“Nah, kebeneran banget ni lo dateng.” Langit menghampiri Dani yang berjalan ke arah mereka. “Gue mau lo anterin Morgan ke rumahnya. Jangan biarin dia bareng sama adik gue,” bisiknya.
“Senja udah pulang, Bos? Kemarin gue kehilangan jejak. Ponselnya nggak aktif terus.” Dani balas berbisik. Usahanya menyusul Senja sia-sia karena gadis itu berhasil menghindar.
“Dan.” Panggilan dari sang big boss membuat Dani menoleh.
“Ya, Pak.”
“Bawa mobil?”
Dani mengangguk. “Bawa, Pak.”
“Bagus! Nanti kamu pulang ikut mobil Senja, ya. Mobil kamu saya pake karena ada meeting mendadak.”
Sebelumnya mereka datang ke rumah sakit dengan satu mobil. Kini Lingga dan Langit harus kembali ke kantor karena ada hal mendesak.
“Kita bisa anterin mama sama Rindu pulang dulu kok, Pa,” sela Langit. Tak ingin rencananya mengantar Morgan gagal karena alasan mobil.
Lingga melirik penunjuk waktu yang melingkari tangan. “Nggak akan cukup waktunya.”
“Lagian kita mau keluar kok, Mas,” timpal Rindu. Dia berencana belanja bahan makanan bersama sang mertua setelah ini jadi mau tak mau harus bawa mobil.
“Senja ikut?” Langit bertanya.
Rindu menggeleng. “Dia bilang mau anterin Morgan ke rumah.”
“Ya udah, mama sama Rindu pakai mobil papa. Biar Senja pulang sama Dani sekalian anter Morgan. Kamu sama papa pakai mobil yang dibawa Dani. Beres, ‘kan?” Rere menimpali.
Sebenarnya Langit tidak setuju dengan keputusan itu. Membiarkan Senja bersama Morgan membuatnya merasa khawatir walau ada Dani. Meski begitu Langit tetap mengangguk. Sudah bukan waktunya lagi berdebat.
Seperginya mereka berempat, Dani masuk ruangan. Wajah itu langsung cemberut karena pemandangan pertama yang ia dapati adalah canda mesra kedua insan yang terlihat saling jatuh cinta.
“Gue anterin lo pulang,” serunya mengundang perhatian. Tatapnya tajam ke arah Morgan.
“Nggak perlu repot-repot. Gue bisa pulang sendiri.” Morgan menanggapi santai.
“Ini perintah Pak Lingga.”
Morgan manggut-manggut namun berbeda reaksi dengan Senja.
“Biar Morgan pulang sama aku,” serunya.
“Ini perintah Pak Lingga.” Dani mengulang ucapannya. “Saya juga harus memastikan Non Senja selamat sampai di rumah.”
Morgan tersenyum sinis. “Lo pikir dengan kondisi gue sekarang bisa celakain nona lo?”
“Semua orang tahu lo brengsek.”
“Kenapa jadi ribut, sih?” Senja yang pada dasarnya sedang memendam kemarahan terhadap Dani, bangkit. “Kamu nggak denger? Aku yang anter Morgan pulang.”
“Nggak, Non. Saya nggak bisa menyalahi perintah bapak. Saya lebih rela dimarahin Nona daripada dipecat sama bapak.”
Selalu seperti ini alasan yang diberikan Dani untuk memaksanya ikut. Alasan keselamatan lah, dipecat lah. Padahal Senja tahu itu hanya akal-akalan Dani agar bisa terus bersamanya.
Jika sebelumnya gadis itu dengan senang hati menurut, tidak kali ini. Dia harus memberi jarak pada sang bodyguard. Bahkan jika bisa Senja ingin Dani menjauh dari hidupnya meskipun terlihat tidak mungkin karena sang papa terlalu percaya pada pria penyumbang sakit hati terbesar dalam hidupnya itu. Sedangkan mengungkap alasan sebenarnya hanya akan mempermalukan diri sendiri sekaligus membuat orang tua gadis itu kecewa. Huh! Jadi serba salah, ‘kan?
“Ya udah nggak pa pa, biar dia percaya kalau gue nggak sejahat itu,” putus Morgan. Bangkit menggandeng tangan Senja, berjalan mendahului Dani yang menatapnya penuh permusuhan.
Sementara Senja tersenyum penuh arti. Tidak salah dia memilih Morgan. Pria itu begitu pandai menempatkan diri.
‘Ini baru permulaan.’ Batin Senja berucap sembari menarik sudut bibir. Memperhatikan wajah marah yang tak dapat disembunyikan Dani.
Sampai di mobil Senja masuk pintu belakang bersama Morgan. Dan itu sukses membuat kemarahan Dani mencapai puncak.
“Non Senja duduk depan!” titahnya memaksa Senja bangkit.
“Apa kamu dibayar papa buat ngasih perintah ke aku juga?”
“Hanya demi keselamatan, Non.”
“Nggak usah jadiin keselamatan aku buat alesan.”
Dani mendekat pada Senja hanya untuk berbisik, “Aku nggak rela kamu dekat-dekat sama dia.”
“Bukan urusanku.” Senja hampir masuk kembali sebelum Dani mencekal pergelangan tangannya. “Lepas nggak!” tepisnya kasar namun tak mengundang reaksi Dani. Cekalan itu justru semakin erat.
“Kita, apapun tentang kita akan jadi urusan aku. Aku akan pertahanin apa yang harus aku pertahanin.”
“Nggak berlaku sejak hari ini.”
Dani menghela nafas lelah. Mengingat peristiwa kemarin lusa yang membuat Senja berubah sikap. “Aku bisa jelasin.”
“Hey, hey, ada apa ini?” Morgan keluar karena mereka tak kunjung masuk. Ditatapnya tangan Senja dalam genggaman Dani. “Wow, berani sekali lo megang tangan majikan lo.”
“Masuk! Ini bukan urusan lo!” peringat Dani membuat Morgan menurut. Bukan tidak berani. Hanya saja bagi Morgan bukan saat yang tepat untuk membuat keributan.
“Oke,” balasnya mengedikkan bahu. “Tapi menurut gue mending lo biarin nona lo ini duduk sama gue. Lo nggak berniat maksain kehendak ‘kan? Lo bisa jamin kok, gue nggak bakal sentuh dia secuil pun. Palingan Senja yang mau deket-deket gue.”
‘Asem!’ Senja menggerutu dalam hati. Dipikir perempuan apa dia?
Terlanjur kesal Dani melepas begitu saja tangan sang kekasih dan berjalan memutar menuju pintu kemudi. Lebih cepat mengembalikan manusia psikopat itu ke habitat lebih baik daripada terus terjebak dalam perdebatan menjengkelkan itu.
Aksi dimulai.
“Pala aku kenapa yah jadi sering sakit gini,” gumam Morgan mengundang perhatian Senja. Pun Dani yang tak luput memperhatikan melalui kaca spion.
“Kenapa?” Senja bertanya, mendukung peran sang aktor.
“Nggak tahu. Dari kemarin sakit mulu.”
“Sini aku pijitin.” Senja membawa kepala Morgan dalam pangkuan kemudian dengan telaten memijit pelipis pria itu.
Bagi orang awam mungkin adegan itu hanya pantas dilakonkan oleh pasangan suami istri atau mungkin pasangan kekasih yang buta akan cinta, kecuali tukang pijit dengan pengguna jasa.
Bagitu pula yang dirasakan Dani. Baginya melihat wanita yang dicintai menyentuh pria lain adalah hal paling tidak diinginkan. Muak dengan pemandangan yang disaksikan, pria itu menginjak gas keras-keras berharap dengan laju mobil berkecepatan tinggi membuat adegan mereka terhenti.
Berhasil memang walau kalimat berikutnya yang keluar dari dua manusia di belakang hanya berupa sumpah serapah. Betapa tidak, kepala Morgan benar-benar merasakan sakit akibat benturan tiba-tiba dengan jok depan.
“Sialan! Mau bikin pala gue pecah, lo?” marah Morgan.
Tak terdengar sepatah kata pun yang keluar sebagai balasan. Dani hanya fokus pada jalan di depan. Semakin lama hatinya semakin mendidih melihat pemandangan mengiris hati karena bukan berhenti Senja justru semakin mesra memperlakukan Morgan.
“Turun, Lo!” perintah Dani. Mereka sudah sampai di depan rumah Morgan.
“Kamu pulang dulu aja, aku mau nungguin Morgan.” Ucapan Senja membuat Dani menggeleng tak percaya. Jampi-jampi apa yang sudah Morgan berikan hingga membuat Senja lengket segitunya?
“Tolong jangan persulit saya, Non. Pak Lingga bisa marah kalau tahu Nona bertahan di rumah ini.”
Sejujurnya Senja ingin pulang. Merebahkan tubuh barang sejenak. Fisiknya terasa begitu lelah setelah menempuh perjalanan jauh. Pun dengan mentalnya yang terasa seperti dihempas ke dasar jurang. Hanya saja sendiri di rumah juga bukan pilihan karena Dani tidak akan membiarkannya pergi sebelum mendengar penjelasan.
“Ada yang ingin aku bicarakan.”