Bab 10

1332 Words
“Lo tahu Senja, ‘kan?” tanya Morgan pada pria bersnelli yang duduk memperhatikan laptop di hadapan. Morgan memang kerap kali datang dan mengganggu sang sepupu yang berprofesi sebagai dokter. “Gue nggak akan lupa sama cewek lo.” Morgan menggeleng. “Gue udah tau perasaan gue yang sebenernya.” “Oh ya?” Steve menoleh tertarik. Ia bahkan sampai menutup laptop demi mendengarkan cerita selanjutnya. “Gimana?” “Ternyata lo bener, gue cuma terobsesi sama Senja. Kalau dipikir-pikir perasaan gue sebenernya bukan buat dia, tapi Rindu.” “Ck.” Steve berdecak. “Kasian, ‘kan dia jadi korban perasaan nggak jelas lo.” Pria tampan berkaca mata itu kembali membuka laptop dan menekuri isi yang terpampang di layar. “Ya ... gimana? Lo tahu lah gimana Senja. Dia tuh menarik perhatian banget. Nggak salah dong gue pikir jatuh cinta sama dia?” “Nggak salah. Nggak ada yang salah dengan cinta ...,” balas Steve santai, “tapi cara lo dapetin cinta dia yang nggak bener,” imbuhnya. “Iya, gue nyesel. Udah maksa dia abis-abisan, eh, ternyata guenya yang nggak cinta. Untung tuh cewek nggak jadi cinta sama gue.” “Untung apaan? Yang ada dia sakit karena terus-terusan dikasih obat. Gila!” Steve ingat hampir tiap hari Morgan memberi Senja obat tidur demi membuat gadis itu tidak kabur. Morgan juga tak segan-segan meminta obat bius padanya untuk berjaga-jaga bila keadaan mendesak. “Gue bersyukur, sih, seenggaknya dia nggak ngalamin patah hati juga karena sikap gue. Cukup sakit fisik aja. Itu juga udah bikin gue nyesel banget.” “Ada gunanya penyesalan lo?” cibir Steve mengundang senyum kecut yang ditanya. Morgan menggeleng. “Seenggaknya, gue masih normal. Gue manusia yang masih sadar dan nyesel setelah lakuin kesalahan.” “Terus, usaha lo buat perbaiki kesalahan?” “Nah, ini yang mau gue bahas.” Morgan menegakkan tubuh mengisyaratkan yang akan dibahas adalah hal serius. “Senja mau gue jadi pacar pura-puranya.” “Hah?” kaget Steve. Tidak menyangka Senja malah menceburkan diri dalam kobaran api. Sudah tahu Morgan gila masih saja bermain-main. “Yap.” Morgan mengangguk mantap. “Gila, nggak menurut lo?” “Gimana bisa? Bukan harusnya trauma ya, dia?” “Itu juga yang gue heran. Bukan takut dia malah minta tanggung jawab dengan jadi pacar pura-pura buat nebus kesalahan gue. Aneh, ‘kan?” “Berarti dia punya alesan.” Steve menyandarkan tubuh di kursi. Membuang sejenak pandangannya pada wajah di hadapan. “Basi nggak sih kalau alesan dia cuma buat hindarin cowoknya?” Steve mengedikkan bahu. “Gue nggak ngerti gimana cara cewek berpikir.” Mungkin itu yang membuat Steve kehilangan istrinya setelah bertahan dua bulan dalam pernikahan, karena pria itu tak berusaha mengerti perasaan wanita. “Karena obsesi gue dulu, gue jadi nguntit dia ke mana pun. Informasi apapun gue cari. Sampailah gue pada kabar kalau pacarnya Senja itu ternyata udah punya anak istri. Cuma nggak bisa dong gue tiba-tiba ngasih tahu. Gue jaga perasaan dia.” Morgan bercerita panjang lebar sementara Steve mendengarkan tanpa mengalihkan tatapan dari layar laptop. “Dan sekarang dia tahu?” “Mungkin ... waktu gue tanya dia nggak jawab.” Steve melirik penunjuk waktu yang melingkar di tangan kiri. “Pergi, Lo!” “Set! Lo ngusir gue?” kesal Morgan. “Gue ada praktek bentar lagi.” “Gila, Lo, diajak ngobrol serius juga,” gerutu Morgan namun tetap bangkit. Menghampiri pintu sebelum berucap, “Besok gue balik lagi.” “Nggak ada! Kalau mau ngobrol di rumah. Gue nggak ada waktu di sini.” *** Senja keluar dari ruangan dokter begitu pemeriksaan selesai. Entah apa yang membuat langkahnya memutari gedung rawat inap sementara jarak ruangan tempatnya diperiksa dengan area parkir tidak terlalu jauh. Wanita itu melangkah santai ketika sebuah tangan menggapai tubuh membawanya perlahan membentur dinding. Netra Senja membola saat tanpa aba-aba birainya menempel pada birai seseorang yang begitu cepat menyambar. Ia bahkan tak sempat mengenali manusia kurang ajar itu. Lihat saja, Senja sudah siap meluncurkan sumpah serapah bahkan jika perlu mengeluarkan tenaga demi membuat si b******k itu babak belur. Didorongnya kasar pria itu hingga ciuman mereka terlepas. “MORGAN!” kagetnya. “Lo ngapain?” Senja mendesis. Memperhatikan keadaan sekitar, hanya ada beberapa orang yang tak menyadari tingkah konyol mereka. “Perhatiin arah jam lima!” Senja memutar pandangan. Seorang pria yang juga tengah menatapnya berjalan mendekat. “Senja,” lirih pria itu. Seolah tak mendengar sapaan yang dilayangkan pada sang wanita, Morgan kembali meraih tengkuk Senja dan melumat perlahan belah ranum itu. Tak peduli jika pun ada pengunjung yang kebetulan lewat dan memprotes tindakan mereka. Senja menerima dengan baik perlakuan Morgan meski netranya tak bisa berbohong. Di sela pagutan yang terlihat memabukkan itu mengalir bulir bening di satu sisi wajahnya. Senja menangis. Beruntung Morgan dengan sigap mengusap pelan pipi yang basah itu. Sementara Dani menatap nanar pemandangan yang membuat darahnya berdesir, marah. Yah, Dani. Pria itu tengah menunggu Regan – sang putra – yang mengalami kejang-kejang karena demam tinggi dan harus dilarikan ke rumah sakit. Pantas semalam pria itu terlihat begitu khawatir menerima panggilan telepon. Sepulang dari kampung halaman, Dani membawa serta Tata – sang istri – dan Regan untuk tinggal bersamanya di rumah kontrakan. Dani membawa mereka bukan semata-mata karena keinginannya. Bahkan jika boleh, ia ingin segera meninggalkan Tata demi Senja. Namun apa yang bisa dilakukannya jika sang ayah sendiri yang membuatnya membawa mereka. Jadilah Dani harus memutar otak memikirkan cara menyembunyikan anak dan istri sekaligus membagi waktu antara menjaga sang majikan dengan keluarga. Sungguh hal yang menjengkelkan. “Apa-apaan, Lo?” sergah Dani tak terima. Mana bisa ia biarkan Senja-nya dicium orang lain. Apalagi oleh Morgan. Ditariknya kasar kerah baju Morgan bersiap memberikan pukulan. “Kamu yang apa-apaan?” Dani menghentikan aksi mendengar kalimat Senja. Dihempaskan kasar tubuh Morgan hingga membentur dinding. “Apa maksud kamu?” tanyanya melembut. Menatap lekat netra yang menyorotnya penuh kebencian. Mendekat, membisikkan kalimat yang membuat d**a Senja berdenyut sakit. “Kamu pikir aku bisa liat kamu ..., “ Dani menggantung kalimat. Membiarkan Senja mengisi sendiri bagian yang kosong. “sama dia?” Sementara dalam hati Senja berbisik, ‘Lalu kamu pikir sekuat apa hati aku harus menerima pengkhianatan?’ “Bukannya itu wajar dilakuin orang pacaran?” Tanpa rasa bersalah Morgan menyela. “Pacar?” Dani bertanya tak percaya. “Kamu pacaran sama si b******k ini?” “Sesama b******k dilarang saling tikung.” “Lo yang nikung, b******n!” desis Dani habis kesabaran. “Ada apa, Sayang?” Semua mata tertuju pada seorang wanita cantik pemberi pertanyaan. Pun dengan Senja yang terkejut mendapati wanita itu berdiri menghadapnya. Wanita itu, wanita yang Senja lihat bersama Dani di kampung. Lalu kenapa wanita itu ada di sini? Senja menatap tajam Dani seolah menantang. Beranikah pria itu memberi penjelasan? “Senja ....” “Ayok!” Morgan menarik paksa tangan Senja. Untuk apa bertahan di sana? Untuk menyaksikan kemesraan pasangan suami istri itu? Morgan tak sampai hati membiarkan Senja menikmati kesakitan itu. “Senja, ayok.” Namun Senja bergeming. “Oh, ini yang namanya Senja. Perkenalkan, saya Tata istrinya Mas Dani.” Wanita dengan perawakan tinggi itu mengulurkan tangan. Belum sempat Senja menerima uluran tangan itu, Dani sudah lebih dulu menyeret tangan sang istri menjauh. “Apa yang kamu lakuin?” desisnya tajam mengundang senyum sinis istrinya. “Apa yang salah, aku hanya memperkenalkan diri. Boleh, ‘kan, Senja?” Diliriknya wanita yang menatapnya dengan netra berkaca-kaca. Sedangkan Dani meremas rambut, frustasi. Netra gadis itu terlihat begitu terluka dan menyakiti hatinya. “Senja, aku bisa jelasin ... “ “STOP!” potong Morgan. “Penjelasan apa lagi yang mau lo kasih?” “Lo ... DIEM!” Dani yang kesal Morgan terus menimpali ucapannya mengangkat telunjuk. “Nggak usah ikut campur urusan gue!” Morgan hendak menjawab namun Senja memberinya isyarat untuk membawanya pergi. Dengan sigap pria itu menggandeng tangan Senja menjauhi Dani yang berteriak kesal. “SENJA!” Tata tersenyum mencibir. “Cantik, sih, tapi kurang semok. Pantesan kamu lebih nafsu sama aku.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD