bc

She (Fianer) season 2

book_age4+
531
FOLLOW
9.9K
READ
family
second chance
arranged marriage
arrogant
CEO
sweet
like
intro-logo
Blurb

Lima tahun yang lalu ... aku berpisah dengannya.

Dia pergi, aku pergi. Kami menjalani hidup sendiri-sendiri. Dan saat itulah aku mati rasa.

Sekarang ... tidak peduli apapun yang terjadi, aku akan menjemputnya kembali

chap-preview
Free preview
Part 1 - Rindu
Rindu selalu bercerita tentang kehilangan. Gadis itu ada di depan sana. Tersenyum dengan lebarnya. Melihat senyum itu, senyumnya juga terkembang sempurna. Dia sangat suka melihat senyum itu. Dia ingin melihat senyum lebar itu lagi. Untunglah gadis itu ada di depannya, lengkap dengan senyum lebar yang sangat dia rindukan. Dia tahu, seharusnya dirinya berjalan ke arahnya, melihat senyum itu lebih dekat agar dirinya bisa menikmati senyum itu lebih jelas. Tapi langkahnya tak pernah membuatnya mendekat. Langkahnya hanya ada di tempat yang sama. Langkahnya hanya terus berjalan di sana secepat apapun dia berusaha. Seketika, dia memicing sambil melindungi wajahnya dari cahaya yang datang tiba-tiba - begitu menyilaukan. Kemudian matanya terbelalak setelah  mengetahui cahaya apa itu. Dengan ketakutan, dia berlari menghampiri. Dia berlari lebih cepat. Tapi langkahnya berat sekali. Seperti dia melangkah di dalam air, seperti langkah slow motion yang membuatnya lamban. “ANNN! AWAAAAASSSS!!!!” Dia melihat panik ke arah mobil itu. Dia terus berlari, tapi .... BRAKKK!!! Terlambat. Gadis dengan senyum lebar itu terbang setelah sebuah mobil hitam menabraknya. Lalu tubuhnya terjatuh begitu saja dengan berlumuran darah. --- Mata itu tiba-tiba terbuka -tersentak kaget. Nafasnya memburu mengingat mimpi mengerikan tadi. Nafasnya terengah. Matanya mengerjap-ngerjap panik. Dia menatap berkeliling dan mendapati dirinya ada di ruang kerja. Setelah menyadari di mana dia berada, baru dia bisa bernafas lega. Mimpi. Itu hanya mimpi. Hanya mimpi buruk yang terus berulang-ulang. Membuat dia tak pernah bisa tidur tenang. Laki-laki itu mengusap wajahnya. Lalu menatap sebuah foto yang dia sengaja pasang di atas meja. Foto wanita itu ... lengkap dengan senyumnya yang lebar. Rasa rindu itu pelan-pelan merayap kuat. Dia tak pernah menghitung sudah berapa malam yang dia lewati dengan bermimpi melihat wanita ini tersenyum, lalu tiba-tiba dia kehilangan senyum itu entah dengan cara apa. Dan saat dia bangun, dia hanya bisa merasakan rindu yang luar biasa. Berulang-ulang seperti itu terus. Membuat dia selalu ingat dengan ketakutannya. Seperti ingin menyiksanya. Kecanduannya pada n*****a sudah hilang bertahun-tahun lalu. Dia bisa lepas dengan mudah. Tapi sudah bertahun-tahun gadis ini berada dalam otaknya, mimpinya, hatinya. Dia tak pernah bisa lepas dari ingatan itu. Wanita ini lebih dari n*****a baginya. “Nggak ada gue baik-baik ya. Sesusah apapun, lo harus hidup. Lo harus bahagia. Lo harus lebih bahagia dari gue.” Kata-kata itu sudah seperti kaset rusak yang selalu diputar berulang-ulang. Hanya dengan kalimat itu dirinya punya kekuatan untuk bisa bertahan satu hari lagi. Bekerja sampai kelelahan lalu tertidur dan memimpikan senyum itu lagi, lalu kehilangan senyum itu lagi, lalu mengingat kata-kata itu lagi dan mempunyai kekuatan lagi untuk satu hari. Begitu terus sampai lima tahun ini. Egar menghela nafas menahan sesak yang bahkan tak pernah berkurang jumlahnya. Tapi dia berusaha mengabaikannya. Dia mengambil bingkai foto itu dan menatapnya. “Aku baik-baik saja.” katanya. Jemari itu mengusap permukaan kaca yang melapisi foto wanita ini dan senyumnya. Sejenak, dia berusaha untuk tidak larut dalam rindunya ini. Dia meletakkan foto itu lagi lalu membuka dokumen yang dia tinggalkan karena tertidur. Dia belum bisa tidur nyenyak sebelum menjadi laki-laki yang pantas untuknya. --- Satu proyek lagi sudah Egar dapatkan tanpa harus susah-susah mengejarnya. Bahkan timnya belum membuat proposal, belum membuatnya secara resmi. Laki-laki yang ada di hadapannya sekarang adalah CEO Foldam Corp. Pemilik korporasi besar ini menatapnya sambil tersenyum ramah. Dia langsung meluluskan saat Egar mengatakan ingin memegang proyek itu. “Sekarang yang dibutuhkan itu kepercayaan. Prosedur-prosedur itu hanya formalitas. Cukup saya percaya padamu, saya bisa memberikan proyek itu segera.” Kepercayaan. Tiang yang Egar bangun bertahun-tahun. Karena dia tahu, pebisnis sehandal apapun akan lemah jika kepercayaan orang padanya tak ada. Jika Egar dipercaya, maka urusan apapun akan menjadi mudah. Contohnya ini. “Terima kasih.” kata Egar tenang. Laki-laki dihadapannya masih tersenyum. “Kalau begitu saya permisi dulu. Ada banyak yang harus saya persiapkan untuk memulai proyek ... “ “No, no, no, no. Nanti. Kita ngobrol-ngobrol saja dulu.” Gelagat Pak Jaya membuat Egar curiga. Pak Jaya menahannya terlalu lama. Kadang hanya bercerita berputar-putar tak jelas. Membuang-buang waktu yang berharga. Dan kesabaran Egar hanya akan bertahan 5 menit lagi. Kalau Pak Jaya belum selesai, Egar memutuskan akan tetap pergi dalam 5 menit. Tapi baru saja 2 menit, pintu ruangan terbuka. Di sana keluar seorang wanita. Egar tak ingin mendeskripsikannya secara lengkap. Cukup dengan dia tinggi dan cantik. Perkirannya berumur 20 tahunan. “Dad,” panggilnya dengan wajah ceria. Keceriaan yang membuat Egar sesak. Berwajah seperti itukah dia di sana? Masih senyum samakah seperti yang dia ingat? “Bella, sini.” Pak Jaya senang sekali melihat putrinya itu. Dan Egar hanya bisa menoleh ke tempat lain. Melihat-lihat kaca hingga ke detail-detailnya. “Pak Rama .... kenalkan ini putri tunggal saya, Bella.” katanya. Egar menoleh dan mendapati senyum Pak Jaya makin melebar. Senyum seorang Ayah yang bangga pada putrinya. d**a Egar makin sesak ... Bertahun-tahun yang lalu dia pernah mengahancurkan kebanggaan seorang ayah pada putrinya. Entah apakah sekarang keadaan mereka masih sama? Egar bangkit berdiri dan mengulurkan tangan padanya. Bella ikut berdiri dan menyambut uluran tangan Egar. “Rama.” “Bella.” sebutnya. Egar hanya mengangguk lalu menarik tangannya kembali. “Sepertinya saya harus segera kembai ke kantor.” Ini kesempatannya untuk pamit. Tapi Pak Jaya terlihat tak senang. “Tapi putriku baru datang.” katanya. “Lalu?” Pak Jaya seperti salah tingkah. “Nanti saja saya bicarakan dengan Ayahmu.” Tidak perlu jadi jenius untuk tahu gelagat macam apa ini. Di samping Pak Jaya, Bella bergerak gelisah. Dia seperti tidak nyaman dengan situasi ini. Egar pun tidak. “Apa anda menyerahkan proyek ini dengan maksud tertentu?” tanya Egar tajam. Dia tidak suka dengan bisnis model begini. Egar lebih suka orang mau bekerja sama karena melihat kemampuannya. Bukan dengan embel-embel tertentu. Terutama dengan ide perjodohan yang pasti Pak Jaya rencanakan. Pak Jaya merasa tak senang dengan tuduhan Egar. “Apa maksudmu?” “Anda tahu maksud saya.” “Saya hanya berusaha berniat baik. Aku menyukaimu. Apa salah kalau aku ingin kamu jadi menantuku?” Egar memejamkan mata rapat-rapat menahan amarah yang mulai naik. Tapi tertahan karena dia mengontrolnya. Saat matanya terbuka, yang dia tatap adalah Pak Jaya yang menatapnya keras kepala. “Saya mundur dari proyek.” Hanya itu. Egar masih berusaha tenang saat mengatakannya. Lalu berbalik melangkah ke pintu. Pintu dia buka dan dia bisa mendengar makian dan tangisan dari dalam. Egar hanya menatap pintu sinis. Kebanggaan di mata Ayah itu sekarang hilang. Dia mengenal seseorang yang memperlakukan putrinya dengan penuh kasih sayang. Dan Egar yakin seseorang itu tak akan menempatkan putrinya pada situasi seperti tadi. --- “Ommmm!!!!” Egar menoleh dan seorang anak perempuan dengan rambut tergerai berlari ke arahnya. Dan seperti biasa, dia menubruk Egar. Egar berdecak. Lalu Egar gendong dia. “Om sudah bilang jangan teriak-teriak di kantor.” Anak itu hanya tertawa kecil. Egar tak melihat Fourline sama sekali di sini. “Kamu ke sini sama siapa? Mama mana?” tanyanya heran. “Alin ke sini sendiri Om. Mama kerja mulu. Males ah.” Egar menghela nafas berat. Dengan satu tangan, Dia menggendong Alin sambil berjalan menuju ruangannya. “Siang Pak Rama.” Paula, sekretarisnya menyapa. Egar hanya mengangguk singkat. Tapi saat Egar membuka pintu ruangan dan menutupnya, Alin langsung berkomentar. “Om, tante di depan itu kok genit banget sih? Bajunya aja gitu.” Egar hanya mengucap, Hm pelan. Dari awal datang Alin memang tak suka dengan Paula. Tak bisa disalahkan, Paula memang selalu memakai baju berpotongan seksi hingga lekuk tubuh tercetak sempurna. Jadi, saat diam pun, dia akan terlihat genitnya. Tapi tak masalah. Paula punya otak yang encer. Tak peduli betapapun seksinya dia kalau otaknya tidak ada, tidak akan mungkin Egar pertahankan menjadi sekretarisnya. Jadi sepadan. Egar menurunkan Alin dan Alin sudah berlari ke mejanya. Anak berumur tujuh tahun itu naik ke atas kursi dan memperhatikan pot bunganya yang berharga. “Jangan di sentuh.” kata Egar memperingatkan. Tangan Alin yang sudah akan menyentuh pinggiran pot hanya mengambang di udara. Dia menoleh dan melayangkan tatapan protes dengan ekspresi lucu. “Om, kenapa nggak boleh? Alin pengen pegang, pengen liat.” “Dilihat saja.” kata Egar sambil kembali ke kursi kebesarannya. Saat itulah ponselnya berbunyi. Saat Egar lihat nama Fourline di layar, dia kembali menatap Alin dengan mata menyipit. Benar saja, saat telpon itu dia angkat, suara Fourline langsung terdengar panik. “Gaaaar, Alin di situ nggaaak. Dari tadi Kakak nyariin nggak adaaaaa. Ya Allah, Alin ilang. Gar, Alin ilaaanggg. Ya Ampun, gimana ini. Garrr!!!” Egar hanya menggaruk pelipisnya yang tak gatal sama sekali. Tatapannya kembali beralih ke Alin yang hanya nyengir mendengar kepanikan Mamanya. Dasar, keponakannya ini memang tak pernah berhenti membuat masalah. “Dia di sini Kak.” kata Egar akhirnya. Dan itu sukses membuat kepanikan di seberang digantikan nafas lega. Tapi setelah itu nada marah yang terdengar. “Liat aja anak itu nanti. Thanks Gar.” “Hm,” Sambungan langsung ditutup. Kini yang Egar lakukan adalah bersidekap dan menatap Alin tajam-tajam. Alin hanya bisa cemberut. “Lain kali, bilang dulu sama Mamamu kalau mau ke sini. Jangan main kabur begini. Kamu tahu, di Tangerang sana, ada anak kabur dari rumah orang tuanya. Tahu nggak setelah itu anak itu kecelakaan, terus mati. Di Jakarta Timur sana, ada anak kayak kamu juga, kabur. Di culik, terus besoknya mati. Ada lagi, di Bekasi. Sama kaya kamu juga. Kabur dari rumah, ditemuinnya juga udah mati.” Egar melihat Alin meringkuk ketakutan di kursi. “Yang bener Om?” “Bener.” katanya meyakinkan. Padahal tidak juga, Egar hanya mengarang dan asal tunjuk saja. “Makanya, kamu nggak boleh main sendirian begini. Berbahaya!” “Iya Om, Alin nggak akan ulangi.” Good. Telpon di ruangan Egar berdering. Saat dia angkat, itu dari Paula. “Pak Rama, Pak Aryanto mau bertemu dengan Bapak.” “Suruh masuk.” kata Egar. Dia meletakkan telpon ke tempatnya. Lalu tak lama pintu terbuka. Laki-laki setengah baya itu masuk dengan tenang. Dia orang kepercayaan Egar. “Bagaimana?” tanyanya. “Semua sudah sesuai dengan keinginan Bapak.” katanya. Egar tersenyum tipis. Saat dia menerima dokumen dari Aryanto, dia bisa membaca dengan jelas riwayat perusahaan yang sedang dia berikan aliran dana. Baru kali ini dia menjadi investor terselubung. Egar melihat profil perusahaan dan kaget saat tahu seluruh pelaksanaan dipegang oleh satu nama yang tak asing dengannya. Alkhalifi Xafier. “General Manager?” pikirnya heran. “Jadi CEO-nya masih ... “ Dan melihat nama itu kembali membuat jantung Egar berdegup kencang. Kata-kata yang diluncurkan laki-laki ini bertahun-tahun lalu masih terekam jelas diingatan. Sekarang ... saat dia berniat menyusup masuk ke perusahaan ini, membuatnya gugup. Apa dia sanggup mengalahkan laki-laki ini? Membuat laki-laki ini terkecoh? “Bagaimana Pak?” Egar menghela nafas. “Jangan sampai perusahaan ini tahu pemilik perusahaan kita adalah saya.” Aryanto diam. Mungkin dia bingung dengan keputusan Egar. Tapi dia tak bertanya. Hanya mengangguk lalu pergi dari hadapan Egar. Saat pintu tertutup, Egar menelan ludah. Sudah hampir 6 tahun dia berjuang untuk menjadi laki-laki yang pantas untuk diperhitungkan. Sejak hubungannya dengan wanita itu berakhir, dia berjuang agar bisa setara dengan kedua orang ini. Dia berjuang agar pantas menjadi bagian dari mereka. Dan sekarang ... ini saatnya dia membuktikan dia bisa. Erfan, laki-laki itu terlalu teliti. Dan mengelabuhi laki-laki itu membuatnya tahu bahwa ini tak mudah. Tapi tentu saja Egar ingin mencoba. Dia tidak akan berhenti. Dia tidak akan menyerah. Egar tidak ingin semua yang dia lakukan sia-sia. “Om,” Egar terkejut menyadari Alin masih di sana. Dia menghela nafas. Tentu saja, Egar lupa kalau anak itu belum ke mana-mana. “Hm,” “Kok mukanya suntuk gitu? Patah hati ya?” Egar berdecak mendengar celotehan anak ini. Dia melihat jam dan berharap Fourline mengambil Alin secepatnya. Kepalanya pusing mendengarkan komentar-komentar Alin. Tapi ternyata, bukan Fourline yang datang lebih dulu. Tapi Rudolf. “Opa!” Alin berseru riang dan kembali menubruk Rudolf. Rudolf tertawa terkekeh. Tawa yang ternyata hanya bisa diberikan pada cucunya. Tiga tahun lalu Fourline dan Rudolf baru bisa berdamai satu sama lain. Dan Egar bersyukur Fourline memberitahukan kalau Alin ada di Perancis bersama neneknya. Rudolf yang menjemput Alin sekaligus mengajaknya tinggal serumah. Fourline awalnya ragu, tapi dia akhirnya setuju. Sejak itu, Es yang sudah mencair setengahnya kini mencair sepenuhnya. “Mamamu mana? Kenapa sendirian?” tanya Rudolf jeli. Alin hanya bisa menunduk takut. Dan saat itulah Rudolf hampir meledak marah mendapati cucunya kabur lagi. Memang ini bukan pertama kalinya Alin kabur. “Alin nggak boleh kabur. Itu berbahaya. Kamu tahu di tv-tv banyak anak yang diculik?!” “Di Jakarta Timur ya Opa?” tanyanya. Egar berdehem saat mendengar pertanyaan polos Alin. Rudolf sudah mengerut kebingungan tapi beruntung pintu terbuka dan Fourline masuk. “Alin!!!” Fourline seperti geram sekali memandang anak semata wayangnya itu. Tapi Alin dengan cerdik bersembunyi di balik punggung Rudolf. Meminta perlindungan. Sedangkan Egar? Cukup menonton drama di depannya. Mendengar Fourline memarahi Alin dan Rudolf melerai membuat senyumnya menipis. Andai waktu bisa diputar dan Alan masih ada. Pasti dia akan bahagia melihat ini. Waktu ... keluarga Egar membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa menjadi keluarga normal. Dan itu membuatnya dan Alan harus berkorban. Hingga harus merasakan terlalu banyak kehilangan. Kehilangan yang sangat besar. Alan kehilangan nyawa, sedangkan Egar kehilangan hidup. Dia tak suka membahasnya. Tapi kehilangan membuatnya merasakan bahwa dia makin tahu seberapa besar perasaannya pada wanita itu dan seberapa besar perasaan wanita itu padanya. Semakin Egar merasa kehilangan ... Egar semakin mencintainya. “Tadi Pak Jaya menghubungiku. Katanya kau menolak proyeknya?” tanya Rudolf tiba-tiba. Egar menoleh sekilas, lalu dia mengangguk sebagai jawaban. Egar memilih membuka laptop dan mulai mengurusi pekerjaannya yang lain. “Ini Mega proyek. Benar akan kau lepas begitu saja?” Sayang memang. Proyek ini sudah Egar incar dari beberapa bulan lalu. Tapi kenyataan bahwa Jaya menyerahkan proyek itu padanya hanya untuk ambisi lain, membuatnya kehilangan selera. “Hm,” jawab Egar singkat. “Hanya karena Jaya memintamu jadi menantunya, kau lepas proyek ini begitu saja?” Fourline menoleh kaget pada Rudolf, lalu pada Egar. Dia menyipit tanda tak suka. Dia selalu bereaksi begini jika Egar berurusan dengan wanita yang berada di sekeliling Egar. Protektif. Bahkan Egar masih ingat, setelah Fourline tahu dia putus dengan wanita itu, Fourline mengamuk padanya, menyalahkannya, menunjuk-nunjuknya, rasanya Fourline terlihat benar-benar membencinya. “Tapi kamu tolak kan?” tanya Fourline. Egar jawab dengan menggerakkan kedua alis. Fourline bernafas lega. Tapi Rudolf mendengus. Dia menjatuhkan satu amplop tebal ke atas meja Egar. Egar hanya mendongak. Menatap Ayahnya dengan pandangan bertanya. “Ayah sudah mengawasinya satu bulan ini.” katanya. Egar tahu maksud Ayah dengan nya itu siapa. Egar tak heran. Jiwa mafia Ayahnya masih tetap ada walaupun sudah ditekan sebegitu rupa. Ragu, tapi penasaran, akhirnya Egar membukanya. Isi amplop itu adalah ratusan foto. Fourline dan Alin mendekat ingin tahu. Tapi Egar mengamankannya terlebih dulu. Harus Egar yang melihatnya pertama kali, baru mereka. Satu persatu Egar melihat foto itu. Foto dia bersama teman-temannya, foto dia sedang duduk sendirian, foto dia di parkiran, foto dia saat di rumah sakit, foto dia mengenakan jas putih, foto dia berdua laki-laki, foto dia di bioskop, foto dia berkumpul dengan tiga teman wanitanya, dan foto-foto lain yang terlihat natural. Ratusan foto. Dan itu membuat nyeri hatinya ada di mana-mana. Ratusan foto yang membuatnya tahu apa yang dilakukan wanita ini. Kesehariannya. Dan dari ratusan foto, Egar mencari foto yang ingin dia lihat. Tangannya bergerak dari satu foto ke foto lainnya. Matanya bergerak dari satu foto ke foto lainnya. Tapi tak ada di manapun. Bahkan sampai foto itu habis dia lihat, dia tak menemukannya. Egar tak menemukan satupun fotonya yang sedang tersenyum lebar. Dia tak melihat senyum itu di manapun. Dan itu aneh sekali.  Wanita ini murah senyum. Dia akan tersenyum oleh hal sekecil apapun dan di manapun. Wanita ini akan mudah dijumpai saat sedang tersenyum. Bagaimana bisa dari ratusan foto tak ada satupun ekspresi itu? “Cantik ya dia sekarang. Anggun.” Komentar Fourline menyadarkan Egar dari pikirannya. Dia tatap satu dari sekian foto wanita ini. Egar akui Fourline benar. Cantik ... anggun ... terlihat dewasa ... bahkan lekuk tubuhnya sudah terlihat sempurna. Rasanya ada rindu di dalam dirinya yang keluar membabi buta. Wanita ini terlihat sempurna. Tapi kesempurnaan itu tak ada artinya jika senyum itu tidak ada. “Kakak lihat, kamu sudah jadi laki-laki kuat. Kapan kamu mau menjemputnya?” tanya Fourline. Tak terasa Egar tersenyum mendengar pertanyaan itu. Kapan? Dia masih tidak tahu parameter kuat di mata Ayah wanita ini seperti apa. Tapi untuk menjadi dia yang sekarang, Egar membutuhkan waktu enam tahun untuk berjuang mati-matian. Tidak ada waktu untuk bermain. Hanya belajar, belajar dan belajar. Tak kurang dari dua tahun memimpin, dia berhasil meningkatkan 20% omset perusahaan. Lebih tinggi dari pada saat perusahaan dipimpin Ayahnya. Tidak main-main. Spekulasinya selalu akurat. Benar-benar akurat. Egar belum pernah meleset sekalipun setiap mengambil keputusan. Itu membuat kepercayaan pihak yang melihat sepak terjangnya meningkat signifikan. Tapi apa ini cukup untuk dikatakan kuat? Apa dia sudah pantas untuknya? Saat mengingat itu, Egar tersenyum. Ada satu cara untuk membuktikannya. --- Menyusup ke perusahaan Rofler mungkin akan terdengar gila. Tapi itu yang akan Egar lakukan sekarang. Di dalam ruangannya, dia menunggu. Mata Egar memang terarah ke arah kota di balik jendela lebar ruangan kantornya. Berdiri di sana, menunggu. Karena ini adalah penentuan. Pintunya dibuka. Aryanto masuk dengan senyum lebar. “Berhasil Pak, mereka terkecoh.” Seketika, perasaan lega itu membanjiri Egar. Membuat semua usahanya ini berbuah juga akhirnya. Aryanto memberikan sesuatu padanya dan Egar mengambilnya. “Ini undangan pesta perayaan pernikahan perak Pak Erfan dan istrinya. Kita diundang ke sana.” Egar hanya menatap undangan itu lama. Lalu mengangguk. Saat Aryanto pergi, satu senyumnya terkembang sempurna. Egar berbalik dan tersenyum tipis melihat pot berharganya. Dia menghampiri meja dan duduk di atasnya. Saat Egar mengangkat pot itu, dia terkejut melihat satu kuncup kecil keluar juga akhirnya. Bunga ini dia beli 6 tahun lalu dari masih bibit. Hanya berbunga sekali dan tak pernah berbunga lagi. Dan sekarang kuncupnya keluar lagi. Egar senang, rasanya ini isyarat Tuhan kalau ini adalah waktunya. Egar manatap kuncup bunga itu dengan mata berbinar. Kuncup bunga anggrek cattleya. --- Dan kehilangan yang panjang ... terkadang tidak harus dilupakan. Mengingatnya hanya akan membawa kesedihan dan kerinduan, sakit dan penyesalan. Namun juga sedikit kebahagiaan. Fianer melangkah di loby kantor Ayahnya. Dengan hak tujuh senti rasa percaya dirinya terdongkrak tujuh kali lipat. Satu senti untuk selipat kepercayaan diri. Sepadan dengan pegalnya. Hari ini Fianer memilih menggerai rambutnya dan saat dia melangkah, beberapa pasang mata menatapnya terkesima. Itu pemandangan biasa. Fianer telah mengabaikan pandangan seperti itu sejak lama. Bahkan senyum sopanpun dia malas pada mereka. Langkahnya terhenti di depan lift. Orang-orang yang menunggu di depan lift menyingkir semua melihatnya datang. Dulu, Fianer akan tersenyum pada mereka dan mengajak mereka ikut naik lift bersama. Tapi kali ini dia diam saja. Fianer masuk ke lift sendirian. Dia suka sendirian. Entah kenapa, selama bertahun-tahun dia selalu nyaman dengan kesendirian. Sendiri itu surga untuknya saat ini. Lift terbuka dan dia keluar. Fianer melangkah ke ruangan Erfan. Tanpa ketuk pintu, dia masuk. Dilihatnya Erfan dan Fier sedang di dalam. Sedang membuka file membosankan. Mereka berdua menatap Fianer terganggu. Tapi tanpa peduli dengan tatapan mereka, Fianer duduk di samping kursi Fier. “Semua beres!” ucap Fianer bangga. Melihat kernyitan di dahi kedua laki-laki di hadapannya, dia tahu mereka tak suka dengan kata beres yang Fianer pilih. Tapi masa bodoh. Fianer sedang tak peduli. Dia menatap Erfan dengan serius. “Ann, Lilian sama Diya udah ngatur semuuuuua acara buat minggu depan. Pokoknya, Ayah tahu beres. Yang penting Ayah harus ikutin semua instruksi Ann. Semuanya.” Fianer mulai membuka tas dan mengambil kertas yang sudah dia persiapkan. “Pertama, kita harus bikin kejutan buat bunda. Bilang aja sama bunda ada acara peresmian cabang atau apa. Dekorasinya Ann buat sesimple mungkin biar Bunda nggak curiga. Kedua, Ntar acara Ayah kasih sambutannya jangan terlalu formal. Apalagi ngomongin tentang bisnis segala macem. Pokoknya Ayah harus ngomong yang sweet-sweet, bilang I love you kek, apa kek. Pokoknya usahain bunda sampai nangis terharu kalau perlu. Bisa kan?” Erfan memandang Fianer dengan wajah mengernyit, lalu menoleh ke Fier minta pertolongan tapi Fianer tak pedulikan. Dia tetap melanjutkan kata-katanya. “Ketiga, selesai acara, Ayah harus bawa Bunda ke rooftop. Di sana nanti kami dekor makan malam romantis. Inget yaa, Ayah harus romantis. Nggak boleh enggak. Soalnya Ann udah nyetting tempatnya romantis abis. Pake lilin, bunga, musik, pokoknya Ayah harus bikin Bunda seneng nanti. Keempat, ajak dansa. Ayah bisa kan dansa? Ikutin musiknya aja. Kalau nggak bisa, Ayah bisa improvisasi. Terus Kelima, Ayah baru makan malem sama Bunda. Di situ Ayah harus kreatif. Kalo bisa, Ayah searching di internet kata-kata buat ngegombalin bunda. Atau kalo Ayah sibuk, Ann aja yang nyari daftar kata-kata romantisnya buat Ayah praktekin ke bunda. Naaah, terakhir ... Ayah bawa bunda ke kamar hotel deh. Kalo yang itu, terserah Ayah mau ngapain.” Selesai bicara, Fianer menatap Erfan yang menatapnya seolah dia gila. Dan saat menoleh ke Fier, Abangnya itu hanya menatapnya dengan mulut terbuka. Fianer tahu mereka berdua akan protes, tapi sebelum itu terjadi, dia meletakkan lembar langkah kerjanya tadi di meja. “Ide siapa itu, ayah bawa bunda ke kamar hotel?” tanya Fier horor. “Lilian.” jawab Fianer apa adanya. Fianer melihat Fier mengurut dahinya dan bergumam pelan. “Sudah kuduga.” Fianer mengangkat bahu tak peduli. Fokusnya hanya pada Erfan. Erfan menarik kertas yang tadi Fianer letakkan dan membaca ulang instruksi itu. Sama seperti Fier, Erfan juga mengurut keningnya. Fianer  memutar bola mata. “Ann cuma nyuruh Ayah romantis, bukan nyuruh Ayah terjun dari tebing.” katanya datar. “Apa ini tidak terlalu berlebihan?” Erfan berusaha bernegoisasi. “Sekali-sekali, Yah. Bersikap romantis sama bunda dapet pahala loh. Karena udah bikin bunda seneng. Ayah kan nggak pernah tuh bikin acara beginian. Anggap aja sekali seumur hidup.” Erfan masih terlihat ragu. Tapi Fianer terus mendesak. “Yakin deh, habis ini, Bunda pasti bahagiaaaaaaa banget.” Baru setelah itu Erfan menoleh. Menatap Fianer. Fianer balas menatap Erfan lembut. Ayahnya harus membuat Bunda bahagia. Seberapapun Bunda sudah merasa bahagia ada di samping Ayah, tapi Fianer tahu. Setiap wanita menginginkan ini. Walaupun hanya sekali seumur hidup. Erfan tidak mungkin punya inisiatif sendiri. Jadi Fianer yang harus mendorongnya. “Oke.” Fianer bernafas lega saat Erfan menyetujuinya. Paling tidak, melihat orang yang dia sayangi bahagia, itu akan membuatnya bahagia juga. --- Erfan menatap kepergian putrinya dan saat pintu tertutup, yang bisa dia lakukan hanyalah terdiam. “Ayah yakin mau melakukan semua ini?” tanya Fier melihat daftar yang diberikan Fianer tadi. Dia mengenal ayahnya. Lebih baik terjun dari tebing dari pada bersikap sebegini berlebihannya. “Ya,” jawabnya muram. Jawaban itu menyentak Fier yang langsung menatap Ayahnya. Wajah Erfan terlihat muram sekali. Erfan selalu mengingat ... dulu, setiap kali dia mengabulkan permintaan putrinya, wajah itu akan ceria dan tersenyum dengan cantiknya. Membuatnya sanggup menuruti apa saja yang putrinya mau demi melihat senyum itu. Tapi dia tak pernah melihat senyum itu lagi sekarang. --- Yang Fianer inginkan hanya kamarnya. Berada di sana sekarang juga. Hanya di sana, dunianya yang dia bangun sendiri di atas kesakitan dan kenangan d******i masa lalu. Hanya di sana dia bisa merasa tenang… Fianer menghampiri tape recorder dan mendengarkan lagu the one that got away. Dan dia tak pernah merasakan sakit itu lagi karena terlalu bosannya mendengarkan. Tapi anehnya enam tahun dia selalu memutarnya. Aneh ya? Dengan santai Fianer berselonjor kaki dan menyandarkan kepala ke sofa. Dia lelah sekali .... Alunan lagu itu terdengar lagi. Tapi hatinya sudah mati rasa. Tak merasakan apa-apa. Bahkan rasa sakit yang dulu membuatnya hampir gila pun sudah tidak ada jejaknya. Fianer juga sudah berhenti menangis sejak lama. Tapi bukan berarti dia lupa bagaimana cara bahagia. Tahu bagaimana caranya bahagia? Cara Fianer bahagia adalah dengan mengingat dia. Bagaikan menemukan kasetnya, player otaknya secara otomatis memutar kembali kenangan-kenangan indah itu. Membuat perasaan senang karena mengingatnya, sekaligus membuka luka lama lebih lebar menganga. Itu konsekwensi yang harus Fianer bayar. Harga untuk sebuah kenekatan membawa masa lalu, yang seharusnya dia tinggalkan. Fianer sudah terbiasa dengan sakit itu, hingga sakitnya sudah tak begitu berarti. Seharusnya dia melupakannya. Tapi entah kenapa Fianer tak pernah rela. Biar saja otaknya yang kecil ini yang akan menghapus memori ini sendiri nanti jika overload. Tapi untuk sengaja melupakan, Fianer tak bisa. Dia tidak tahu apa itu cinta. Tapi yang dia tahu, dia selalu menginginkan dia bahagia. Yang dia tahu, dia selalu ingin tersenyum saat melihat dia baik-baik saja. Dia tidak tahu apa itu cinta. Yang dia tahu, dia selalu memikirkannya disetiap waktu luang yang dia punya. Yang dia tahu, dia selalu mengingatnya. Tapi Fianer tahu, cinta seperti apa yang dia punya. 5 tahun, 7 bulan 16 hari. Dia selalu menghitungnya. Selama itu Fianer tak bisa melihatnya. Selama itu Fianer selalu merindukannya. Selama itu Fianer hanya menahan sesak karena ingin bertemu dengannya. 5 tahun, 7 bulan, 16 hari. Saat Fianer tersenyum padanya terakhir kali, saat itu dia tahu dia sudah tak ingin tersenyum lagi. Hah ... Fianer menyandarkan kepalanya ke lengan sofa dan mencoba memejamkan mata. Fianer percaya waktu sanggup meninggalkan kenangan. Dan dia tahu, dia butuh lebih banyak waktu lagi untuk melupakannya. Mungkin lima tahun lagi Fianer baru bisa melupakannya. Atau bahkan lebih lama.      

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

MENGGENGGAM JANJI

read
475.0K
bc

Long Road

read
118.3K
bc

MANTAN TERINDAH

read
7.0K
bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.3K
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

Love Me or Not | INDONESIA

read
535.5K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook