No family is perfect, we argue, we fight. We even stop talking to each other at times, but in the end, family is family, the love will always be there.
- Good Morning Quotes -
*****
Mia menimbang-nimbang ponselnya dengan ragu-ragu. Ia mau menelepon seseorang, tapi niatnya berkali-kali diurungkan. Mia menatap keluar jendela, cuaca dengan langit terang di atas sana membuatnya cemburu, karena suasana hatinya berbanding terbalik. Mia tidak habis pikir dengan sikap Nathan tadi. Apa yang mau ia tunjukkan di depan Yonki? Rasa memiliki yang menguar dari sikapnya tadi sempat membuat Mia berbunga-bunga dan berharap lebih. Namun ia ingat kalimat Nathan minggu lalu, bahwa mereka hanyalah dua orang asing yang dipertemukan dalam sebuah bisnis, tidak ada kenangan masa lalu di antara mereka.
Pikiran Mia masih dipenuhi oleh Nathan ketika Yonki tiba-tiba sudah berdiri di depan mejanya dan menegurnya.
"Eh, maaf---"
"Aku bertanya bagaimana kakimu?"
"Sudah baikan, thanks Yon"
Yonki menarik kursi dan duduk di depan Mia. "Aku merasa ada sesuatu antara kau dan Nathan..." ujarnya tanpa basa basi.
Mungkin inilah saatnya Mia mengatakan yang sebenarnya, bahwa Nathan adalah pria yang sudah ia sakiti lima tahun yang lalu. Pria yang selalu memenuhi relung hatinya dan membuatnya tidak bisa tidur tenang, pria yang membuat hidupnya selalu dihantui rasa bersalah yang berkepanjangan.
"Kenapa?"
Yonki mengangkat bahunya, "Entahlah, aku hanya merasa kalian ada keterikatan atau kedekatan atau semacamnya---"
"Nathan adalah pria itu, Yon. Pria yang kuceritakan padamu" ujar Mia pada akhirnya.
Wajah Yonki berubah keras, ia tidak berharap bersaing dengan masa lalu Mia yang begitu melekat selama ini. Ia berharap Nathan bukanlah siapa-siapa bagi Mia. Ia menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal. "Ups! Ternyata feeling-ku benar juga. Tapi aku tidak akan menyerah hanya karena Nathan pernah menjadi bagian dari masa lalumu, Mia. Aku serius!"
Mia menghela napasnya pendek, "Yonki, kamu tahu aku tidak bisa membalas perasaanmu itu kan?"
"Kenapa? Karena Nathan?" Yonki menggeleng. "Kau tidak bertemu dan berkomunikasi selama lima tahun dengannya, apa kau pikir dia masih Nathan yang sama, Mia?"
"Rasa sakit hatinya yang membuatnya berubah menjadi seperti sekarang. Aku bisa membuatnya kembali menjadi Nathan yang dulu---aku yakin itu" tegas Mia.
"Fine! Kalau begitu aku akan mengajak Nathan bersaing fair untuk mendapatkan kamu Mia---"
Mia buru-buru menggeleng, "No, kamu salah Yon. Bukan Nathan yang akan berusaha mendapatkanku, tapi aku---aku yang ingin mendapatkan cintanya lagi"
"Maksud kamu, Nathan---"
"Nathan hanya menganggapku sebagai orang asing, orang lain"
Yonki berdecak sambil tersenyum, "Apa kamu gila? Jelas-jelas tadi dia terlihat sangat posesif terhadapmu. Apa kamu tidak bisa lihat dia begitu cemburu saat aku membopongmu tadi?"
Mia mengedikkan bahunya, "Tapi dia akan menyangkalnya..."
"Kalau begitu dia yang bodoh!"
"Begitukah?"
"Dan kamu serius dengan niatmu itu? Mengejar cintanya lagi?"
"Yonki, maafkan aku. Aku tidak mau membuat orang jadi sakit hati lagi karena sikapku. Kamu teman yang baik, I like you, honest!"
Yonki menarik napas dalam-dalam, "Aku heran, kau pergi meninggalkannya---menyesal---kemudian bertemu dan tahu bahwa ia sudah tidak menginginkanmu lagi---tapi kau malah mau mengejarnya lagi. Dia akan menghancurkan hatimu, Mia" ujar Yonki.
"Aku akan siap menghadapi itu, dan aku berharap kau selalu ada untukku" ujar Mia sambil memegang tangan Yonki.
Yonki membalas genggaman tangan Mia sambil menghela napasnya, "Kau tahu aku akan selalu ada untukmu..."
Mia terkekeh sambil berdecak, "Wanita lain pasti sudah meleleh kalau mendengarmu berkata begitu"
"Dan kamu enggak?"
"Aku yakin akan ada wanita lain yang lebih pantas untukmu, Yon" ujar Mia sambil melepaskan tangannya.
Yonki mengangguk sambil menyisir rambutnya dengan tangannya, "Aku harap kau tidak menyesal saat momen itu datang"
Mia tertawa geli melihat gaya sahabatnya yang sok ganteng ini.
.
.
.
Pancuran air hangat yang mengguyur tubuh Nathan serasa begitu menenangkan. Kepala dan dadanya yang tadinya panas berangsur-angsur mendingin.
Rambut hitamnya berkilauan karena basah. Nathan menggoyangkan kepala untuk mengeringkan rambutnya, sekaligus menghilangkan bayangan Mia yang enggan pergi dari sana.
Ponselnya berbunyi.
Nailee?
Nathan menjawabnya pada dering kedua dengan nada dingin.
"Nathan! Buka pintunya!"
What??
Mata Nathan membesar menyadari Nailee ada di depan pintu apartemennya. Terdengar suara bell berulang tidak sabaran dari arah pintu.
Kenapa ia tidak tahu kalau adiknya itu ada di negeri paman sam ini?
Dengan malas Nathan menuju ke pintu, dan mendapati adikku, Nailee di depan pintu dengan koper kecilnya.
Ia dengan cepat menyeruak ke dalam apartemen Nathan sambil bersungut-sungut.
"Kenapa lama sekali sih?" Ia mendumal.
Nathan memandangi adiknya dengan tatapan heran, keningnya berkerut sambil matanya mengikuti kemana adiknya pergi.
Nathan menghampiri Nailee yang langsung menghempaskan tubuhnya ke sofa empuk milik Nathan, "Ngapain kamu kesini? Tanpa kabar apapun---"
Nailee melirik jam tangannya, jam 10 malam waktu New York. Karena sudah terbiasa mondar mandir New York Nailee cukup bisa mengatasi masalah jetlag-nya. Ia menatap ke arah kakak laki-lakinya yang ikut duduk di sofa sebelah kanannya. Rambutnya yang berkilauan memberi tanda bahwa ia baru saja mandi.
"Mandi malem? Apa mandi kembang?"
Nathan berdecak mendengar komentar adiknya, ia tahu ada sesuatu yang mau disampaikan Nailee padanya. Kalau tidak, tidak mungkin Nailee tiba-tiba datang tanpa berita. "Enggak usah basa-basi" tukasnya sambil melempar bantal kursi yang mungil ke arah Nailee.
"Iish galak banget!"
Nathan bangkit dari duduknya hendak pergi, tapi Nailee menahannya.
"Tunggu! Aku mau bicara soal Mia---"
Tubuh Nathan dengan cepat berputar lagi menghadap adiknya. Lima tahun lamanya Nailee tidak pernah menyebut nama itu di depannya. Dan setahunya Nailee juga tidak tahu keberadaan Mia.
"Mia telepon aku dan bilang kalau kalian bertemu lagi dan jadi teman bisnis. Aku mau bil---"
"Stop! Aku enggak mau bicarain dia" ujar Nathan sambil ngeloyor pergi begitu saja.
"Nathan, tunggu dulu!"
"Bilang sama Mia, aku udah maafin dia! Tapi enggak akan merubah apapun!" Seru Nathan menuju kamarnya dan menutup pintunya dengan cukup keras.
Errrgh! Keras kepala! Maki Nailee dalam hati.
Nathan membuka pintu kamarnya dan bertanya, "Kamu jauh-jauh ke sini karena dia? Jangan buang-buang waktumu Nai. Enggak akan pengaruh!"
Nailee cepat-cepat menahan pintu kamar Nathan dengan tangannya, "Walaupun kubilang bahwa banyak laki-laki yang pengin Mia jadi miliknya?!"
"Itu bagus!" Seru Nathan sambil susah payah mendorong tubuh Nailee keluar kamarnya.
"Kamu dibayar berapa sama Mia untuk ngomong gini, huh?" Tuding Nathan seenak jidatnya.
Mata Nailee membesar sebesar biji nangka. Kalau tidak ingat di depannya ini adalah kakak laki-laki satu-satunya yang jago bela diri, pasti kakinya sudah melayang ke mulut dengan komentar pedas itu.
"Iissh! Jangan menyesal! Dan jangan bilang kalau aku enggak ingetin kamu, Nath!" Nailee mendengus, "dan jangan sampai Sofia atau wanita lain yang jadi kakak iparku!" Sambungnya.
Di dalam kamar Nathan berdecak sambil menggeleng. Sahabat sih sahabat, tapi Nailee kan adiknya. Harusnya dia ada di pihaknya dong. Setidaknya itulah yang Nathan harapkan. Tapi kejadiannya ternyata terbalik, dari adiknya sampai sahabat-sahabat Nathan, semua membela Mia. Padahal yang hancur dan yang ditinggalkan Nathan lho. Kenapa semua jadi membela Mia? Karena Mia perempuan, yang punya perasaan lebih lembut dari pria? Bukan berarti pria enggak bisa berperasaan juga kan ya? Karena Nathan masih merasakan sakit hati yang dalam itu kalau mengingat detik-detik ia tahu bahwa Mia melarikan diri dari tanggung jawabnya. Mereka akan menikah dalam waktu tiga hari lagi, undangan sudah tersebar luas. Bayangkan! Apa yang Nathan dan keluarga besarnya harus hadapi? Tidak pantaskah ia sakit hati?
Kenapa pula Nai bawa-bawa Sofia? Wanita itu bukan apa-apa bagi Nathan. Ia hanyalah teman pelipur lara, tapi bukan teman tidur. Nathan pantang tidur dengan wanita yang ia tahu menaruh harapan padanya atau punya hati padanya. Nathan lebih suka tidur dengan wanita yang baru saja dikenalnya, maka dengan mudah juga ia melepaskannya. Sofia sempat menyesal karena mengenal Nathan sebelumnya.
"Dengar kan, Nath? Aku enggak mau kakak ipar selain Mia! Titik!" Jeritnya dari luar pintu.
Alih-alih menanggapi suara Nailee di luar kamarnya, Nathan memilih mengabaikan jeritan adiknya itu. Ia menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur, memandangi langit-langit di kamarnya dan bertepuk tangan sekali saja, lampu kamar pun padam. Perlahan Nathan memejamkan matanya dan berharap bayangan Mia menghilang bersamaan dengan hilangnya kesadaran Nathan karena terlelap tidur.
Lampu sudah padam, televisi juga tidak menyala, suara nyaring Nailee juga sudah tidak terdengar, tapi mata Nathan tidak juga mau terpejam, bayangan mata biru juga tidak mau hilang dari pelupuk matanya. Dengan suara geraman yang panjang Nathan bangkit dari tempat tidurnya, telapak tangannya bersatu lagi hingga bersuara dan lampu kamarnya pun menyala. Dengan gontai ia menghampiri ponselnya dan memeriksa pesan yang masuk.
Hi Nath! New york I'm coming!...see you!
Nathan melenguh malas.
Sofia.
Lengkap sudah keruwetan hari ini. Mia---kedatangan Nailee---dan sekaligus Sofia, musuh bebuyutan Mia dan juga Nailee. Nathan merasa kedamaiannya akan terusik segera.
..
Saturday, Manhattan, New York.
Nailee menghampiri kakaknya di kolam renang, "Naaath! Aku ada janji breakfast dengan Mia, apa kau mau bergabung?!" tanya Nailee dengan nada provokasi.
Nathan keluar dari kolam dan meraih handuknya, ia hanya menggelengkan kepalanya tanpa mau repot-repot mengeluarkan suaranya.
"Hhh" keluh Nailee, "temannya yang bernama Yonki katanya mau ikut bergabung juga lho" tambah Nailee makin membuat panas Nathan.
Mata Nathan menatap tajam adiknya, "Kamu bermaksud mau membuatku cemburu dengan adanya Yonki? Dan berharap aku ikut?"
Nailee mengangguk dengan antusias.
"No, thanks!"
"Hmm, baiklah. Kalau memang ternyata usahaku membuat kalian bersama lagi enggak berhasil, ya berarti mungkin Yonki adalah jodoh Mia sesungguhnya---" ujar Nailee, "Eh tapi tetep ya, walaupun Mia enggak jadi kakak iparku, aku tetap enggak mau Sofia!" sambungnya sebelum pergi.
Nathan memandang kepergian adiknya dengan perasaan aneh.
And all that left is emptiness.