“Mau nangis, nangis aja. Nggak usah sok kuat,” sarkas Morgan. Melihat Senja dalam kondisi seperti ini entah kenapa membuatnya tak suka. “Kamu cuma kehilangan b******n itu. Dunia nggak akan runtuh. Nggak usah lebay!”
Senja diam seribu bahasa. Menghempaskan tubuh di kursi samping kemudi sementara Morgan ada di sisinya.
Bagi sebagian orang, patah hati adalah hal biasa. Namun tidak bagi Senja yang merasa masa depannya telah hancur.
“Kamu tuh cantik. Ibaratnya nih, sekali lirik cowok-cowok pada ngantri. Apa sih lebihnya si b******k itu?”
Bagi orang lain, mungkin menemukan pengganti semudah membalik telapak tangan. Namun bagi wanita itu mencari pengganti adalah momok. Bahkan untuk membayangkan Senja tak terpikir.
Belum ada tanda-tanda kalimatnya terjawab, Morgan kembali buka suara, “Seberapa jauh hubungan kalian?”
Bukankah terasa berlebihan jika Senja berlarut dalam kesedihan? Sementara status mereka hanya pacar, bukan tunangan apalagi suami istri.
“Mungkin kayak kamu sama Anyelir,” balas Senja pada akhirnya, hampir tak terdengar.
Morgan menghela nafas berat. “Jadi inget waktu kita bareng. Boro-boro kamu mau aku sentuh, baru pegang pipi aja kamu langsung ngamuk. Aku pikir kamu bisa banget jaga kehormatan. Nggak nyangka, ternyata ... “
“Gampangan,” sela Senja. “Kamu mau sebut aku gampangan?” Senja menampakkan senyum kecut.
“Aku nggak bilang gitu,” sanggah Morgan meski itulah sebenarnya yang ia maksud. Senja begitu mudah termakan bujuk rayu Dani. Sementara padanya wanita itu bersikap kebalikan. Cinta. Mungkin itu penyebabnya.
“Atau murahan?” Senja mengangguk. “Mungkin bener. Aku terlalu gampang nyerahin diri sama Dani. Tapi itu terjadi begitu saja. Aku dimanfaatin dua pria dalam satu waktu.” Tangan Senja mengepal saat mengatakan kalimat itu seolah menahan perih yang amat dalam. ‘Walau pada akhirnya ... kami saling menikmati.’ Terasa sulit diungkapkan hingga Senja hanya mengucapnya dalam hati.
“Maksud kamu?” Morgan tidak pernah tahu kecelakaan yang menimpa Senja karena itu terjadi sebelum obsesinya pada wanita itu.
Senja menggeleng. Percuma menjelaskan. Toh tak ada gunanya lagi. Semua terlanjur terjadi dan waktu tidak bisa diulang.
“Siapa dua pria itu?”
Senja kembali menggeleng, kali ini sembari memejam, membiarkan bulir bening yang ditahannya mati-matian mengalir begitu saja.
“Siapa mereka, Senja? Dan apa yang mereka lakuin?” tanya Morgan terdengar lebih tegas.
“Nggak ada.”
“Langit tahu?”
Wanita itu menggeleng. Sudah jadi daging cincang Dani kalau Langit sampai tahu masa lalu mereka.
“Dani salah satunya?”
“Udahlah, Morgan. Nggak ada yang perlu dicari tahu,” melas Senja tak ingin terus didesak. Semakin Morgan ingin tahu semakin terasa menyiksa bagi Senja karena harus diingatkan kembali peristiwa yang seharusnya tak perlu dikenang. Bahkan jika bisa, Senja rela Tuhan memotong ingatannya tentang kejadian itu. “Itu udah jadi masa lalu.”
“Masalahnya tu masa lalu kebawa sampe sekarang.”
“Hanya butuh waktu.”
“Berapa lama? Setahun? Dua tahun? Atau bahkan sepuluh tahun?” Morgan menjeda ucapannya. “Berapa lama kamu butuh waktu buat lupain masa lalu?”
“Aku nggak tahu.” Kalimat itu semakin lirih terdengar. Seolah tak ada semangat untuk mengatakannya.
“Masa lalu buat dikenang, Sen, bukan jadi penghalang kita meraih masa depan. Kamu harus move on!”
“Masa depan? Indah banget, ya, kalau ngomongin masa depan? Tapi ... entahlah. Aku ngerasa semuanya hilang. Masa depan dan cita-citaku.”
“Gila! Gue nggak kenal nih, lo yang kayak gini!” Morgan menggeleng tak percaya. “Senja yang gue kenal tu ceria, bahagia, bukan menye-menye apalagi punya nyawa setengah kayak gini!”
Senja akan dengan senang hati tertawa terbahak jika moment-nya pas. Hanya saja, ah! Sudahlah.
“Cerita sama gue, biar gue bantu selesein. Paling nggak gue bisa keluarin tenaga kalau urusannya pukul-pukulan.”
Senja terkekeh. “Sok-sokan mau bantu, nggak liat tuh badan ceking begitu?”
“Yah, dia ngece! Ceking-ceking gini gue sanggup bertahan sama empat cewek sekaligus dalam satu malem. Mau coba?” godanya.
“Najis!”
“Najis, najis, doyan, Lo!”
Itu kalimat biasa tapi entah kenapa terdengar begitu menohok.
“Sehina itu, ya, aku?” Tangannya terangkat menutup wajah. Tak kuasa membendung bulir bening yang kian melesak.
Menyadari yang dikatakannya membuat wanita itu terluka Morgan buru-buru menyela, “Hey,hey, sorry, aku cuma ... aku becanda, Sen, sumpah!” Ditariknya tubuh ringkih itu dalam pelukan. “Aku nggak bermaksud nyinggung perasaan kamu.”
Sepersekian menit hening, Morgan kembali berucap, “Kamu boleh jadiin bahu aku buat bersandar. Boleh juga kok, badan aku kamu jadiin samsak buat lampiasin kekesalan,” kekehnya dengan ucapan sendiri. Karena Senja bukan Rindu yang ahli bela diri.
Senja mengurai pelukan. Menatap lekat netra yang menyorotnya teduh. “Apa yang akan kamu lakuin kalau Anyelir hamil?”
“Kenapa tiba-tiba nanya gitu?”
“Jawab aja!”
“Tanggung jawab, lah. Kalau anak aku tapi, kalau bukan ya ... ogah. Aku nggak mau jadi tumbal kegilaan dia.”
Yang ini Senja tahu. Anyelir bahkan sering kali tidur dengan kakaknya, Langit. Dulu, sebelum menikahi Rindu.
“Anyelir bukan tidur sama aku aja,” lanjut Morgan.
“Oke.”
“Apanya yang oke?”
“Ng ...,” gelengnya. “Ayok pulang.”
Morgan menggeleng. Bukan Senja kalau tidak menggantung ucapan.
“Siap, Tuan puteri,” balasnya mulai melaju. Meninggalkan motor sport yang dipakai sebelumnya di area parkir rumah sakit.
***
Di rumah sakit sepasang suami istri tengah berdebat. Dani yang kesal karena Tata membuka rahasia mereka di depan Senja sedangkan Tata marah karena merasa Dani tidak adil dengan menyembunyikan pernikahan mereka demi menjaga perasaan Senja.
“Kamu kenapa sih marah-marah nggak jelas?” tanya Tata dengan penuh kekesalan. Padahal hampir saja ia berhasil mempermalukan Senja.
“Tanya sama diri kamu sendiri!” tunjuk Dani wajah menyebalkan itu.
“Wajar dong, Mas aku memperkenalkan diri, dia itu ‘kan ma-ji-kan kamu.” Tata sengaja memperjelas kata ‘majikan’ agar Dani menyadari batasan mereka.
“Bukan itu niat kamu.” Sudah terbaca oleh Dani niat sebenarnya sang istri adalah menunjukkan pada Senja bahwa ia bukan lagi lajang. Tata ingin memberitahu Senja tentang pernikahan yang selama ini Dani sembunyikan. Tata ingin menegaskan bahwa Senja tidak berhak memiliki pria itu.
“Terus kamu maunya gimana? Aku diem aja jaga perasaan dia sementara kamu nggak pernah ngerti perasaan aku, gitu?” marah Tata tak terima.
Sejak awal menikah Dani sudah memberi tahu bahwa ia mencintai wanita lain yaitu Senja. “Inget perjanjian kita, Tata!”
“Aku inget. Tapi sekarang kondisinya berbeda, Mas. Udah ada Regan di antara kita. Kamu mau anak kita tumbuh tanpa ayah?”
“Aku akan tetap bertanggung jawab layaknya seorang ayah. Tapi untuk terus bertahan sama kamu, aku nggak bisa janji.”
“Tega kamu, Mas!”
Dani menyadari sikapnya pada Tata dan Senja berat sebelah. Walau sudah berstatus suami, Dani tidak pernah memiliki secuil pun perasaan suka apalagi cinta terhadap Tata. Sedang Senja adalah tujuan hidupnya. Pada Senja ia curahkan segala perasaan tanpa meminta balasan cinta yang sama. Untuk Senja ia berikan segala perhatian meski menyadari perhatian serupa tidak sepenuhnya gadis itu berikan. Demi Senja ia korbankan segalanya walau harus kehilangan Tata. Egois, bukan?
“Kamu nggak adil, Mas.”
“Keadilan macam apa yang kamu tuntut dari aku? Dari awal nikah kita udah salah.”
“Aku percaya kamu bisa berikan kasih sayang melimpah buat Regan, aku juga percaya kamu mampu memberikan penghidupan yang layak buat dia. Tapi bukan cuma itu yang anak kita butuhkan, Mas. Dia juga butuh orang tua yang lengkap. Tolong, seenggaknya kamu pikirin perasaan Regan.”
“Huh! Dikasih hati minta jantung,” gerutu Dani. Tak menyangka seserakah itu istrinya.
Hey! Mana ada seorang istri pun di dunia yang merelakan suaminya berbagi kasih dengan wanita lain? Pun dengan Tata. Akan ia pertahankan apa yang sudah menjadi miliknya.
“Kenapa nggak? Aku bahkan sudah memiliki seluruh bagian tubuhmu. Bukan cuma hati atau pun jantung.”
“Aku nggak nyangka kamu segila itu.”
“Siapa yang lebih gila, Mas, aku atau kamu?” d**a Tata bergerak naik turun menahan marah. “Ya, aku emang gila dan apapun akan aku lakuin Demi Regan.”
“Kamu sakit, Tata!”
“Terima kasih, aku anggap itu perhatian.”
Wanita gila macam apa yang dinikahinya? Dani heran dengan apa orang tuanya berpikir hingga memilih wanita itu sebagai menantu. Padahal jika dibanding Senja, Tata bukan lah saingan berarti. Namun itu tak membuat kedua orang tuanya menyetujui hubungannya dengan Senja. Alih-alih memberi restu, orang tua Dani lebih memilih membawa masuk anak dari rekan sejawatnya sebagai anggota keluarga baru. Tanpa meminta pendapat dan persetujuan.
“Aku bisa lakuin apapun, termasuk menghabisi Senja. Demi Regan!” bisik Tata membuat bulu kuduk Dani meremang. Dasar sarap!