13. Pulang

1834 Words
Revaldo PoV Tepat pukul sebelas siang aku sudah berada di bandara Soekarno Hatta. Aku menyempatkan untuk pulang ke rumah dulu menaruh barang-barangku. Kulihat Mama sedang sibuk memasak dibantu para ART. Tampak sangat banyak makanan untuk menyambut Serly. Ada bistik daging sapi, sop, ayam rica-rica, cah kangkung, udang saos tiram, perkedel kentang dan makanan penutupnya ada puding cokelat lalu sepertinya mama juga menyiapkan es krim. “Ma,” panggilku. “Eh, Aldo kamu udah pulang, Nak? Mana Serly?” “Belum Aldo jemput Ma, pulang dulu naruh barang bawaan sama mau ganti baju." “Iya, cepat dijemput ya, Nak. Bentar lagi jam makan siang.” “Ma, ini makanannya nggak terlalu banyak?” “Iya, Mama bingung, kamu bilang Serly sekarang bakalan suka masakan Mama. Jadi, Mama masak aja semua makanan kesukaan kamu sama Mama. Biar Serly bisa milih.” “Ini juga Serly bakalan suka, Ma. Aku ke atas dulu ya.” Setelah hampir sampai ke kamarku. Sayup-sayup terdengar dua ART yang membersihkan kamar Serly sedang bergosip. “Ih ngapain sih nyambut cewek murahan kayak gitu!” “Nyonya Nita pake masak banyak segala lagi. Dulu aja masakannya dibuang sama cewek itu.” “Harusnya langsung dicerain tuh cewek murahan kayak dia. Nih liat aja baju-bajunya kayak p*****r!” “Mungkin Tuan Aldo buta kali ya, mau pertahanin cewek kayak gitu.” “Cantikkan juga aku ya, Mbak.” “Kok dia nggak mati atau cacat gitu padahal kecelakaannya parah.” “Iya padahal pengennya dia enyah dari rumah ini.” “Diam!!!” bentakku tidak tahan mendengar ucapan mereka. “Kalau kalian mau tetap kerja di sini tutup mulut kalian!!! Kalau saya masih mendengarnya, saya pastikan kalian kehilangan pekerjaan dan jangan harap hidup kalian bisa tenang!!!” Saking emosinya dadaku sampai naik turun dan tanganku mengepal, ingin rasanya memukul mereka, tapi aku masih punya hati nurani untuk tidak melakukannya. Mereka yang aku bentak mulai menangis dan memohon maaf kepadaku. Mama datang karena mendengar teriakkanku. Mama langsung mengusap lenganku untuk meredakan emosiku. Beliau belum menanyakan apa yang terjadi. Namun, Mama menyuruh dua ART itu keluar dari kamar Serly. Aku kembali ke kamarku dan Mama mengikutiku. Kemudian aku duduk di kasur ranjang. “Apa yang terjadi, Nak?” “Mereka Ma, mereka menghina Serly dan menginginkan Serly jadi cacat atau mati. Serly nggak pantas diomongin seperti itu, Ma. Ya, dulu memang Serly kasar, tapi sekarang dia—” Aku tidak sanggup berbicara saking frustrasi dan menahan emosiku. Apa yang akan dirasakan Serly, jika mendengar perkataan seperti itu? Aku tidak mau Serly terluka jika tahu ART di rumahku menghinanya dan menginginkan kematiannya. Apa dia akan meninggalkanku saat tahu? Aku mengerang kesal. “Do, sudah ya nanti biar Mama tegur dan beri hukuman ART itu. Kalau mereka masih menggunjing seperti tadi Mama akan pecat mereka,” ucap mamaku berusaha menenangkanku. “Sekarang ganti baju terus jemput Serly, mantu mama pasti sudah lapar sekarang. Nanti jemputnya pakai sopir aja,” lanjutnya. Aku mengangguk dan melihat jam menunjukkan 12.30 siang. Ya dia pasti sudah kelaparan. Segera aku ganti baju dan pergi menjemput seseorang yang aku rindukan sejak kemarin. Pukul 13.00, aku sudah sampai di rumah sakit. Aku bergegas menuju ruangan rawat Serly. Ketika aku membuka pintu, aku melihat seorang wanita memakai flower dress berwarna peach selutut serta cardigan putih tersenyum kepadaku. Wajahnya tampak cantik di poles dengan dandanan tipis. Bulu matanya yang lentik dan bibir pinknya terlihat sangat manis. Aku merasa seperti melihat bidadari turun ke bumi. Dia berjalan cepat ke arahku dan langsung memelukku erat tangannya melingkar di pinggangku dan kepalanya bersandar di dadaku. Aku memeluknya tak kalah erat. Lalu, ia menengadahkan kepalanya, melihat wajahku. Matanya berbinar dan berkedip lucu. “Mas lama banget aku kangen tau. Mana udah lapar lagi,” gerutunya. “Aku juga lapar,” ucapku sambil mengusap sudut bibirnya. Fokusku sekarang hanya pada bibirnya yang mungil berwarna pink cerah. Bibirku mendekat ke arah bibirnya lalu menempelkannya dengan sempurna. Kurasa dia tersentak kaget. Aku melumat bibirnya perlahan melepaskan rasa rinduku padanya. Dia juga membalasnya. Rasanya sangat manis. Lama-kelamaan ciumanku menjadi penuh hasrat dan semakin dalam. Bunyi kecupan basah mengiringi ruangan rawat yang sunyi. Saat kurasa dia membutuhkan oksigen kulepas ciumanku sementara, menempelkan dahiku ke dahinya. Kami sama-sama terengah. Kulihat wajahnya yang sudah memerah dan bibirnya yang sedikit bengkak. Kuusap sudut bibirnya yang basah, lalu kutarik dan kupeluk pinggangnya erat agar dia menempel padaku. Kemudian, aku kembali mengecup bibir manisnya kulumat bibir atas dan bawahnya dan dia kembali membalasnya. Ciuman yang penuh gairah itu berlangsung lama. Tidak ada yang ingin melepaskan diri. Ciuman harus terlepas karena mengingat tujuanku untuk membawanya pulang. “Bibirku kayaknya bengkak deh gara-gara Mas Aldo, ciumannya brutal banget,” ungkap Serly dengan wajah merah dan tangannya masih asyik melingkar di pinggangku. “Kamu juga ikut menikmati tadi.” Aku terkekeh melihat ekspresinya yang cemberut lucu. “Gara-gara Mas pokoknya tampilan aku jadi berantakan.” Serly kembali melihat wajahnya di cermin memoles lip balm pada bibirnya, sedangkan aku mengekorinya dari belakang, lalu memeluk pinggangnya. Menyingkirkan helaian rambut dari lehernya dan mengecup lehernya. Serly kaget berbalik ke arahku. “Mas, mesumnya udahan dulu deh. Kita pulang yuk. Aku lapar," rengeknya manja. Kemudian melangkah keluar. Aku menyamakan langkahku sembari membawa barang-barangnya kemudian mengandeng tangannya. Dia menoleh dan tersenyum manis ke arahku. Aku pun tersenyum ke arahnya. Bagiku rumah sakit ini bersejarah karena aku bisa menemukan kembali perasaan yang sudah lama aku lupakan. *** Serly PoV Aku menyandarkan kepalaku di bahu Mas Aldo. Kami sedang berada dalam mobil yang disupiri oleh Pak Tono. Sekarang sudah hampir jam dua siang dan aku sangat lapar. Apalagi kata Mas Aldo tadi, Mama Nita memasak berbagai macam makanan. Aku sudah tidak sabar untuk sampai rumah. Tak lama kemudian aku melihat gerbang pagar tinggi dan besar. Memasuki gerbang itu, terdapat taman bunga yang sangat luas, kemudian tampak rumah mewah tiga lantai. Berbeda dengan rumah dua lantai milikku yang di desain klasik. Rumah mas Aldo di desain modern dan tampak sangat nyaman. Kira-kira rumah mas Aldo dua kali lebih besar dari rumahku. Walaupun aku memang sudah ingat rumah mas Aldo, tapi tetap saja melihatnya langsung membuatku berdecak kagum. Aku memasuki rumah masih bergandengan tangan dengan mas Aldo. Di sana sudah ada Mama Nita yang menyambutku dengan senyum keibuan. Mama maafkanlah menantumu ini. Aku sudah mengingat semua kejadian di kehidupan ini, karena jiwaku sudah menyatu dengan jiwa Serly di kehidupan ini. Oh, ya sebut saja namanya Marcelia. Marcelia tidak menyukai keluarga Aldo dan menganggapnya sebagai musuh. Dia merasa risi atas perhatian yang diberikan mama Nita. Dia pikir perhatian itu hanya kedok untuk menutupi kelicikan keluarga Aldo agar dia bisa terjerumus dalam keluarga itu. Tentu saja dia berpikir seperti itu karena hasutan Dion dan Fina. Tidak sepertiku yang mengenal Dion semasa kuliah, Marcelia kenal Dion sejak dia SMA. Namun, sebenarnya keluarga kami sudah dekat dari saat aku masih bayi. Teringat di rumah terdapat album foto kebersamaan keluarga Marcelino dan Pratama. Aku tahu di album tidak ada foto Fina dan tahu alasannya, tapi aku butuh mengorek lebih dalam. Mereka mulai menghasut Marcelia setelah orang tuanya meninggal lebih tepatnya ketika SMA. Tentu Marcelia percaya karena dari dulu keluarganya dan Dion sangat dekat. Namun, aku tidak habis pikir Marcelia bisa berburuk sangka dengan Om Rico. Benar-benar bodoh, bukan? Kalau dipikir lagi aku juga bodoh, karena dibutakan cinta, menikah dengan Dion tanpa menyelidiki terlebih dahulu. Anggaplah kita sama-sama bodoh dan jiwa kita menyatu. Apa kita bisa berubah menjadi pintar? Tidak ada yang tau masa depan. Terlepas dari Marcelia yang sering membentak Mama Nita ataupun membuang makanan yang dibuat Mama Nita, aku bisa merasakan rasa bersalah dari Marcelia, tapi karena keegoisannya, dia tidak pernah sekali pun meminta maaf. Marcelia ini hidupnya sangat enak selama tiga tahun, dia selalu dibuatkan makanan enak oleh ibu mertuanya, sedangkan aku selama tiga tahun, makan pun jarang yang ada malah dipukuli. Benar-benar nasib yang berbeda. Aku sudah berdiri di depan Mama Nita dengan mataku yang berkaca-kaca akan menangis. Aku mencium punggung tangannya. “Ma, maafin aku, ya? Maafkan kelakuanku selama tiga tahun ini.” Aku memeluk Mama Nita, lalu seperti biasa air mataku tidak tertahan untuk keluar. Mama Nita membalas pelukanku mengelus rambutku. Setelah melepas pelukanku, Mama pun berkata, “Iya Mama maafkan, Nak. Sudah jangan nangis lagi mantu mama yang cantik.” Menurutku Mama Nita adalah jelmaan Ibu peri dari negeri dongeng. Bagaimana bisa beliau sangat baik? “Beneran Mama maafin aku secara cuma-cuma? Aku nggak di hukum?” “Gimana kalo Serly di hukum buat makan yang banyak masakan Mama hari ini? Terus tiap pagi harus nampilin senyum manis ke Mama. Terus mantu mama jangan lagi suka keluar malam. Gimana bisa 'kan memenuhi hukuman Mama?” Aku kembali menangis. “Mama, kenapa baik banget. Kalo itu aku bisa, Ma. Apalagi makan banyak itu anugerah buatku, bukan hukuman." “Ma, aku lapar,” lanjutku manja merangkul lengan Mama Nita. “Astaga Mama lupa, ayo dari tadi sudah disiapkan.” Mama Nita langsung mengajakku ke ruang makan. Tidak lupa kutampilkan senyum sumringah di hadapan Mama. Kulihat Mas Aldo mengekori kami sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Mas Aldo kenapa jadi aneh, kebanyakan dugem kayaknya. Aku kembali berdecak kagum melihat makanan yang ada di depanku. “Ma, aku boleh makan semuanya? “Iya Sayang boleh, makan aja yang kamu suka. Ayo duduk.” “Ma, aku sayang Mama, i love u, wo ai ni, aishiteru.” Aku mengecup pipi Mama, lalu duduk di kursi dekat Mama. Sementara Mas Aldo duduk di sebelahku. Aku tidak langsung mengambil nasi di piringku. Aku mengambilkan nasi di piring mas Aldo terlebih dahulu. “Segini cukup nggak, Mas?” Mas Aldo malah terdiam. Saat aku memanggilnya lagi baru dia membuka suara. “Cukup segitu aja. Jangan banyak-banyak, perutku nggak kayak perut kamu, Ser.” “Awas aja nanti Mas nambah. Lauknya mau apa nih?” “Aku ayam rica-rica, cah kangkung, bistik sama perkedel.” Aku dengan sigap mengambil dan menaruhnya di depan Mas Aldo. Kulihat Mama juga belum mengambil nasi. “Mama Cantik, aku ambilkan ya?” Mama awalnya mau menolak, tapi aku dengan sigap mengambil piringnya. “Segini cukup nggak, Ma, nasinya? Lauknya mau apa?” “Cukup Sayang, lauknya sop, bistik sama perkedel, Nak.” Aku menaruh perkedel dan bistik di piring Mama lalu sop di mangkuk kecil yang sudah tersedia. Setelah itu aku mengambil nasi di piringku cukup banyak. Memulai dari mengambil udang saus tiram, bistik, ayam rica-rica, lalu juga ku taruh sop di mangkuk kecil. Selanjutnya kalian pasti tahu, aku, Mas Aldo, dan Mama makan dengan lahap. Masakan Mama memang super enak. Inikah rasanya surga dunia. Makanan penutup ada puding dan es krim, aku memakan keduanya. Mas Aldo hanya melongo heran melihat nafsu makanku yang sangat besar. Sebenarnya aku masih cukup kuat menampung makanan lain, tapi karena takut di bilang rakus ya tidak jadi. Dulu aku sempat berpikir mungkin aku tidak akan bisa makan enak seperti ini lagi. Kalian tahu, selama tiga tahun sampai aku meninggal, aku hanya makan dua hari sekali. Kadang ketika aku dihukum, aku tidak diberi makan selama tiga hari. Aku sangat bersyukur diberi kesempatan ini. Semoga kebahagiaanku tidak sampai di sini saja, tapi seterusnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD