Bab 2

1230 Words
Senja turun dari mobil mewah keluaran terbaru. Membuka tas ransel, gadis itu mengambil dompet dari dalamnya untuk mencari sebuah alamat. Senja mengedarkan pandangan hingga netra birunya menangkap seorang wanita paruh baya di kejauhan kemudian berlari menghampiri. “Assalamualaikum,” sapanya mengundang atensi ibu-ibu yang sedang menjemur pakaian di halaman rumah. “Waalaikumussalam.” Si ibu membalas menerima uluran tangan Senja yang mengajaknya berjabat tangan. “Bu, numpang tanya. Ibu tahu alamat ini?” Mengambil secarik kertas bertulis alamat, Senja menyodorkannya pada si ibu. “Saya mencari teman saya, namanya Dani,” lanjutnya. Senja sudah berjalan sesuai arahan map dan yakin sembilan puluh sembilan persen jalan yang dilaluinya benar. “Oh, ini alamat rumah pak lurah. Rumahnya ada di ujung jalan itu,” tunjuk si ibu sebuah jalan cukup besar yang menjadi akses menuju rumah yang dimaksud. “Pak lurah?” Senja mengerutkan kening. Mana tahu ia jika orang yang tengah dicarinya adalah keturunan seorang yang cukup terpandang di desa. “Iya, tapi di sana ndak ada yang namanya Dani, Nduk.” Senja merutuk dalam hati. Ia tidak tahu nama lengkap pria yang dicarinya. Kembali pada kesadaran saat suara si ibu menginterupsi. “Pak lurah cuma punya anak tunggal, namanya Fardan.” “Fardan?” ulang Senja. “Iya, kalau boleh tahu Genduk ini siapa dan dari mana?” “Dari Jakarta, Bu. Saya ... Senja.” “Oh ... jauh, ya, tapi masalahnya di rumah itu ndak ada yang namanya Dani.” Ibu yang memperkenalkan diri dengan nama Lastri itu menoleh pada bapak-bapak yang melintas. “Pak, anaknya pak lurah siapa namanya? Fardan, to?” tanyanya. “Iya, kenapa memangnya, Bu?” “Ini lho, ada cah ayu dari Jakarta cari alamat ini, alamat rumah pak lurah.” Bu Lastri menunjukkan kertas berisi alamat pada pria yang kebetulan ketua RT di desa itu. “Tapi yang dicari namanya Dani.” “Lha yo coba saja diantar ke sana. Mungkin yang dimaksud Mas Fardan. Kebetulan baru pulang dari Jakarta” “Gimana, Nduk, mau coba ke sana?” tanya Bu Lastri mengalihkan atensi pada Senja. “Boleh, Bu.” Senja membalas kemudian mengambil langkah mengikuti Bu Lastri. Lima menit berjalan, Bu Lastri menghentikan langkah. Rumah dua lantai berpagar besi menyambut keduanya. Senja mengamati bangunan yang terlihat menonjol dibanding rumah lain di sekitarnya. “Nah, itu dia orangnya, Nduk. Itu bukan yang Genduk maksud?” Bu Lastri menunjuk dari balik gerbang seorang pria yang tengah menggendong anak laki-laki berumuran dua tahun. Di sisinya berdiri seorang wanita cantik menenteng mangkuk berisi makanan sang anak. “Iya, Bu bener itu Dani.” Netra Senja berbinar belum menyadari pemandangan yang menyertai. “Tapi ... mereka siapa, Bu?” “Itu istri dan anaknya.” Deg! “Anak istri?” lirih Senja dengan tatapan terkejut. Tanpa mengamati perubahan air muka gadis di depannya, Bu Lastri menjawab, “Iya, Mas Fardan ini sudah menikah dua tahunan yang lalu dan meninggalkan anak istrinya untuk melanjutkan pendidikan di Jakarta.” Bak ditikam ribuan sembilu tak kasat mata, hati Senja serasa dikoyak. Sakit luar biasa hingga air matanya nyaris tumpah. “Tapi ....” Bu Lastri yang bingung memandangnya dengan dahi berkerut. “Tapi kenapa, Nduk? “O-oh ... “ Senja tersenyum canggung menahan bulir bening itu menetes. “I-iya, Bu, saya kebetulan teman kuliahnya,” bohongnya. Tidak mungkin ia mengaku sebagai majikan apalagi kekasih sementara orang-orang di desa itu mengira Dani atau Fardan tengah mengenyam pendidikan yang notabene juga memiliki keluarga. Bu Lastri mengangguk kemudian menoleh kembali pada orang di balik gerbang. “Mas Far ....” “Eh, jangan, Bu,” cegah Senja wanita yang hendak memanggil pria itu. Ia tak ingin Dani mengetahui kedatangannya. Walau jujur saja Senja nekat menyusul karena ada hal yang ingin disampaikannya pada sang bodyguard yang kerap kali menemaninya sejak masih sekolah. “Loh piye, to? Kok jangan?” bingung bu Lastri. “Saya cuma kebetulan lewat dan ditunggu teman di mobil. Mau mastiin aja alamat ini benar atau nggak.” Beruntung Senja mampu berpikir cepat untuk berkilah. “Kalau gitu saya permisi ya, Bu. Terima kasih udah nganter sampai sini.” “Beneran ini, Nduk, ndak mau ketemu?” Senja menggeleng menahan mata yang kian memanas. “Sekali lagi terima kasih ya, Bu,” ungkapnya tulus kemudian bersiap pergi. Namun terlambat karena objek yang mereka bicarakan terlanjur menoleh. Samar Dani mendengar saat Bu Lastri memanggil namanya. “Senja,” kaget Dani tak menyangka gadis itu menyusulnya. Diturunkannya bocah kecil dalam gendongan. Senja menatap datar pria yang kini berjalan mendekat. “Senja, aku ....” Seolah dibungkam bibir Dani tak sanggup melanjutkan ucapan. Bertanya dalam diam apakah gadisnya mengetahui tentang anak dan istrinya. “Ayah!” Hingga panggilan itu terlontar memuat Dani tersentak. Ah, sial! Terkuak sudah kebingungannya. Panggilan itu menjadi penegasan bagi sang gadis. “Iyah, aku ngerti sekarang.” Senja mengangguk. Memilih untuk tidak mengeluarkan berpuluh umpatan yang terkumpul di otak. Bisa saja ia ungkapkan rasa kecewa itu sekarang. Senja sanggup jika harus mengamuk meluapkan emosi. Namun rasanya tak elok. Ada tatapan bingung Bu Lastri, tatapan aneh wanita yang berusaha terlihat tenang, juga tatapan penuh pertanyaan dari bocah kecil tak bersalah. Semua mengarah pada Senja. “Aku bisa jelasin, Sen.” “Nggak perlu. Semua sudah sangat jelas.” Senja tak siap jika harus mendengar penjelasan yang pasti terasa menyakitkan itu sekarang. Karenanya ia memilih pergi. Tepat saat berbalik, bulir bening itu tak lagi kuasa Senja bendung. Seirama suara Dani yang terus menyeru namanya. Menetes mengungkapkan luka tak berdarah. Mengiringi langkah gontainya menuju mobil. Tega kamu, Dan! “Argghhh! Dani sialan!” umpatnya di balik kursi kemudi. Isak itu dibiarkannya lolos. Senja merasa bodoh karena percaya dan menyerahkan diri sepenuhnya pada pria munafik itu. Bahkan beberapa kali mereka melakukan hubungan badan sejak Senja masih kuliah di Jakarta. Yah, sedekat itu hubungan mereka tanpa sepengetahuan orang tuanya. “Fardan?” Senja mendengus sinis. “Kamu bohongin semua orang. Dasar penipu!” teriaknya tak menghiraukan perhatian orang lain yang melintas. Air mata itu kembali menggenang kala mengingat hubungan mereka yang sudah terjalin hampir lima tahun lamanya. Hubungan rahasia karena berbeda kasta. Senja terlahir dari keluarga berada sementara Dani adalah anak buah kepercayaan sang ayah. Dani dipercaya oleh Lingga - sang ayah - untuk menjaganya. Namun takdir membawa mereka pada satu kejadian tak diinginkan yang menimbulkan penyesalan bagi keduanya. “Ya Tuhan, kenapa aku harus percaya sama manusia b******k itu?” raungnya dengan air mata tak henti mengalir. Senja tak menyangka Dani tega mengkhianatinya. Menikahi wanita lain saat hubungan mereka terlanjur jauh. Dengan kasar diusapnya wajah penuh air mata itu. Senja menatap lurus ke depan. Pada sebuah jembatan besar yang membentang di atas sungai. Dibukanya pintu mobil sebelum mengayunkan langkah menuju jembatan. Senja berdiri tepat di pembatas jembatan. Mengamati air sungai yang mengalir deras. Ia yakin sedikit saja kakinya melangkah, dirinya akan berpindah ke dunia lain. Entah bisikan dari setan mana yang membawa kakinya terangkat melewati pembatas. Tak terpikir betapa khawatir kedua orang tua serta saudara laki-lakinya yang menunggu di rumah. Tak terlintas bahwa dirinya hidup di tengah kasih sayang yang berlimpah dari orang-orang di sekelilingnya. Yang ada dalam benaknya hanya luka dan Senja ingin menghilangkan rasa sakit yang semakin menyayat hati itu. Berharap dengan masuk dalam air luka hatinya sirna bersama deras arus air sungai. Perlahan, netra itu memejam. Menikmati hembusan lembut angin yang menerpa wajah sayunya. Menawarkan berjuta angan penuh kedamaian. Hingga tubuh ramping itu seketika melayang menghampiri aliran sungai. BYURRR ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD