Part 11

1275 Words
Tepat sesudah dua hari usia pernikahan mereka, Abidzar memboyong Nara untuk tinggal dirumahnya yang baru saja satu tahun lalu selesai di bangun. Walaupun tidak besar, tapi rumah sederhana itu cukup nyaman untuk ditempati. Setelah seminggu cuti, kini Abidzar dan Nara sudah kembali ke kantornya. Hubungan mereka juga datar datar saja. Tidak membaik tidak pula memburuk. Hanya saja, Interaksi Nara dengan suaminya lebih mending daripada awal awal mereka menikah. Dan gadis itu juga sudah mulai terbiasa dengan kehadiran Abidzar disisinya. Meski belum sepenuhnya dapat menghilangkan nama Ilham dari pikirannya. Tapi Nara yakin, perlahan perasaan itu akan menjadi milik Abidzar seutuhnya. Dan semoga perjuangannya untuk belajar mencintai Abidzar tidak akan sia sia. Selesai sarapan, Nara langsung bersiap untuk pergi kekantor. Gadis itu mengambil tas di meja depan televisi kemudian menunggu suaminya di ruang tamu. Berkali-kali ia melirik arloji dipergelangan tangannya, hampir sepuluh menit menunggu tapi belum ada tanda tanda suaminya akan muncul. Takut keburu siang, gadis itu memutuskan untuk menyusul Abidzar dikamarnya. "Mas, kamu kok lama banget sih!"Kata Nara seraya membuka pintu. Namun sesaat kemudian gadis itu menggelengkan kepala ketika melihat penampilan suaminya yang begitu berantakan. Kancing baju yang masih terbuka, dasi yang belum terpasang dan rambut yang belum disisir. Persis seperti anak kecil yang membutuhkan perhatian ibunya. "Kenapa masih belum selesai?kamu ini cewek apa cowok sih, perasaan dandan aja lama banget!keburu siang ini"Gemas Nara "Aku nyari ini dasi tadi, lagian salah kamulah nyimpennya susah di cari"sungut Abidzar sambil menunjukkan benda di tangannya. "Kemaren aku kan udah bilang kalo dasimu aku simpan dilaci, salah sendiri gak mau dengerin!"Nara tak mau kalah. Daripada ia terlambat nanti lebih baik ia saja yang bertindak. Suaminya kalau bersiap sangat lah lelet, melebihi dirinya yang notabenya adalah cewek. "Sini, Nara pakaikan!" Nara mengambil dasi itu dari tangan Abidzar kemudian memakaikannya. Gadis itu sedikit berjinjit agar mempermudah aktivitasnya, mengingat tingginya hanya sebatas bahu Abidzar. Entahlah padahal dikalangan kawan kawannya, Nara sudah termasuk tinggi. Tapi jika bersama Abidzar gadis itu tidak ada apa-apa nya. Pria itu hanya diam sembari menatap lekat wajah sang istri dari dekat. Entah kenapa, hari ini Nara terlihat begitu cantik. Atau ia saja yang baru sadar kalau istrinya ini memang cantik. Sadar diperhatikan, Nara menatap Abidzar sinis. "Ngapain liatin Nara sampai segitunya!"Picing Nara Abidzar membuang muka. Sepertinya menatap Nara lama lama memang tidak baik untuk kesehatan jantungnya. Atau mungkin dirinya sudah mulai jatuh cinta? Atau memang sudah jatuh cinta?Entahlah...Lelaki itu begitu sulit untuk mendeskripsikan perasaannya. "Gak ada!siapa juga yang liatin kamu!"Abidźar beralibi. Nara hanya mengedikkan bahunya acuh. Saat dasi sudah terpasang, dan penampilan suaminya dirasa sudah rapi. Nara menepuk pelan d**a Abidzar. "Sudah!ayok!"ajak Nara yang tanpa sadar menggandeng tangan Abidzar melalui sela sela jarinya. Lelaki itu tak bergeming. Memperhatikan tangannya dan tangan Nara bersatu. Berharap bukan hanya tangannya saja, melainkan hatinya juga kelak akan seperti itu. "Maaf"ucap Nara kemudian melepaskan tautan jarinnya. "Untuk?" "Gapapa."Ya kali Nara mau bilang 'maaf' karena menggandeng suaminya sendiri. "Ayo berangkat" Tapi gadis itu kembali menghentikan langkahnya. "Sebentar"Nara merapikan jambul Abidzar. Sesudahnya, Nara dan Abidzar melajukan mobil menuju kantor. *** "Pak dua jam lagi ada meeting dengan clien dari Malaisya di restoran x." ucap Nara pada Abidzar yang sedang sibuk menandatangani beberapa berkas. "Kamu sudah siapkan bahan presentasinya?"tanya Abidzar. Berhubung ini di kantor, jadi mereka menggunakan bahasa yang lebih formal. "Sudah pak, kalau begitu saya permisi dulu. Dua jam mendatang saya akan kesini lagi." Abidzar memgangguk. Pria itu menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda beberapa hari lalu. Belum lagi nanti akan kepotong meeting. Pasti akan semakin menumpuk. *** Meeting telah usai dan clien juga sudah pulang . Hanya tersisa Abidzar dan istrinya saat ini di meja itu. "Ra," "Hm"Nara mengaduk minumannya menggunakan sedotan. "Pulang dari sini, kita ke Pondok dulu ya."kata Abidzar Mata Nara birbinar. Gadis itu mengangguk dengan sangat antusias. "Ayo!tapi tumben Mas kesana selain hari ahad?" "Ada acara kata Umi," Nara menautkan  alisnya. "Acara apa?" "Syukuran kecil-kecilan. Luna lagi isi katanya." "Alhamdulillah, tapi kok gak kasih tau Nara sih?" "Gak tahu" "Ya udah berangkat sekarang aja mas, keburu sore. Ntar jalanan tambah macet lagi "Saran Nara Abidzar mengangguk kemudian bangkit dari duduknya yang disusul oleh Nara. Mereka meninggalkan restoran itu menuju parkiran mobil. Pria bertubuh jangkung itu membukakan pintu mobil untuk Nara. Awlanya Nara sempat terkejut, karena perlakuan Abidzar menurutnya istimewa. Pasalnya selama naik mobil bersama sang suami, baru kali ini Abidzar berlaku seperti itu. Tapi sesaat kemudian Nara bersikap biasa saja. Lagipula hal seperti itu sudah wajar bukan dilakukan oleh sepasang suami istri. "Makasih," ucap Nara Gadis itu duduk manis disamping kursi kemudi. Sebelum menghidupkan stater, Abidzar melirik ke arah istrinya. Seperti ada yang kurang. Pikir Abidzar. Pria itu mendekat ke arah Nara, membuat gadis itu menahan d**a bidangnya. "Ma..mas mau apa?"gugup Nara, Namun  Abidzar tak menghiraukan ucapannya. Pria itu semakin mendekatkan wajah, membuat pipi Nara seketika memerah. Gadis itu berharap apapun yang akan Abidzar lakukan tidak akan membahayakan jantungnya. Sepertinya dugaannya salah, saat Abidzar hanya mengambil sealtbet kemudian memasangkannya. Belum apa apa saja pikiran Nara sudah kemana mana. Kenapa gadis itu jadi berpikiran jauh, kenapa juga ia harus berpikir bahwa Abidzar akan...Arghh. ini bukan Nara. Apa dia yang berharap? Kenapa otaknya jadi jorok seperti ini? "Kenapa?kamu pikir aku mau cium?Ge-er" Kata Abidzar dengan senyun smirk nya membuat Nara salah tingkah. Gadis itu memalingkan pandangan ke arah jalanan dengan jantung yang masih berdebar debar. Selama diperjalanan tak ada yang membuka pembicaraan. Mereka sibuk berperang dengan pikirannya masing masing. Abidzar fokus menyetir, sedangkan Nara menormalkan detak jantungnya. Hanya membutuhkan waktu sekitar dua puluh lima menit, mobil Lamborgir berwarna hitam itu sudah terparkir rapi di halaman PonPes Al Bachtiar. Kebetulan juga hari ini adalah hari Kamis, dan biasanya sebagian santri mengadakan ziaroh ke makam dekat pondok.Makanya sekarang terlihat sepi. Saat sedang berjalan, tiba tiba ada santri putra yang menghadang langkah mereka. "Assalamualaikum Gus, Ning barusan saya di dawuhi oleh Umi Aisyah, kalau kalian masuknya lewat pintu samping saja. Solanya pintu depan sedang di renovasi jadi belum bisa digunakan untuk berlalu lalang." jelasnya sopan sembari menyidakepkan kedua tangan di depan perut. "Walaikumussalam, Kang Asep makasih ya. Kalau begitu kami permisi dulu,"balas Abidzar ramah. Mereka melenggang menuju ndalem. Kebetulan sekali keluarganya sedang berkumpul di ruang keluarga. Sekalian saja mereka nimbrung disana. "Assalamualaikum."sapa Abidzar dan Nara sambil menyalami Umi Aisyah, Abi Rasyid, Alif, dan Luna secara bergantian. "Walaikumussalam warrohmatullah,"Balas Abi Rasyid dan yang lainnya. "Akhirnya dateng juga lo!"sahut Alif Mereka duduk di sofa yang masih tersedia. "Mbak Luna, kenapa Mbak gak bilang kalo Adel mau punya adik."Nara meminta penjelasan. Luna tersenyum tipis "Maaf, bukannya gitu. Ini aja aku baru tahu. Soalnya aku juga gak ngerasain gejala apapun, beda pas hamil Adel."terang Luna. "Abi mau ke kelas dulu ya. Mau ngajar santri putra,"ucap Abi Rasyid sambil beranjak dengan membawa kitab kuning di tangannya. Mereka hanya mengangguk "Acaranya mulai kapan Mi?"tanya Abidzar "Ba'da maghrib nanti,"balas Umi Aisyah seraya meletakkan nampan dimeja. Selanjutnya mereka berbincang bincang kecil. Sesekali tawa terjadi saat Adel berceloteh dengan nada khas miliknya. "Bid, gue mau tanya sesuatu boleh?"Kata Alif berhati hati "Tanya apaan?" "Apa kalian udah praktekin qurrotul 'uyyun'?"tanya Alif lirih. Namun masih bisa Nara dengar. Gadis itu yang memang sedang menyeruput minumannya, mendadak tersedak. Uhuk uhukk Kalian masih ingat kan kalau Nara sudah pernah mondok. Otomatis dia pastinya ngerti dong tentang kitab itu. "Aduhh hati-hati dong Ra!"kata Luna menepuk tengkuk gadis itu. Karena posisi mereka memang tidak terlalu jauh. Abidzar sempat membelalak. Abangnya kalo bicara memang suka sekali tidak lihat tempat. "Lo kurang kerjaan apa tanya yang begituan?"Ketus Abidzar "Ya gue kan cuma tanya. Jangan jangan lo--" "Rahasia rumah tangga bang!lo gak usah kepo deh!" "Kek nya dugaan gue bener kalo istri lo masih virgin." "Ck, Berisik!"ketus Abidzar Luna hanya menatap intens kedua lelaki yang notabenya adalah suami dan adik iparnya itu. "Kalian ngomongin apa sih?"Luna memicing. Alif hanya nyengir kuda menanggapi istrinya. "Gak papa kok sayang. Masalah laki laki ini."katanya menaik turunkan alis. Sedangkan Nara hanya menunduk. Sungguh dirinya merasa sangat malu. Abidzar menyenggol sikut Nara "Kamu mau berapa ronde sayang?empat, lima, atau sepuluh sekalian?"goda Abidzar didekat Nara. Gadis itu sontak menginjak kaki suaminya karena bicara nyablak. Sehingga membuat lelaki itu meringis kesakitan. "Buset dah! Galak bener sih jadi istri!"Kata Abidzar seraya mengusap punggung kakinya. Nara melotot, memberi kode agar suaminya tidak terlalu bar bar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD