Bab 13

1340 Words
Jika bukan karena sang papa, Senja tak ingin terjebak bersama Dani di rooftop rumahnya. Pria itu belum mengeluarkan sepatah kata pun semenjak mengajaknya naik. Senja melirik pergelangan tangan yang terpasang penunjuk waktu. Jam sembilan lebih tiga belas menit. Sudah hampir setengah jam dan mereka hanya berbicara dengan hati masing-masing. Duduk berhadapan dengan Dani yang terus menatap wajahnya membuat Senja risih. Sesekali saja Dani mengeluarkan kalimat yang tidak dilanjutkan. “Kalau nggak ada yang perlu diomongin mending aku tidur,” ucap Senja. Bangkit, hendak berlalu sebelum menatap tangannya yang dicekal Dani. “Lepas!” “Ada yang mau aku jelasin.” Dani melepas perlahan tangan yang begitu ingin ia genggam erat. Tak rela rasanya melepas begitu saja tangan yang selalu memberikan usapan lembut pada wajahnya itu. Kalimat itu sudah Dani ucapkan lebih dari tiga kali. Namun penjelasan yang dimaksud tak jua keluar. Atau mungkin Dani tengah memilih kosa kata yang tepat untuk memulai berbicara agar tak sampai menyakiti hati sang dara. Walau sepenuhnya ia sadar luka itu sudah ia torehkan terlalu dalam. Senja tak menjawab. Menunggu lebih tepatnya. Ia merasa tak perlu lagi menghindar. Toh, hatinya sudah dipersiapkan untuk menerima rasa sakit atas penjelasan Dani. Sekarang atau nanti hatinya tetap merasa sakit. “Aku nggak suka kamu dekat-dekat Morgan.” Itu pernyataan bukan penjelasan apalagi pertanyaan. Benar-benar membuat Senja habis kesabaran. “Aku nggak minta pendapat kamu,” kesal Senja. Yang ditunggunya adalah penjelasan atau setidaknya permintaan maaf karena kebohongan yang pria itu sembunyikan darinya maupun keluarga. “Kita nggak lagi bahas tentang Morgan.” “Morgan itu berbahaya, Senja.” “Kamu lebih berbahaya. Pembohong! Munafik! Kamu pengkhianat, Dani!” desis Senja tak mampu menahan amarah. Ingin ia berteriak sekencangnya namun akalnya masih waras. Tidak akan lucu kalau semua anggota keluarga menyusul naik hanya karena mendengar jeritnya. “Kamu ... nyusulin aku? Maksud aku ... kenapa kamu nyusul?” tanya Dani hati-hati. “Menurutmu kenapa?” Senja menatap lurus netra yang meredup di depannya. Menjawab dengan pertanyaan. “Takut kalau akhirnya aku tahu kamu nggak lebih dari seorang pembohong? Kamu hanya sekelas b******n teri yang nggak punya perasaan. Kamu takut aku tahu semua itu?” Dani ingin menjelaskan namun takut Senja semakin marah dan membencinya. “Ini nggak seperti yang kamu bayangkan.” “Apa yang aku bayangkan, huh?” sinis Senja. “Kamu tahu yang aku bayangkan?” Dadanya naik turun menahan marah. “Kamu nikahin dia karena kesalahan. Sama seperti yang kita buat. ITU YANG AKU BAYANGKAN!” teriak Senja pada akhirnya. Tak peduli akan memancing kerusuhan. Atau paling parah Dani harus menerima amukan Langit dan Lingga karena teriakannya. Jika mereka tahu kejadian sebenarnya. “Senja,” lirih Dani mendekat. Mengangkat tangan demi mengusap lembut pipi yang terlihat lebih tirus dari terakhir kali dirinya lihat. Namun sebelum terjadi, tangan itu harus terhempas karena sang gadis menepisnya kasar. “Stop!” Senja menutup mulut. Ada yang bergejolak di perut saat hidungnya menangkap aroma menyengat dari parfum yang Dani kenakan. Sebelumnya baik-baik saja bahkan Dani sempat menggenggam tangannya. Kenapa tiba-tiba terasa mual? “Jangan deket-deket!” perintahnya membuat Dani terpaksa menghentikan langkah. Tatap penuh penyesalan tertangkap jelas oleh netra Senja. Namun apakah itu berguna? Bahkan jika Dani harus menyerahkan nyawa untuknya, Senja tidak akan sudi. “Aku ... minta maaf.” Suara Dani tercekat. Terlihat sekali bertahan untuk tidak membuat Senja semakin murka. Senja memejam dalam. Menahan lesakan dari rongga mata. Kata maaf itu seolah mengungkap bahwa yang dipikirkannya benar. Kata maaf itu seolah mengatakan bahwa Dani adalah orang yang sangat mudah menyalurkan hasrat pada sembarang wanita. Kata maaf itu seolah menunjukkan bahwa Dani adalah pria paling kejam di dunia. Kata maaf itu seolah menjelaskan bahwa perasaannya selama ini jatuh pada orang yang salah. “Senja, aku ... “ Demi apapun, hal paling tak diinginkan Dani adalah melihat gadisnya menangis. Dani tidak kuat melihat air mata mengaliri pipi Senja. “Demi Tuhan jangan nangis, Sayang.” “Cukup, Dan! Sampai sini aku cukup tahu,” jeda Senja. “Dua tahun.” Senja mengangkat dua jari kemudian mengangguk seolah menegaskan selama itu sang pria mengkhianatinya. Dua tahun bukan waktu yang singkat. Nyatanya Dani tak sanggup menahan diri harus berpisah dari Senja. Kepergian gadis itu ke negeri kanguru untuk menuntut ilmu berujung membawa kisah mereka dalam pengkhianatan. Jarak jauh memang tidak selalu menjadi penghalang namun ada kalanya jarak menjadi ujian terberat dalam sebuah hubungan. “Itu semua terjadi karena ... “ Dani mendekat hendak menarik sang dara dalam pelukan namun seketika Senja mundur. Wanita itu berlari ke sudut rooftop hanya untuk menumpahkan isi perut. Gejolak itu menyeruak kuat begitu terhirup wangi tubuh Dani. Sialan! “Kamu kenapa?” Dani yang panik kembali mendekat. “Stop, Dani! Pergi dari sini!” Sudah cukup perutnya terkuras habis menyisakan cairan yang terasa pahit. “Pergi!” usir Senja tak membuat Dani beranjak. Pria itu bergeming dengan tatapan yang sulit dibaca. “Tapi kita belum selesai bicara.” Tak puas dengan pertemuan singkat itu. Bukan hanya untuk bicara nyatanya Dani tak bisa meninggalkan Senja dalam keadaan tidak baik-baik saja. “Ngomong apa lagi? Udah jelas, ‘kan semuanya?” Senja bangkit. Ditutupnya hidung rapat-rapat. “Aku hanya ... “ Perhatian Dani teralihkan pada ponsel yang berdering nyaring. “Ah, sial!” Dapat Senja tebak panggilan itu berasal dari Tata. Tak ingin peduli, wanita itu berjalan menjauh. Menuruni tangga meninggalkan Dani dalam kepanikan karena mendengar kabar dari seberang. Sampai di bawah, sepi. Semua orang sudah masuk kamar. Terang saja penunjuk waktu hampir menyentuh angka sepuluh. Senja menyeret langkah menuju dapur. Mencuci bekas cairan yang menempel di wajah kemudian mengambil air dingin dalam kulkas. Menenggaknya perlahan. Dari tempatnya duduk dapat ia tangkap bayangan Dani melintas melewati dapur yang sengaja Senja padamkan lampunya. Tampak pria itu berjalan tergesa menuju pintu utama tanpa melepaskan ponsel dari telinga. “Sepanik itu kamu dengar anak kamu sakit?” gumamnya perih. Mengusap bulir bening yang kembali menitik. Senja sempat mendengar sedikit percakapan mereka sebelum benar-benar menuruni tangga. Ia bahkan sampai terkesiap saat Dani memekik dalam panggilan. Mengusap wajah perlahan sebelum membenamkannya dalam lipatan tangan, Senja menangis dalam diam dengan meja dapur sebagai tumpuan. Colekan di bahu membuatnya berjengkit. Siapa? Senja menoleh cepat dan mendapati senyum tak bersalah dari sang kakak ipar. “Sialan! Ngagetin aja, deh,” gerutu Senja mengundang kekeh si pelaku. “Lagian ngapain tidur sini?” Rindu belum menyadari air mata yang mengaliri wajah Senja. “Bis mojok bukan langsung masuk kamar.” “Apa sih, mojok, mojok.” Senja melirik sengit sang sahabat. Rindu celingukan mencari satu lagi manusia yang disebutnya sedang mojok itu. “Daninya mana?” “Pulang, lah. Udah malem, kok.” “Hmm, masa sih cukup bentar doang?” goda Rindu semakin menjadi. Entah bawaan bayi atau bagaimana, nyatanya sikap sang kakak ipar semakin menyebalkan. “Ngomong apa cobak? Nggak jelas banget.” Senja semakin kesal “Ih, sok-sokan maen rahasia. Udah tahu kali hubungan kalian.” “Hubungan apa sih, Rindu? Aku nggak ada apa-apa sama dia.” “Dia? Dia siapa? Hahaha.” Rindu terbahak sebari membuka pintu kulkas. Niatnya ingin minum karena tenggorokan terasa kering. Eh, ada yang bisa dijailin. “Sama aja kayak kakaknya, heran. Suka maen gelap-gelapan.” Rindu menyalakan lampu tepat saat Senja membersihkan wajah yang basah oleh air mata. “Loh, kamu nangis?” tanyanya setengah tak percaya. Mana mungkin Senja yang terkadang menjengkelkan bisa mengeluarkan air mata. Pikir Rindu. “Enggak. Iler ini,” balasnya asal kemudian bangkit. Senja tak ingin Rindu tahu lebih banyak tentangnya dan Dani. Berbahaya. “Dasar jorok!” “Biarin.” “Senja, tunggu!” cegah Rindu menghentikan langkah Senja menuju pintu utama. Bukan masuk kamar gadis itu justru melipir ke luar. “Mau ke mana?” “Nyari cemilan bentar.” “Itu mukanya cuci dulu. Nggak lucu, ‘kan kalau diluar ketemu orang terus kecium bau ilernya?” Bodo amat! Alih-alih menuruti ucapan Rindu, Senja berjalan menuju satu-satunya mobil yang terparkir sembarang di halaman. Mobil sang kakak. “Tolong buka pintunya, Pak,” serunya pada penjaga pintu gerbang. “Udah malem, mau ke mana, Non?” “Balap liar.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD