar handuk putih yang tersampir rapi pada tempatnya. Entah kenapa, dirinya ingin menggunakan kata 'aku-kamu' kepada Nara. Mungkin agar kesannya tidak terlalu formal. Nara melanjutkan aktivitasnya yang tertunda. Aksesoris itu begitu merepotkannya. Padahal sewaktu di rias, Nara sudah meminta agar tidak terlalu berlebihan. Tapi periasnya begitu keukeuh dengan alasan 'lagian ini kan untuk yang pertama dan terakhir, apa salahnya kalau tampil maksimal buat suami neng'. Nara pun akhirnya mengalah. Gadis itu bernafas lega saat semua benda yang memberatkan kepalanya telah terlepas. Tak luput dari itu, Abidzar juga sudah menyelesaikan ritual mandinya. Saat hendak membuka hijabnya Suara pintu kamar mandi terbuka. Sontak Nara menoleh, namun seketika gadis itu menutup kedua matanya dengan telapak tangan. Bagaimana tidak, suaminya hanya menggunakan handuk yang dililitkan di pinggang sehingga menampakkan d**a bidangnya. "Pak!bisa gak sih kalo keluar jangan pake handuk doang!"sungut Nara dengan mata yang masih terpejam. "Lho memangnya kenapa?"polos Abidzar Nara mengintip Abidzar dari sela sela jarinya. Berharap jika Abidzar sudah memakai pakaiannya. "Ishh Nara gak biasa liat cowok telanjang d**a kek gitu."balas Nara Abidzar terdiam sejenak, mencerna ucapan sang istri. Sesaat kemudian ide jahil muncul di otak tampannya. Lelaki itu melangkah mendekati istrinya yang masih duduk di kursi rias. "Makanya, mulai sekarang kamu harus belajar untuk terbiasa,"Bisik Abidzar pelan di samping telinga Nara dengan nada terkesan seksi. Membuat bulu kuduk gadis itu seketika meremang. "Pak jauh jauh deh!jangan dekat dekat!"ucap Nara memalingkan wajah ke arah lain. Yang penting tidak berhadapan dengan Abidzar. "Memangnya kenapa?lagian kita juga sudah sah!jadi, tidak ada larangan juga kan kalau mau deket?"Balas Abidzar Nara tak mau menanggapi ucapan lelaki itu. Ia lantas beranjak dari kursi riasnya, kemudian mencoba untuk berlari. Namun urung ia lakukan, tangannya ditarik oleh Abidzar kemudian pria itu mendorong bahunya, sehingga ia membentur tembok. Tubuh mungilnya di kungkung oleh kedua tangan kekar suaminya. Wajah mereka begitu dekat sampai Nara bisa merasakan hembusan nafas Abidzar. "P...pak, tolong lepasin saya!saya mau mandi ini "gugup Nara "Kamu bilang apa tadi?pak?saya bukan orang tua kamu!apalagi bapak kamu!"kata Abidzar dengan nada datar. "Ma..maksudnya?"Nara memberanikan diri untuk menatap iris suaminya. Walaupun sebenarnya, di dalam sana jantungnya seperti ingin lepas sekarang. "Jangan panggil saya BAPAK!" Tekan Abidzar "Ya terus, saya harus panggil apa dong?" "Terserah!yang penting jangan'Bapak'! honey, sayang, beby, ayang beb...itu ga papa." Abidzar mengerlingkan matanya. Nara hanya memutar bola mata jengah. Lelaki di hadapannya memang hobi sekali modus, jadi gadis itu tidak heran lagi. "Idihh!itu ma maunya bapak!"ketus Nara Abidzar hanya mengedikkan bahunya acuh. "Minggir deh pak!saya mau mandi, bapak jangan halangi jalan saya!"Nara menatap tajam sambil berusaha mengalihkan tangan Abidzar dari samping tubuhnya. "Diam atau saya cium!" Nara membisu. Ucapan Abidzar membuatnya kembali teringat dengan kejadian beberapa bulan lalu. Walaupun pengucapannya beda, tapi tetap saja maknanya sama. "Kalau sekali lagi saya dengar kamu ngomong, bukan cuma tanganku yang akan membekapmu melainkan mulut saya sendiri!"Kalimat itu masih terngiang jelas di otak Nara Abidzar yang menyadari kesalahanya, langsung mengalihkan pembicaraan. Ia masih paham mungkin istrinya masih trauma dengan perkataannya waktu itu. "Maaf, lupakan!intinya kamu, harus mengubah panggilan kamu ke aku!" "Tapikan bapak atasan saya dan saya bawahan."Nara berargumen "Tapi posisi kita sekarang sebagai suami istri Nara, bukan bos dan karyawan! Kamu boleh panggil aku pak, hanya saat bekerja saja!itupun kita lakukan sebatas keprofesionalan saja" Nara membenarkan itu. Tapi tetap saja lidahnya ingin memanggilnya dengan sebutan itu. "Bagaimana juga, saya harus tetap menghormati bapak."Nara mencoba beralasan "Justru itu, kalau kamu mau menghormati aku turuti apa semua kata kataku." Skakmat "Tapi--" "Kalau sekali lagi aku dengar kamu memanggilku dengan embel embel 'pak' dan menyebut dirimu dengan kata 'saya' aku pastikan kamu akan habis malam ini!"ancam Abidzar. Gadis itu membelalakkan mata. Wajahnya terasa memanas. Nara yang mengerti akan maksudnya, reflek menggeleng kemudian mengangguk. Gadis itu teringat wejangan uminya beberapa jam lalu. Tidak ada salahnya kali ya, kalau dirinya mencoba. Walaupun belum ada rasa cinta setidaknya Nara akan berusaha menjadi istri yang baik. "Coba, aku mau dengar panggilan baru untukku"tantang Abidzar membuat Nara meneguk salivanya kasar. "Ma...mau dipanggil ap...pa?" "Ceritanya Kamu nawarin nih?"Abidzar mengetukkan telunjuk di dagunya seraya berpikir "Seperti yang aku bilang tadi, sayang, honey, beby, atau suamiku kek nya romantis juga." Nara menggeleng cepat. Bisa bisa lidahnya kesleo nanti kalau keseringan ngucapin kata itu. "Gak!Mas aja deh."putus Nara "Eumm...boleh juga."Abidzar mengelus dagu "Coba, kamu praktekkan!"perintahnya Tapi gadis dihadapannya hanya diam saja. Keringat dingin mulai bercucuran. Padahan cuma ngubah panggilan, tapi rasanya lebih mendebarkan daripada ia mengikuti Ujian Nasional saat sekolah dulu. "Nara..." "Mm... mpak"ceplos Nara. Lidah nya begitu susah untuk mengucapkan panggilan yang diminta oleh Abidzar, eh bukan lebih tepatnya ia yang memutuskan. Abidzar mendelik. Namun dengan cepat Nara meralatnya. "Mas"huff...lega sudah rasanya. "Bagus!" Kata Abidzar seraya mengacak hijab Nara asal. Kemudian mengambil bajunya di almari. Nara menghirup udara banyak banyak. Perlakuan Abidzar membuatnya ketar ketir.Bukannya baper, hanya saja gadis itu belum terbiasa berada di posisi yang menurutnya se'intim'ini. Bagaimana bisa Abidzar berlaku sesantai itu tanpa melihat kondisinya yang seolah hendak kehabisan oksigen. Percaya atau tidak, saat posisinya sangat dekat dengan Abidzar Nara sangat sering menahan nafas. "Dasar manusia otoriter!seenaknya sendiri!huh!untung anak orang, kalo bukan udah aku telen kali!"gerutu Nara kesal. "Aku masih dengar Nara!"seru Abidzar yang sedang memakai baju kokonya. Tak memperdulikan ucapan Abidzar, gadis itu langsung berlalu. Entah kemana Abidzar tak menghiraukannya. Pria itu kemudian mengenakan sarung dan melaksanakan sholat Isyanya yang sempat tertunda. Nara kembali dengan penampilan yang berbeda. Sudah bukan gaun pengantin lagi, melainkan gamis santai berwarna peach yang dipadukan dengan khimar instan berwarna hitam.Mungkin gadis itu berganti pakaian di kamar mandi bawah kali. Gadis itu naik ke atas ranjang. Merebahkan tubuh bersiap untuk tidur sembari menatap suaminya yang masih khusyuk berdzikir. Mulai malam ini, dirinya tidak tidur sendiri lagi dengan bantal guling. Melainkan dengan Abidzar suaminya. Sebenarnya Nara tak menyangka akan menyandang sebagai istri dari seorang CEO muda yang terkenal tampan itu. Barusan ia bilang apa?tampan? Oke untuk kali ini Nara tidak bisa menampik bahwa suaminya memang tampan. Hanya saja sifat menyebalkannya membuat Nara sungkan untuk mengakui kelebihan lelaki itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD