bc

TAWANAN GAIRAH SANG JENDRAL

book_age18+
0
FOLLOW
1K
READ
HE
age gap
arrogant
bxg
kicking
office/work place
war
like
intro-logo
Blurb

WARNING!! KHUSUS PEMBACA DEWASA!!

Marsha (25 tahun) mendapati kekasihnya bercinta dengan kakak sepupunya sendiri, Ayumares.

Pengkhianatan itu membuat jiwanya ambruk, dia jatuh ke dalam depresi, terapi, dan berbulan-bulan pertemuan dengan psikiater untuk belajar berjalan lagi tanpa rasa hancur.

Suatu sore di rumah sakit, Marsha melihat mantan kekasihnya dan sepupunya mendekat ke arahnya. Panik, gemetar, dan tidak ingin terlihat dalam kondisi seterpuruk itu… Marsha melakukan hal paling nekat dalam hidupnya yaitu mencium seorang pria asing agar dua orang itu berbalik arah dan tidak mengenalinya.

Dan sialnya, pria itu bukan orang biasa.

Dia adalah Laksamana Pertama Kalandra Galuhpati (38), perwira intelijen TNI Angkatan Laut yang terkenal dingin, tajam, dan nyaris tak tersentuh. Seorang lelaki dengan wibawa yang membuat ruangan bergetar, disiplin baja, dan garis tegas pada prinsip maupun hidupnya, dengan julukan Jendral Lautan.

Ciuman itu seharusnya menjadi insiden satu detik yang dilupakan… Namun semesta tidak mengizinkan.

Serangkaian “kebetulan” mempertemukan mereka lagi dalam tugas jurnalistik Marsha, dalam rumah mewah sang Laksamana, dalam tekanan, ancaman, dan perjanjian pura-pura yang makin lama justru menjerat lehernya sendiri.

Kalandra ingin profesional. Marsha ingin lepas. Namun takdir seolah punya selera humor yang kejam, sebab setiap upaya menjauh justru membuat keduanya saling terikat lebih dalam melampaui batas pekerjaan, melampaui batas permainan mereka, dan melampaui pertahanan hati yang selama ini dijaga rapat.

Dari ciuman yang tidak sengaja, menjadi hubungan pura-pura… Lalu berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya dan tak bisa diingkari.

Akankah mereka hancur bersama, atau justru jatuh cinta dalam perang yang mereka mulai sendiri?

chap-preview
Free preview
Sang Jendral
“Ahhh… pelan-pelan, Sayang… sakit… angghh—s-stop!” “Shiiit… kamu enak banget! Aku nggak bisa berhenti… arghh!” “Cepetan… aku nggak tahan…!” "Jangan dulu pingsann! Ahhh enak banget, sialann, Ayu!" Jeritan itu memecah kepalanya. Marsha tersentak bangun, napasnya berat, jantungnya memukul daada seperti berusaha keluar. Dengan tangan gemetar, dia meraih gelas di nakas dan meneguk air sampai habis seolah itu satu-satunya hal yang bisa membuatnya tetap hidup. Pelukan lengan sendiri menjadi upaya terakhir untuk meredam kepanikan. Dia tidak mau kembali ke titik ketika pikirannya hampir hancur. Tok. Tok. Tok. “Marsha? Udah bangun, Nak? Hari ini jadwal dokter, ya?” suara Papanya lembut, hangat, namun malah menusuk perih. “Iya, Pah. Ini mau siap-siap,” jawabnya, berusaha stabil. “Oke. Sarapan di meja. Papah mau ajak Mama jalan-jalan dulu.” Dari jendela, Marsha melihat Papahnya mendorong kursi roda Mama menuju taman kecil di kompleks. Pemandangan sederhana itu justru memukul sisi dirinya yang paling sakit, Mama selalu mencoba tersenyum, sementara Marsha merasa dunia terus merobek-robeknya. “Ayok, Sha… jangan lemah,” katanya pada diri sendiri, meski matanya masih basah. Namun, bagaimana dia bisa kuat? Hampir tiga bulan lalu, hidupnya berubah dari rencana bahagia menjadi neraka yang disusun rapi oleh dua orang yang tidak pernah dia duga. Arvino pacarnya dan kakak sepupunya sendiri, Ayumares tengah bersetubuh di apartemen yang dibeli hasil patungan Marsha dan Arvino. Tiga tahun hubungan, rencana cincin, masa depan yang dibangun… hancur begitu saja. Kini, bukan dia yang akan bertunangan. Tapi Ayumares, wanita yang selalu membandingkan diri, selalu iri, selalu mencari cara untuk berada di atasnya. Luka itu membuat Marsha harus menjalani terapi demi tetap waras, dan pukulan paling kejam adalah ketika Mama semakin drop karena sedih melihat anaknya dihancurkan keluarga sendiri. Eyang, orangtua Mamanya yang seharusnya memberi pelukan, tapi malah melempar garam ke luka. “Kalau Arvino milih Ayumares, berarti Ayuma lebih baik dari kamu.” “Baru pacaran aja drama. Pulang sana.” Mereka tak pernah membela Marsha. Bahkan dulu Mamanya dulu diusir karena menikah dengan pria yang mereka anggap ‘tidak pantas’. Marsha menarik napas panjang. “Lo harus kuat demi Mama, Sha. Lo punya kerjaan, punya café, punya hidup. Jangan kalah sama dua manusia sampah itu,” gumamnya sambil menyetir mobil. Di rumah sakit, perutnya melilit kelaparan. “Ck. Harusnya gue sarapan tadi,” gumamnya sambil berjalan ke kafetaria. Langkahnya terhenti mendadak. Arvino dan Ayumares. Berjalan mesra. “Dokter bilang Rahim kamu sehat. Aku mau anak banyak,” kata Arvino bangga. “Asal jatah bulanannya gede dong, Kak.” Ayumares terkekeh manja. Sial. Kenapa traumanya harus hadir lagi di tempat ini? Panik menguasai tubuh Marsha. Dia berbalik tanpa pikir panjang, langkahnya kacau, napasnya memendek. Dia terseret masuk ke lorong gelap yang buntu. Sementara langkah pasangan itu semakin dekat. Tuhan. Kenapa kaki mereka menuju ke sini? Dan kemudian, pintu di ujung lorong terbuka. Seorang pria muncul, tinggi, tegap, wajahnya sebagian tertutup bayangan lampu. Marsha bertindak sebelum logikanya sempat bekerja. Dia meraih kerah pria itu, menarik tubuhnya mendekat, dan berjinjit. Bibinya menempel pada bibir lelaki asing itu, berusaha mengusir dua orang yang ada dibelakangnya dengan adegan tidak senonoh ini. “Eh, Kak… kayaknya mereka lagi…” suara Ayumares mengecil. “Kita salah jalan. Ayo,” kata Arvino. “Pacaran di lorong gelap… kayak nggak punya uang.” Mereka pergi. Marsha melepas pria itu perlahan. Tubuhnya masih bergetar seperti daun diterpa badai. “Maaf… dan terima kasih,” bisiknya, kemudian melarikan diri tanpa menoleh. **** “Jendral Lautan kok cupu ya, Bu? Punya pacar gak dikenalin sama kita,” ujar pria bernama Bimo, mantan Jendral yang kini menikmati hidupnya sebagai pelukis. Sang istri yang tengah menyeduh teh itu menyahut, “Anak buahnya pasti malu punya atasan kayak dia, masa gak berani memperkenalkan pacarnya ke keluarga. Julukan Jendral Lautan malah membuatnya tampak konyol ya, Pak?” Kalandra Galuhpati mendengus, pria berusia 38 tahun dengan pangkat Laksamana Pertama itu sudah muak dengan obrolan ini. Bahkan jabatannya sebagai Deputi Intelijen Maritim tidak membuat kedua orangtuanya berhenti menyindirnya. “Sudah saya bilang, Pak, Bu, kalau dia itu gadis gila. Saya tidak kenal sama sekali, tiba-tiba mencium begitu saja.” “Kalau itu gadis asing, kenapa Abang gak nuntut?” tanya Kinar, sang adik. “Mereka tuh kayaknya lagi bertengkar deh, Bu. Soalnya si cantik itu langsung lari, terus si Abang gak kejar malah diem aja.” “Bapak gak ngajarin kamu gitu loh, Bang.” “Gak tahu tuh, Pak. Punya pacar disembunyiin aja udah bentuk sifat pengecut, ini pacarnya ngambek gak dikejar apalagi. Nih, Bapak sama Ibu kalau gak percaya bisa lihat hape Kinar, sebenernya Kinar foto mereka hehehehe. Pas mau kejar Abang, eh malah lihat dia ciuman.” “Mana? Ibu mau lihat?” Kalandra sampai berdiri dari duduknya dan menghela napas dalam. “Kamu gak ada kerjaan di rumah sakit ‘kah? Kayak dokter pengangguran aja,” ucap Kalandra pada sang adik yang malah dibalas dengan tawa. Malas dengan ketidakpercayaan mereka bertiga, terlebih lagi dipojokan, maka Kalandra meraih jaketnya yang tersampir di lengan sofa. “Kamu mau kemana, Bang?” tanya Rindiani, sang Ibu. “Itu keponakan kamu bentar lagi datang, masa gak mau main dulu sama mereka?” “Besok saja. Saya ada urusan dulu.” “Abang, kalau pacarnya gak disembunyikan terus, Ibu bakalan seriusin rencana perjodohan kamu! Kamu sudah mau kepala empat! Gak boleh ditunda-tunda lagi. Kalandra, dengar tidak apa kata Ibu?!” Tapi Kalandra tidak menanggapi, dia malah masuk ke dalam mobil dimana sang ajudan, Gabriel sudah menunggu. “Kamu dapat datanya?” “Dapat, Pak. Namanya Marsha Kencana, 25 Tahun, seorang Owner Café. Dia berada di rumah sakit untuk check-up rutin pada dokter spesialis kejiwaan,” ujar Gabriel menyerahkan berkas sebelum melajukan mobil. Kalandra terkekeh disana. “Sudah saya duga, pasti wanita gila.” “Anda mau menuntutnya, Pak?” “Tidak perlu, saya punya banyak pekerjaan daripada harus berurusan dengan wanita gila ini.” “Baik, Pak.” “Saya ada libur ’kan selama seminggu ini setelah Operasi Arunika selesai?” Dia bersandar sedikit ke belakang, jemarinya mengetuk pelan map hitam di pangkuan. “Izin melapor, Pak… liburnya memang sudah dijadwalkan. Tapi baru saja ada perintah masuk dari Laksamana Madya Dirgantara.” “Apa?” “Beliau meminta Bapak untuk… mendampingi tim jurnalis kelautan,” ujarnya hati-hati. “Bukan sembarang jurnalis, Pak. Mereka dari program khusus Marine Public Insight, semacam proyek edukasi publik tentang kondisi laut, ekologi, dan langkah pemulihan yang sedang berjalan.” “Edukasi publik,” gumamnya. Gabriel tersenyum canggung. “Iya, Pak. Tapi… tim itu belakangan sering memberitakan kerusakan laut yang dianggap akibat manuver TNI. Beliau ingin Bapak membuktikan bahwa operasi kelautan tidak merusak ekosistem, dan bahwa TNI AL tidak tinggal diam dalam pemulihan lingkungan.” **** “Mbak serius, ini Marine Public Insight jadi tanggung jawab aku?” tanya Marsha sambil memegang map biru yang tadi disodorkan. Yessy, atasannya sekaligus mentor yang paling dia percaya itu tersenyum lembut. “Serius, Sha. Kamu yang paling tepat,” ujarnya. “Artikel-artikel tentang pesisir, ekologi, dan kerusakan laut yang viral itu… sebagian besar kan kamu yang bantu kerjakan waktu aku hamil muda. Kamu yang paling kritis, paling tajam, dan paling ngerti bagaimana menyentuh pembaca tanpa bikin instansi pemerintah kepanasan.” Marsha terdiam. “Sha… aku tau kamu lagi nggak baik-baik saja. Makanya aku pengin kamu ambil proyek ini. Marine Public Insight lagi jadi sorotan nasional. Kalau sukses, namamu bakal naik. Dan yang paling penting… ini bisa bikin kamu fokus sama hal yang jauh lebih besar daripada dua manusia yang nggak layak itu.” “…Makasih, Mbak Yess. Makasih udah percaya sama aku,” katanya pelan tapi mantap. Tok! Tok! Tok! “Izin, Mbak. Sopir dari kantor sudah siap. Kendaraannya menunggu di depan untuk mengantar Mbak Marsha ke Markas Besar Angkatan Laut.” Yessy langsung berdiri, mengibas tangannya seolah mengusir anak ayam. “Nah, tuh! Jalan. Jangan bikin para Laksamana nunggu.” Marsha pun pergi, duduk diam di mobil dengan pikiran melayang. Dia tidak mau tenggelam dalam kesedihan walaupun TNI Angkatan Laut mengingatkannya pada Arvino. Begitu mobil berhenti di depan Markas Besar Angkatan Laut, Marsha benar-benar harus menarik napas panjang. Seorang pria dengan seragam dinas rapi mendekat. “Selamat pagi, Mbak Marsha Kencana? Saya Letda Riswan. Saya ditugaskan mengantar Ibu ke ruang briefing.” “O-oh, iya. Pagi, Pak,” Letda Riswan mempersilakannya berjalan masuk ke gedung utama. “Jadi… hari ini Mbak akan diperkenalkan dengan pendamping utama dari pihak TNI AL,” jelas Riswan sambil membuka satu pintu sensor. “Dalam program Marine Public Insight, beliau bertugas memastikan keamanan, akurasi, dan… kestabilan setiap kegiatan peliputan di wilayah laut.” Marsha mengangguk. “Beliau adalah Laksamana Pertama Kalandra Galuhpati. Deputi Intelijen Maritim.” “Laksamana…? Kenapa orang sepenting dia yang mendampingi saya?” “Karena beliau adalah salah satu perwira paling disegani di matra laut. Jadi akan membuat Mbak dengan cepat mendapatkan bahan untuk liputan.” Riswan membukakan salah satu pintu. “Ini ruangannya, Mbak. Saya tinggal Mbak di sini. Beliau akan segera datang. Semoga briefingnya lancar.” Dan tanpa memberi kesempatan untuk bertanya, Riswan pergi begitu saja. Marsha berdiri terpaku. Ruangan itu sunyi, dingin, tapi rapi. Di tengahnya ada meja panjang, layar monitor, dan kursi-kursi yang terlalu formal untuk diduduki dengan santai. Beberapa menit berlalu. Cukup lama untuk membuatnya bosan. Sampai akhirnya, Klik. Pintu terbuka. Refleks, Marsha berdiri tegap saat sosok itu masuk. Tinggi. Seragam biru lautnya terpasang sempurna. Medali menghiasi dadanya. Wajahnya tegas, garis rahang tajam, tatapan dingin. Kalandra berhenti sejenak di depan pintu, terkejut melihat siapa yang menunggu. “Halo, selamat pagi, Pak. Perkenalkan nama saya—” “Marsha?” Marsha langsung membeku. “E-excuse me? Bapak sudah tahu siapa saya?” Kalandra terkekeh pelan. “Bagaimana saya bisa lupa,” katanya sambil mendekat satu langkah. “Wanita gila yang tiba-tiba mencium saya di koridor rumah sakit… lalu kabur begitu saja.” “A-apa…?” Dia mengerjap cepat, otaknya berusaha mengulang frame kejadian di lorong gelap itu. Bayangan bahu tegap. Aroma yang samar maskulin. Siluet tinggi dengan rahang tajam. Mata gelap yang tidak berkedip. Dan ketika dia menyipitkan mata… Wajah itu. Pria itu. Laksamana itu. Marsha langsung menutup mulutnya dengan tangan, terkejut setengah mati. Kalandra mengangkat satu alis, sudut bibirnya naik sinis. “Kamu tidak akan bisa kabur kali ini.”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
308.2K
bc

Too Late for Regret

read
275.4K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.6M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.2M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
136.3K
bc

The Lost Pack

read
379.2K
bc

Revenge, served in a black dress

read
144.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook