Part 6

1062 Words
Pekerjaan ku semakin hari semakin menumpuk. Apalagi saat ini perusahaan sedang memperjuangkan proyek besar. Apabila kita bisa memenangkan tender tersebut, otomatis keuntuntungannya juga cukup besar. Setidaknya bisa memperbaiki dana perusahaan yang sempat menurun kemarin. Terkadang aku juga sering lembur dan terlambat pulang, membuat Umi sering memarahiku. Bukan marah sih lebih tepatnya menasihatiku agar tidak terlalu fokus pada pekerjaan. Selain itu, aku juga sering telat makan membuat maagh ku sekali dua kali kambuh. Tapi ya sudah lah, lagi pula ini juga sudah menjadi tanggung jawabku. Sudah pukul 20.25 tapi aku masih berada di ruangan ini bersama Pak Abidzar. Awalnya aku sempat menolak, dengan alasan hari sudah malam dan tak mau berduaan takutnya akan timbul fitnah. Namun Pak Abidzar tetap kekeh untuk menyelesaikan garapannya malam ini. Katanya waktunya sudah mepet dan secepatnya bahan presentasi harus segera beres. Aku yang hanya seorang sekretaris bisa apa? Selain menuruti perintah sang bos. Tapi setidaknya Pak Abidzar memahami keadaan dan dia berinisiatif agar pintu ruangannya selalu dalam kondisi terbuka. "Pak masih lama lagi ini?"tanyaku.  "Bentar lagi" Aku hanya mengangguk. Drttt drtt Deringan ponsel terdengar dari saku Pak Abidzar. "Iya, hallo Bi","kata Pak Abidzar mengapit ponselnya antara telinga dan pundak. Tangannya sedari tadi sibuk mengetik di atas benda dengan bentuk persegi panjang itu. "..." "Iya Bi, ini Abidzar masih di kantor kok." "..." "Se--" Tut tut "Astaghfirullah, pake mati segala lagi."gerutunya seraya mengecek benda pipih itu ditangannya. Pria itu melirik kearahku. "Handphone saya habis baterai. Tapi Abi sempet bilang tadi kalau beliau mau mampir kesini, mau lihat perkembangan kantor"Ucapnya. Padahal aku tidak bertanya. Saat sedang memilah kertas di tanganku, tiba tiba saja lampu ruangan padam. Aku yang memang phobia gelap, semakin takut kala terdengar petir serta badai di luaran sana. Belum lagi hujan yang kian melebat. "Astaghfirullah."gumamku. Aku mulai terisak. Sungguh hal seperti ini yang paling aku benci dalam hidupku. Kegelapan. "Nara, sebisa mungkin kamu tenang yah, ada saya disini."Meski tidak melihat, tapi aku yakin suara bariton itu milik Pak Abidzar. Memangnya siapa lagi selain dia?secara hanya ada aku dan pria itu diruangan ini. Aku meraba seluruh permukaan ruangan. Berharap bisa menemukan senter atau benda yang dapat mengeluarkan cahaya. Karena yang ku ingat, ponselku habis baterai dan aku belum sempat men charge nya. Bukan senter atau alat penerang yang ku temukan, melainkan benda empuk beraroma wangi. Aku langsung memeluknya erat. Menumpahkan segala rasa takutku. Kebiasaanku, ketika  sedang mati listrik aku pasti langsung mencari bantal atau guling. Entah lah aku tak tahu apa itu yang jelas aku merasa nyaman saat ini. Tidak lama, lampu kembali menyala dan aku belum merubah posisiku. Memeluk benda empuk dengan mata terpejam. Saat netraku hendak terbuka sempurna, ku lihat dengan samar Pak Rasyid dan beberapa karyawan datang dengan raut wajah yang tidak bisa k*****a. Aku hanya menangkap ada raut kemarahan disana. Segara aku memulihkan penglihatan ku seutuhnya. Menghapus jejak air mata yang tersisa di sana. Alangkah terkejutnya aku, saat ku tahu bahwa benda yang sedari tadi aku peluk adalah Pak Abidzar. "Astaghfirullah, maaf pak saya tidak sengaja."lirihku. Sungguh aku merasa sangat berdosa. Aku menjauhkan posisi ku dengan Pak Abidzar. "ASTAGHFIRULLAH!!!APA YANG KALIAN LAKUKAN?!"Bentak Pak Rasyid membuatku takut. Baru kali ini aku melihatnya semarah ini. Raut wajah yang biasanya ramah sekarang terlihat begitu menyeramkan. Aku hanya menunduk dalam tak berani menatap beliau barang sedikitpun. "Berpelukan di dalam ruanagan gelap seperti ini?!" "Abi, ini semua tidak seperti yang abi lihat!Abi hanya salah paham!"sangkal Pak Abidzar. "Saya tunggu kalian di depan!"Ucap Pak Rasyid lantas keluar. Aku dan Pak Abidzar mengikuti langkah Pak Rasyid dari belakang. Kemudian kami tiba di bangku panjang dekat koridor dan duduk disana. Sepertinya akan terjadi persidangan sekarang. "Jelaskan!"kata Pak Rasyid penuh penekanan. Pak Abidzar menjelaskan dengan sangat tenang. Ia menceritakan kronologinya dengan sangat detail tanpa ada yang dikurangi atau ditambah sedikit pun. Aku hanya diam. Tak berani berbicara sepatah kata pun. "Kalian harus menikah!"putusnya dengan sorot mata tajam. "Apaa!!"pekikku dan Pak Abidzar bersamaan. "Semua sudah terlanjur dan yang melihat kejadian itu bukan hanya saya. Dari pada ada isu yang tidak mengenakkan, lebih baik secepatnya kalian menikah." Aku bingung harus menjawab iya atau tidak. Disatu sisi ada Ustadz Ilham yang masih aku harapkan. Tapi disisi lain ada nama yang harus aku jaga. Pak Rasyid dan keluargaku. Bagaimanapun Pak Rasyid sudah terlalu baik terhadapku selama ini dan aku tak mau membuatnya kecewa. Tapi apakah harus aku merelakan  cintaku secepat ini? Oh Allah, sungguh aku bingung. "Nara, bagaimana?kamu mau kan?"Tanya Pak Rasyid kepadaku. Berharap jika jawabanku seperti yang beliau inginkan. Dengan berat hati, aku mengangguk. "I...iya"lirihku. Sudah terlanjur mulutku mengatakan iya. Air mataku kembali lolos. Seperti ada ribuan belati yang menusuk relung hatiku. Rasanya begitu perih dan sakit. Pernyataan ini sungguh membuatku seakan kehilangan semua kebahagiaanku, harapanku, dan memupuskan doa-doa yang sejak lama aku panjatkan agar bisa bersatu dengan Ustadz Ilham. Tapi bagaimana lagi?jika ini memang skenario yang sudah di tuliskan di Lauh Mahfudz untukku, aku bisa apa? Selain pasrah dan bertawakal. Atau mungkin Allah sudah menyiapkan sesuatu yang lebih indah di balik ini semua? Tak banyak yang bisa aku perbuat selain ber husnudzon kepadanya. Bukannya prasangka kita adalah prasangka Allah? Aku harus bisa menerimanya. Mungkin saja ini memang jalan terbaik untukku. Lagian apa salahnya jika aku mencoba, meski setengah dari hatiku belum sepenuhnya menerima. Jika ini takdirku, mau tak mau aku harus menjalaninya. "Kalau begitu tunggu kedatangan kami ke rumahmu besok" Aku kembali mengangguk. "Ya sudah, masalah ini kita bahas lagi besok. Lagian hari semakin larut, lebih baik kamu pulang saja."ujarnya. "Terima kasih pak, saya permisi dulu"pamitku lalu beranjak dari duduk. "Nara!"seru Pak Abidzar Aku menengok "Kenapa pak?" Pria itu terlihat seperti gelagapan. "Hati hati"ucapnya. Aku tersenyum tipis. Kemudian aku mengambil tas yang tertinggal di ruangan Pak Abidzar. Setelahnya aku menuju parkiran untuk mengambil motor ku disana. Jalanan sudah lumayan sepi. Diperjalanan, aku sengaja melambatkan laju motorku. Agar aku bisa menghirup udara dengan puas, meluapkan segala rasa sesakku bersama angin. Setibanya dirumah, aku langsung masuk ke kamar. Aku berganti pakaian dengan piyama doraemon setelahnya duduk di depan meja rias. Wajahku terlihat sembab dan kantung mata yang bengkak. Sungguh mengenaskan. Aku mengambil ponselku yang berada di dalam tas. Ada beberapa panggilan tak terjawab dan notifikasi pesan, salah satunya dari Ustadz Ilham. From : Ustadz Ilham Assalamualaikum Nara From : Ustdaz Ilham Kenapa telepon saya tidak di angkat ra? From : Ustadz Ilham Kamu baik baik saja kan ra? From : Ustadz Ilham Kenapa kamu susah dihubungi? From : Ustadz Ilham Nara... From : Ustdaz Ilham Saya ganggu ya, maaf To   : Ustadz Ilham Walaikumussalam. Dari beberapa pesan darinya, hanya itu yang aku balas. Aku gak mau jika terlalu akrab dengan dia, perasaan ku akan semakin sulit di lupakan. Apalagi sebentar lagi aku akan menjadi istri orang. Mulai sekarang aku harus bisa mengubur perasaan itu, walaupun mungkin akan sulit untuk aku lakukan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD