3. Kematian

1081 Words
Rico berada di parkiran depan rumah sakit untuk menemani Serly. Sebenarnya sudah dini hari, tapi dia masih diperbolehkan masuk oleh penjaga. Kadang ia juga datang jam segini dan akan menunggui Serly hingga pagi menjelang. Rico mendengar adanya keributan yang terjadi. Awalnya pria itu tidak peduli, tapi setelah melihat Serly tidak berada di ruangannya, Rico penasaran akan keributan tersebut dan dari beberapa orang yang ia perhatikan, keributan itu mengarah ke atap gedung. Sesampainya di atap, betapa terkejutnya Rico melihat Serly terjatuh. Namun, masih sempat berpegangan di besi penyangga. Tidak ada yang menolongnya, beberapa orang yang berpakaian hitam dan berbadan kekar juga hanya melihat, tidak bergerak sama sekali untuk membantu Serly. "Bukankah mereka adalah bodyguard Dion?" batin Rico penuh tanda tanya apa yang terjadi. Rico bergegas berlari ke arah Serly. “Serly, ayo pegang tangan Om!” Serly ragu untuk memegang tangan Rico, bagaimana jika pamannya ikut terjatuh. Namun, akhirnya dia menggenggam tangan Rico erat. Pria itu mencoba menarik Serly, tapi detik kemudian, ada cairan merah yang menetes mengenai wajah Serly. Perempuan itu terkejut karena darah mengalir dari tangan Rico. Dia tahu bahu pamannya mungkin tertusuk. “Om ... Rico ...," lirih Serly. Ini adalah kata-kata pertama yang bisa keluar dari mulutnya selama berada di rumah sakit. Namun, semua sudah terlambat. Rico didorong oleh bodyguard Dion. Mereka berdua terjatuh dari atap dan darah mengalir deras di kepala keduanya. Samar-samar Serly membayangkan betapa bahagia kehidupannya dulu bersama orang tuanya dan Om Rico. Lalu semua berubah menjadi bayangan saat ia disiksa oleh suami dan mertuanya. Sebelum matanya terpejam, Serly menolehkan kepalanya ke arah kanan, ia melihat Om Rico telah bersimbah darah dengan mata tertutup. Air mata pun mengalir dari kedua sudut mata indah Serly. "Om Rico, aku minta maaf, aku masih ingat Om Rico kurang menyetujui hubunganku dengan Dion. Om ingin menjodohkanku dengan kolega Om dan aku marah waktu itu, hubungan kita menjadi renggang. Aku menyesal mungkin lebih baik Om tidak mempunyai keponakan bodoh sepertiku agar tidak berakhir mati sia-sia seperti ini. "Terima kasih sudah ikut menjagaku sampai akhir. Aku menyayangi Om Rico sama seperti aku menyayangi Ayah dan Bunda. Semoga kita diberi kesempatan untuk bisa bertemu lagi dan jika itu terjadi aku akan berbakti sebagai seorang anak," batin Serly dan akhirnya ia menutup mata. Fina dan Dion yang melihat kejadian itu tersenyum penuh kemenangan. Bukan hanya Serly yang mati, tetapi pamannya yang menyebalkan itu juga mati. Benar-benar jackpot. Meskipun besok pasti akan ada pemberitaan tentang ini, tapi tidak ada bukti apa pun karena pihak rumah sakit sudah disuap agar nama mereka tidak tercemar, sedangkan rekaman CCTV juga telah dihapus. Mereka tinggal mengarang cerita wanita gila yang ingin mengakhiri hidupnya, menusuk pamannya sendiri dan akhirnya mereka terjun bersama dari atap. Inilah akhir kisah kehidupan Serly Novianti Marcelia di usianya yang baru menginjak 25 tahun. Akhir yang tragis untuk seseorang yang tidak sepantasnya mendapat siksaan seperti ini. *** Udara pagi masih begitu dingin, Serly di dimensi lain, mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Hatinya hancur dan kecewa dengan fakta yang ia dengar diam-diam dari dua orang yang sangat ia sayangi di dunia ini—dua orang yang ia anggap keluarga, tapi nyatanya adalah musuh dalam selimut yang perlahan menghancurkannya. Betapa bodohnya ia mempercayai dua orang itu hingga melukai hati sang paman saudara ayahnya yang tulus menyayanginya. Lalu, bertingkah buruk pada suami dan ibu mertuanya. Apa ada kesempatan untuknya memperbaiki ini semua? Perempuan itu melihat dari kaca spion mobilnya. "Berengsek aku diikuti!" Mobilnya melaju semakin kencang. Dia harus membicarakan semua ini pada suaminya. Dia tidak boleh bercerai dengan suaminya. Revaldo bisa membantu membalaskan dendam pada orang-orang licik itu. Ternyata takdir berkata lain. Dia memang terhindar dari orang-orang yang mengejarnya, hanya saja maut mendekatinya. Mobil yang ia bawa terpental akibat tabrakan kuat yang menghantam. "Jika saja ada kesempatan kedua, aku akan memperbaiki semuanya. Aku akan menjadi orang baik," batin Serly sebelum matanya terpejam. Revaldo yang akrab dipanggil Aldo, keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri. Tidak lama, ponselnya berdering. "Siapa yang menghubungi sepagi ini?" Aldo melihat jam baru pukul setengah enam pagi. Nomor yang menghubunginya adalah nomor yang tak dikenal. Ia mengangkat telepon itu dan mendengar kabar yang membuatnya terkejut. Istrinya kecelakaan. "Buat apa dia keluar pagi sekali!" Aldo ingat dini hari tadi istrinya baru pulang dengan bau alkohol menempel di badannya. Mengapa istrinya sekarang sudah berada kembali di luar? Aldo segera memberitahu mamanya tentang hal ini. Mereka bergegas ke rumah sakit yang diberitahu penelepon tadi. Ternyata di rumah sakit telah ada paman dari Serly. Rico Marcelino terlihat begitu khawatir. Keponakannya memang tidak berperilaku baik terhadapnya, hanya saja keponakannya adalah keluarga satu-satunya yang ia miliki. Ia berharap masih ada keajaiban yang terjadi karena kecelakaan Serly sungguh parah. Serly dinyatakan koma. Aldo yang mengetahui itu cukup prihatin dengan kondisi istrinya. Tentu dia akan menunda menyerahkan berkas perceraian. Hari berganti hari, Aldo dibuat heran dengan Rico dan mamanya yang sangat sedih dan memperhatikan kondisi Serly. Mereka bergantian menemani Serly yang masih di ruang ICU. Tentu keduanya juga tak bisa masuk. Hanya dapat menjenguk sebentar dan selanjutnya menunggu di luar. Keduanya sangat menyayangi Serly, tapi Serly bersikap kurang ajar pada mereka, itulah yang membuat Aldo sebagai suami tak habis pikir melihat mereka tetap menemani istrinya itu walau dalam keadaan koma. Aldo hanya menjenguk sesekali, bahkan tak pernah masuk ruang ICU. Dia hanya berbincang dengan dokter mengenai kondisi sang istri dan sepanjang yang Aldo tau istrinya itu tak mengalami perkembangan. Hari ini, Rico datang menemuinya di kantor. Wajah pria itu yang beberapa hari terakhir ini sendu, menghilang begitu saja dan tampak cahaya di sana. "Sepertinya kondisi Serly membaik," batin Aldo. "Maaf mengganggu waktumu, Do." "Tidak apa-apa, Om. Ada yang bisa aku bantu, Om?" Aldo dan Rico sudah duduk di sofa ruang kerja Aldo. "Om mau kembali ke London. Perusahaan ada sedikit masalah. Kamu bisa 'kan ikut menjaga Serly selama Om tidak ada?" pinta Rico. "Apa kondisinya sudah membaik?" Aldo tidak menjawab pertanyaan Rico, toh setelah Serly sadar ia akan bercerai. "Ya, sebuah keajaiban datang, mungkin Serly sebentar lagi akan sadar." Rico tersenyum semeringah, dia begitu bahagia mendengar dokter mengatakan itu. Dia memilih kembali ke London bukan hanya karena pertimbangan usahanya bermasalah di sana, tapi juga Rico takut Serly akan tertekan jika ia terlihat di rumah sakit ketika keponakannya itu sadar. Rico menyadari jika Serly sangat membencinya. Pria itu tidak mau Serly yang baru saja siuman menjadi emosi melihatnya. "Baiklah aku akan sering menjenguknya dan memberi kabar kepada Om," jawab terakhir Aldo. Rico tau, Aldo ingin bercerai dengan keponakannya, tapi ia sangat berharap ada sebuah keajaiban lagi yang membuat keduanya mempertahankan rumah tangga mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD