“Loh, kalian kok bisa bareng?” tanya Langit tidak suka melihat Morgan menyapanya dengan senyum menyebalkan.
“Apa sih, Kak, nggak usah resek, deh!” kesal Senja. Ngeloyor begitu saja menuju kamar tanpa mengucapkan terima kasih bahkan kalimat perpisahan pada pria yang dengan rela mengantarnya sampai rumah.
“Senja!” panggil Langit. Berbalik mengikuti langkah sang adik sebelum menyadari iblis Morgan masih di ambang pintu. Pria itu kembali memutar tubuh. “Pergi, Lo!”
Bukan tersinggung, Morgan justru tergelak. Di sini dapat ia lihat persamaan kelakuan dua bersaudara itu. Sama-sama tidak punya sopan santun. Padahal menurut Morgan orang tua mereka adalah orang tua paling ramah yang pernah dirinya kenal.
Tak lama kemudian kamar Senja terbuka menunjukkan wajah tak bersalah sang empunya. Mengambil langkah mendekat kemudian melempar kunci ke arah Morgan.
“Bawa mobil aku!” serunya. Senja baru menyadari Morgan mengantar pulang dengan mobil miliknya. Bagaimana pria itu pulang?
“Aku bisa pesen online.”
“Aku tahu kamu nggak ada duit,” balas Senja membuat Morgan terkekeh. Enak saja! Hartanya bahkan masih cukup untuk membeli rumah. Senja tidak tahu saja.
“Udah bawa, bawa!” Langit mengusir Morgan dengan isyarat tangan. Tak ingin lebih banyak lagi melihat interaksi dua manusia itu. Apalagi sampai mengundang perhatian Rindu. “Lo juga! Masuk kamar!” titahnya menatap tajam sang adik.
Senja menurut dan hanya memberi kode pada Morgan agar mengiriminya chat kemudian. Masuk kamar dan segera mengunci pintu sebelum Langit memaksa masuk. Akan sangat repot menjawab pertanyaan jika sang kakak yang menyebalkan itu sudah dalam mode kepo.
Sementara Morgan berlalu setelah memberi kedipan mesra ke arah Langit. Hobby barunya ternyata cukup menyenangkan. Membuat Langit naik darah.
“Najis, Lo!” Umpatan itu mengantar kepergian Morgan yang terbahak menghampiri mobil.
“Ada apa, sih, kok rame banget?” tanya Rere keluar kamar diikuti Lingga. Dari dalam kamar terdengar oleh dua paruh baya itu kegaduhan mereka.
Langit menekuk wajah. “Bisa-bisanya Senja jalan sama Morgan.”
“Morgan?”
“Iya, Ma. Tuh, orangnya pergi bawa mobil Senja.”
“Kok bisa?” Ini bukan tentang mobil. Maksud Rere adalah Senja dan Morgan jalan bersama. Sejak kapan? “Atau mereka cuma kebetulan ketemu.”
“Lagian kenapa kalau Senja jalan sama Morgan?” tanya Lingga terlewat santai membuat Langit kembali bersungut.
“Yah, Papa. Masih belum tahu juga kelakuan bocah itu. Kan Papa korbannya.” Seolah tak lelah mengingatkan agar mereka berhati-hati. Namun sepertinya usaha Langit sia-sia. Lihat saja tanggapan sang papa berikutnya.
“Semua orang pernah melakukan kesalahan. Kamu juga, ‘kan? Pernah nakal pada jamannya?”
“Beda dong ... dia tuh psiko, Pa.” Langit hanya tidak ingin Senja terjebak apalagi sampai menjalin hubungan walau hanya sekedar pertemanan. Karena yang ia tahu sang adik mencintai Dani. Bisa dibayangkan, serepot apa jika Morgan masuk dalam hubungan keduanya. “Morgan bisa lakuin apapun. Aku cuma khawatir kalau kejadian dulu keulang lagi.”
“Kamu berlebihan, Sayang,” kekeh Rere menimpali. “Morgan sendiri udah minta maaf ‘kan sama Senja waktu itu dan mengakui kalau perasaannya salah alamat. Udah, deh, jangan mikir aneh-aneh.”
Langit menghela nafas panjang. Sumpah demi apapun, Langit lebih rela Senja hidup seadanya bersama Dani tanpa campur tangan manusia berhati iblis macam Morgan.
“Kayaknya kita harus ngomong sama Dani biar bisa lebih ekstra jaga Senja,” usul Langit.
“OGAH!” Dari dalam kamar Senja berteriak. Bahkan batang hidungnya belum kelihatan. “Aku bukan anak kecil yang harus dijagain terus. Please, deh, Kak,” gerutunya berjalan menghampiri kemudian mendudukkan diri tepat di sisi sang kakak duduk. Di depan orang tua mereka.
“Demi keselamatan lo!”
“Nggak! Pokoknya aku nggak mau!”
“Ck! Kenapa, sih, tiba-tiba aneh gitu? Biasanya paling seneng sama Dani.”
“Ya ... “ Aduh, harus Senja jawab apa? Memang benar, ditemani Dani adalah hal yang menyenangkan. Tapi ... itu dulu sebelum mengetahui kebusukan terselubung pria itu. “Mulai sekarang aku pingin mandiri tanpa ditemani siapa pun.”
“Lagu-laguan mandiri ...,” cibir Langit, “nyuci aja nggak becus pake ngomongin mandiri.”
“Nggak nyambung! Jauh banget jagain orang sama nyuci.”
“Nah lo ‘kan manja. Mana bisa jaga diri?” Langit menoyor pelan kepala sang adik yang entah kenapa begitu bebal akhir-akhir ini. Langit jadi kesal terus-terusan dibuatnya.
“Kita buktiin aja, aku pasti bisa.” Senja bangkit hendak mengambil air minum di dapur. “Oh ya, Ma, Pa, ntar kalau aku belajar mandiri jangan lupa kasih jatah bulanan, ya.”
Langit tergelak. “Buahahaha. Mandiri itu nggak minta-minta, SENJA.”
“Aku cuma minta jatah, bukan minta-minta,” teriaknya dari dapur mengundang gelengan kepala orang tuanya.
“Oh ya, gimana hasil pemeriksaan Rindu?” Rere bertanya mengingat sang menantu mual muntah dua hari lalu.
“Alhamdulillah, positif, Ma.” Langit bersyukur Tuhan masih memberinya kesempatan kedua menjadi orang tua setelah gagal menjaga anak pertama mereka.
Jantung Senja berdetak lebih cepat mendengar kalimat itu. Didaratkannya gelas kaca yang baru saja mengalirkan air dingin dalam kerongkongan ke meja dapur. Sesaat hatinya terasa bagai diremas. Senja menghela nafas berat kemudian meneguk sisa minumnya sebelum melipir menuju kamar.
“Sayang mau ke mana?”
“Pingin rebahan, Ma, capek.”
“Ini lho, ada kabar baik dari kakakmu,” timpal Lingga.
“Oh ya? Kabar baik apa?” Mau tak mau Senja kembali membaur. Berpura tak mendengar percakapan mereka sebelumnya.
“Rindu hamil. Kasih selamat ke gue!” titah Langit mengulurkan tangan.
“Selamet, deh.” Senja balas mengulurkan tangan tapi untuk menepis bukan bersalaman seperti harapan Langit.
“Kok kayak nggak ikhlas gitu?”
“Harus banget gue bilang? ‘Oh, selamat ya, Kakak tersayang (dengan nada dibuat-buat), gitu?”
“Boleh, si, itu bentuk apresiasi.”
“Kamu sendiri kapan?” tanya Lingga membuat Senja terkesiap padahal nada bicara itu terdengar pelan.
“Papa mau aku hamil juga?” balasnya dengan pertanyaan. Memasang wajah bodoh.
“Udah gede masih aja nggak nyambung diajak ngomong. Mau mandiri kaya gimana cobak?”
Satu pukulan keras mendarat tepat di bahu Langit membuat kedua orang tua terkekeh. “Sirik mulu, heran.”
Ketukan di pintu mengalihkan perhatian semua orang. Dani masuk setelah dipersilakan dan bergabung bersama keempatnya. Lelaki tiga puluh empat tahun itu menyapa sang big boss sebelum mendudukkan diri. Melaporkan hasil penemuannya tentang tugas yang diberikan Lingga beberapa hari lalu.
Sedikit informasi tentang Dani. Bernama Lengkap Fardan Indradianta adalah asisten pribadi Lingga semenjak masih muda. Jika dihitung pria itu telah bekerja bersama Lingga selama delapan tahun. Kesetiaannya pada Lingga tak pernah surut. Hal itu membuat Lingga percaya sepenuhnya pada sang asisten hingga menjadikannya bodyguard bagi Senja. Asisten pribadi merangkap sebagai pengawal tuan puteri.
“Ada kabar terbaru?”
Dani mengangguk. Mengulurkan sebuah map pada sang majikan. “Ini informasi yang berhasil saya dapatkan. Maaf, Pak terlalu lama.”
Sebenarnya informasi itu sudah ia dapatkan sejak kemarin tapi karena harus mengurus Regan yang terpaksa masuk sakit maka baru sekarang bisa Dani laporkan.
“Tidak apa.” Lingga membuka satu-persatu lembar yang diberikan Dani kemudian menutupnya kembali dan memberikannya pada sang putra. “Itu bagian kamu!”
“Jadi bener?” tanya Langit mengarah pada Dani diangguki pria berbadan tinggi kekar itu.
Dua wanita yang tidak tahu menahu masalah yang para pria bicarakan hanya bisa menyimak. Sesekali Senja bertemu tatap dengan Dani dan berakhir dengan membuang muka.
“Oh ya, Pak, kalau tidak ada lagi yang perlu saya lakukan, saya ingin meminta ijin sesuatu,” ucap Dani menyorot tajam wanita yang terus mengalihan pandangan. Enggan menatapnya.
“Apa itu?” tanggap Lingga dengan pertanyaan.
“Saya meminta ijin berbicara pada Non Senja.”
Cepat Senja menoleh. Tatapannya berubah tak ramah. Apaan? Siapa juga yang ingin bicara pada Dani? “Tapi aku ngan ....”
“Sebentar saja, Non. Ini penting,” potong Dani. Kapan lagi ada kesempatan memberi penjelasan. Karena ia yakin Senja benar-benar akan pergi setelah mengetahui kebohongannya.
Lingga menatap Senja dan Dani bergantian. Apa hal yang terjadi? Biasanya mereka tidak sekaku itu. “Silakan.”