4. Kehidupan Baru

1061 Words
Di sebuah ruangan bernuansa putih seorang perempuan cantik tertidur damai dengan masker oksigen menutupi hidung dan mulutnya. Kepala dan tangannya juga terbalut oleh perban. Tidak lama, perlahan mata perempuan itu terbuka. "Di mana aku? Bukankah aku sudah mati? Tapi, ini seperti kamar rumah sakit. Tidak ada seorang pun di sini. Apa aku diselamatkan? Bagaimana mungkin?" Perempuan itu terus bertanya dalam batinnya. Dia melepas masker oksigen dan infusnya, lalu berjalan menuju cermin yang berada di sana sembari memegangi kepalanya yang sedikit pusing. Setelah ia berada di depan cermin, ia tampak terkejut. Ini memang dirinya yaitu Serly Novianti Marcelia, tapi sangat berbeda. Dirinya yang sekarang seperti saat orang tuanya masih hidup bukan saat tiga tahun disiksa oleh suaminya. Dia yang sekarang memang sedikit pucat. Namun tubuhnya tidak sekurus dulu dan kulit serta rambutnya masih terawat. Intinya dirinya tak lagi tampak seperti seseorang dengan gangguan mental parah. Serly kembali dibuat terkejut melihat tanggalan di kalender yang tergantung di ruang rawatnya. “Ternyata baru dua minggu setelah kejadian aku jatuh dari atap, tapi tidak mungkin aku berubah seperti ini, kan?” “Bagaimana dengan Om Rico?” Wajah Serly berubah sendu mengingat pamannya itu. “Aneh, kepala dan tanganku diperban, tapi aku tidak merasa sakit di sana. Hanya sedikit pusing, cuma bekas infus ini yang sakit, astaga darahnya banyak sekali.” Serly mengambil tisu yang ada di atas meja dan menekan ke bagian tangannya yang mengeluarkan darah untuk menghentikan pendarahan akibat infus yang ia tarik paksa. Suatu tindakan bodoh yang ia lakukan tadi. Suara kenop pintu dibuka, terlihat dokter dan suster masuk ke ruang rawat. Mereka terkejut melihat Serly yang sudah bangun dari tempat tidur, melepas masker oksigen dan infusnya. Serly tampak takut ia berpikir dokter dan suster itu akan membunuhnya. “Jangan mendekat!!! Jangan bunuh aku!!!” jerit histeris Serly. Tangannya menggapai gunting di troli yang dibawa oleh suster. Dokter dan suster tampak panik dan berusaha menenangkan Serly. “Nyonya Serly tolong tenang. Kami dokter dan suster yang menangani Anda,” ucap pria paruh baya yang memakai jas dokter. “Aku tidak percaya!!!" Serly makin histeris. Suara langkah kaki terdengar dari ambang pintu. Pria sangat tampan bermata tajam, rahang tegas, kulit bersih, masuk ke ruangan dan mendekati Serly dengan wajah datar dan aura yang menakutkan. "Siapa dia?" batin Serly heran sekaligus terpesona. “Serly!” Suara berat dan penuh penekanan pria itu menyadarkan Serly yang terpaku akan ketampanan pria di depannya. “Pergi!!!” teriak Serly. Namun, sang pria nyatanya tetap mendekat dan berusaha mengambil gunting di genggaman tangan Serly. *** “Mas, nggak apa-apa?” Serly panik ketika melihat darah dari tangan pria itu. Ia merasa bersalah. Dirinya tak bermaksud melukai pria yang terlanjur tampan itu. “Berhenti melakukan hal gila!” serunya. “Maaf, maafkan aku ...,” lirih Serly sembari terisak. Pria itu tak tahu saja, dirinya memang pasien gangguan jiwa. Apa sekarang ia telah sembuh? Dari tadi ia tidak mengalami halusinasi. Apa pria tampan ini halusinasinya? Sepertinya bukan. “Kalau boleh tau, Mas ini siapa ya? Kenapa bisa kenal aku?” lanjutnya dengan tampang polos sambil mengusap air matanya. Pria itu mengerutkan keningnya, lalu menoleh ke arah dokter. “Nyonya Serly, sebaiknya diberi obat dulu dan infusnya juga dipasang kembali," bujuk dokter. “Enggak! Mas tolong, aku mau dibunuh!” Serly memegangi mas-mas yang tampangnya terlalu tampan. Sang pria menghela nafas dengan sigap ia menggendong Serly dan menaruhnya ke ranjang pasien. “Tidak usah diberi obat dulu, langsung periksa saja!" perintah pria itu datar. Sementara Serly masih mematung menetralkan degup jantungnya karena kaget digendong pria lain selain ayahnya dan Om Rico, mana masnya terlalu tampan, kalau dibandingkan si berengsek Dion, sudah jelas Dion pasti kelihatan bulukan. Mas ini terlalu kinclong untuk dibandingkan dengan siapa pun. Itulah yang ada dalam pikiran Serly. *** “Bagaimana?” tanya pria itu kepada dokter. “Begini Tuan Revaldo, sungguh keajaiban Nyonya Serly kondisinya sangat baik. Hanya saja mungkin beliau mengalami hilang ingatan sementara. Saya akan jadwalkan untuk terapinya besok." “Baiklah, terima kasih, Dok.” Setelah dokter dan suster pergi, keheningan melanda ruangan itu. “Aku belikan makanan dulu,” ucap pria yang adalah Aldo pada Serly. “Tunggu-Mas aku mau nanya, masnya sebenarnya siapa? Apa hubungannya denganku?” “Aku Revaldo Anggara Dinardi, kamu bisa panggil Aldo. Aku itu suami kamu selama tiga tahun terakhir,” ungkap Aldo datar sambil melangkahkan kakinya keluar ruangan. Dalam benak pria itu ia sedikit heran dengan kondisi Serly saat ini. Tak ada lagi ekspresi kebencian di mata istrinya, yang ada hanya ekspresi takut dan mata polosnya yang seperti butuh pertolongan. Serly hanya bisa tertegun mendengar perkataan Aldo. "Apa!? Dia suamiku selama tiga tahun!" batin Serly meronta. “Sepertinya aku mimpi atau aku udah mati terus masuk Surga, kenapa bisa suamiku dari si berengsek Dion, ganti jadi Mas Aldo yang super tampan dan gagah bak pangeran negeri dongeng, udah gitu dia baik dan perhatian lagi.” Bagi Serly walau Aldo berbicara datar, tapi tetap pria itu tampak baik dan super perhatian. “Tunggu, ini 'kan baru dua minggu setelah aku jatuh dari atap, kok bisa suamiku ganti. Ini sebenarnya fenomena apa sih?” Serly mengacak-acak rambutnya. Bingung sebenarnya apa yang terjadi kepadanya. “Yang jelas aku harus banyak bersyukur karena aku bukan bersama dengan Dion dan Fina lagi,” gumam Serly sambil tersenyum tipis. Begitu banyak yang Serly pikirkan, kalau Aldo suaminya, bagaimana dengan orang tuanya, apa masih hidup? Lalu Om Rico juga ia ingin tau keadaannya. Sementara dia berharap Dion dan Fina tidak lagi ada dalam kehidupannya. Pintu ruang rawat Serly terbuka menampilkan pria super tampan yang dapat meluluhkan hati para wanita. “Ini aku belikan bubur ayam." Aldo menyeret meja untuk makan pasien lalu meletakkannya di depan Serly dengan bungkusan makanan yang ia bawa. Dia sudah berkonsultasi dengan dokter untuk makanan istrinya itu. Serly yang masih terpana menatap ketampanan suaminya, tersentak kaget melihat bungkusan makanan sudah ada di depannya. Mata gadis itu mulai berkaca-kaca, meski hanya perhatian kecil, tapi baginya yang hidupnya tersiksa selama tiga tahun, itu sudah hal yang luar biasa. "Mas Aldo baik banget. Terima kasih ya, Mas." Aldo hanya diam dan melanjutkan langkah kakinya menuju sofa untuk segera makan. “Mas, aku boleh tanya lagi, nggak?” Serly bersuara disela makannya. “Habiskan dulu makananmu!” Itu merupakan perintah yang tegas. Namun, Serly tahu bahwa itu bentuk perhatian Aldo agar dia tidak tersedak nantinya. Gadis itu lagi-lagi terharu, dia begitu memuja Aldo, suaminya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD