Setelah bayangan masa lalu itu memudar, Vin membuka matanya perlahan. Napasnya terasa berat, kepalanya seperti dipenuhi asap kenangan yang ingin ia lupakan. Di meja kecil di sampingnya, sebuah benda persegi panjang terus berdering dan bergetar—ponselnya.
Dengan malas namun gelisah, Vin meraihnya. Satu pesan dari Rangga memenuhi layar.
~Vin, jemput istrimu. Dia menangis karena rindu padamu. Jika kau punya masalah, ceritakan padaku.
Pesan itu menghantam Vin lebih keras daripada yang ia harapkan. Pria itu segera bangkit dari duduknya, mengacak rambutnya kasar hingga helaiannya berantakan.
Dia belum menyelesaikan neraka yang dia ciptakan sendiri untuk Kinara…
Dan sekarang Hana juga menunggu, terluka karena merindukannya.
“Hah… sial!” maki Vin, entah untuk keadaan, atau untuk dirinya sendiri.
Ia meraih kunci mobilnya, melangkah cepat ke arah tangga. Namun belum sempat ia menuruni satu anak tangga pun, seorang pelayan menghadangnya—wajah wanita itu pucat, napasnya terengah, tubuhnya gemetar ketakutan.
“Tu… Tuan! Nyonya Kinara—Nyonya Kinara mencoba mengakhiri hidupnya!”
Vin membeku. Ucapan itu menghantam dadanya seperti petir yang menyambar poros dunia pagi itu.
“Apa?”
Tanpa menunggu detik berikutnya, Vin berlari. Langkahnya memburu, menghantam lantai dengan ketergesaan yang dipenuhi panik dan ketakutan.
Ia memasuki ruang bawah tanah—penuh remang, dingin, dan sepi. Di sana, Kinara terbaring lemah di atas kasur, rambutnya basah, wajahnya pucat seperti kertas. Seluruh tubuh pelayan bergetar menatap tuannya, namun Vin tak berkata apa-apa selain:
“Keluar… semuanya keluar.”
Begitu pintu tertutup, hanya ada Vin dan Kinara di ruangan itu. Kesunyian yang mengiris. Aroma dingin dan sisa air yang membeku.
Vin mendekat, menatap wanita itu dengan pandangan kosong—namun di balik itu, tatapannya runtuh.
Menurut pelayan, Kinara ditemukan tenggelam, tubuhnya hampir berhenti bergerak di dalam bathtub yang penuh air es.
“Bodoh…” bisik Vin, tapi suaranya pecah—lebih terdengar seperti hinaan terhadap dirinya sendiri daripada untuk Kinara.
Ia menunduk, rahangnya mengeras, napasnya bergetar.
“Sial… aku bodoh,” desisnya lagi, tangan menutupi wajahnya.
Karena memang benar:
Dialah yang menciptakan semua kekacauan ini.
Dialah yang menyeret dua wanita itu ke dalam penderitaan yang tak pernah seharusnya mereka alami.
Dan kini… salah satu dari mereka hampir mati karenanya.
[‘Vin… berjanjilah kau akan mencintaiku!’
‘Ya… aku akan mencintaimu. Maka jangan pernah tinggalkan aku.’
‘Aku tak akan meninggalkanmu. Aku akan terus hidup untuk Vin Mandala… dan Vin akan hidup untuk Kinara Wijaya.’
‘Aku akan mencintai Kinara Wijaya… dan Kinara Wijaya akan mencintaiku.’
‘Kinara Wijaya akan hidup untuk Vin Mandala… dan Vin Mandala akan hidup untuk Kinara Wijaya.’
‘Vin Mandala akan selalu memaafkan Kinara Wijaya… dan Kinara Wijaya akan selalu memaafkan Vin Mandala.’
‘Kinara Wijaya akan menjadi istri untuk Vin Mandala… dan Vin Mandala akan menjadi suami untuk Kinara Wijaya.’
‘Vin Mandala akan menjadi ayah dari anak yang Kinara lahirkan… dan Kinara Wijaya akan menjadi ibu dari anak yang Vin Mandala dambakan.’
Keduanya tersenyum, mata mereka saling bertaut—hangat, penuh harapan, seolah dunia hanya milik mereka berdua.
Malam itu angin berhembus pelan, menyentuh kulit mereka dengan lembut seakan turut mengabadikan momen itu.
‘Dan kita akan selalu bersama…’ ucap keduanya bersamaan—lirih, namun pasti.
Mereka saling memeluk, erat… seolah tak akan pernah saling melepaskan.
Bintang-bintang di atas sana menjadi saksi bisu dari janji manis yang kelak berubah menjadi luka terdalam dalam hidup mereka.]
Vin merengkuh tubuh Kinara ke dalam dekapannya. Pria itu memejamkan mata, seolah ingin tenggelam dalam getaran halus dari tubuh dingin yang ia peluk—getaran cinta yang sudah lama ia kubur, namun kini kembali menghantam seluruh dirinya tanpa ampun.
Sebanyak apa pun ia mencoba mencintai Hana…
Cinta yang ia miliki untuk Kinara selalu lebih besar.
Selalu lebih liar. Lebih menyakitkan. Lebih nyata.
Vin menunduk, mencium kening pucat itu. Ciuman yang menggigilkan hati. Ia menahan napas—karena setiap inci wajah Kinara mengingatkannya pada semua yang ia hancurkan dengan tangannya sendiri.
Dia masih mencintainya.
Masih menginginkannya.
Dan di balik semua itu, Vin masih ingin satu hal yang tak pernah terjawab:
Kenapa Kinara pergi?
Kenapa meninggalkan dia, meninggalkan rumah mereka, meninggalkan cinta yang mereka bangun dengan seluruh jiwa?
Dengan tangan gemetar, Vin bangkit. Ia membuka lemari Kinara, mengambil baju hangat yang dulu selalu membuat wanita itu tersenyum setiap kali ia memakaikannya.
Vin memakaikannya perlahan, hati-hati seakan memegang sesuatu yang bisa pecah kapan saja—karena memang… Kinara kini rapuh seperti kaca retak.
Ia menyelimuti tubuh itu dengan selimut tebal, membungkusnya sepenuh hati, lalu kembali menatap wajah pucat yang begitu ia rindukan.
Vin menunduk, mencium bibir dingin Kinara—sekilas, namun penuh perasaan yang ia pendam terlalu lama.
“Aku mencintaimu… maafkan aku.”
Hanya itu yang sanggup keluar dari bibirnya—lirih, pecah, nyaris seperti rintihan seseorang yang telah kehilangan segalanya.
Ia hendak melangkah pergi.
Namun sesuatu menghentikannya.
Sentuhan itu—lemah, dingin, hampir tak memiliki tenaga.
Tangan kecil itu menggenggamnya lagi.
Tangan yang dulu selalu menjadi rumah bagi dirinya.
“Vin…”
Suara itu… begitu pelan, begitu rapuh, seakan keluar dari kedalaman luka yang tak terlihat. Seketika Vin membeku. Napasnya tercekat di tenggorokan.
Ia menoleh perlahan.
Kinara membuka matanya.
Manik mata itu kosong, redup, gemetar… seolah ia tak lagi tahu apakah yang ia rasakan adalah cinta, benci, atau sekadar keinginan untuk berhenti hidup.
Mata itu…
Mata yang dulu selalu bersinar hanya untuknya—kini tampak seperti milik seseorang yang telah kehilangan dunia.
“Vin…”
Vin kembali mendekat, menunduk agar wajah mereka sejajar.
Ia tersenyum—senyum hangat yang ia paksa muncul di tengah sesaknya d**a.
Dan di detik itu…
Ia ingat kata-kata Kinara dulu.
Kata-kata yang pernah menjadi nyawa bagi dirinya.
Kata-kata yang masih terpatri jelas di kepalanya—meski ia sendiri telah mengkhianatinya.
Kini, suara lemah itu memanggilnya lagi.
Membawa seluruh masa lalu kembali menghantam dengan kekuatan yang hampir membuatnya runtuh.