8. Terapi

1173 Words
Suara pintu digeser terdengar di ruang rawat Serly. “Mas Aldo sudah datang?” ucap Serly riang melihat suami tampannya memasuki ruangan. “Kalau begitu saya permisi dulu, Tuan. Serly, baik-baik ya. Semangat terapinya." Wulan berpamitan sembari melangkahkan kaki untuk pergi dari ruangan. “Oke, hati-hati di jalan. Nanti kalau sudah sampai berkabar ya,” balas Serly penuh senyum, hubungannya dengan Wulan dalam sehari menjadi dekat. Wulan juga tidak risi melihatnya sok dekat, justru dirinya dan Wulan berencana membuka usaha kue kecil-kecilan, seperti yang ia dan Wulan lakukan di kehidupan sebelumnya. “Siap. Pergi dulu. Permisi, Tuan." “Senang banget kelihatannya." Aldo menoleh ke arah istrinya. “Iya, Mas. Terima kasih sudah minta Wulan ke sini. Mas Aldo baik banget,” balas Serly sembari menampilkan senyuman maut. “Iya sama-sama. Ayo sekarang siap-siap terapi." Aldo mengusap rambut istrinya itu. Serly dibuat merona karenanya. “Oke.” Sebenarnya Serly merasa tidak butuh terapi. Dia bukan hilang ingatan. Ingatan tubuh ini juga ia sudah melihatnya melalui mimpi, tapi memang belum semua. Masih ada hal-hal yang ia tidak tahu. Mungkin aku akan tahu seiring berjalannya waktu. “Bagaimana Dok kondisi istri saya?” “Nyonya Serly memang mengalami hilang ingatan sementara. Terlihat dari kondisi ingatannya yang kemarin berbeda jauh dengan ingatan yang sekarang. Beliau sudah mulai mengingat namun tidak mendetail. Saya sarankan tidak usah terburu-buru dalam mengingat karena kalau terlalu dipaksakan akan mengganggu fungsi kerja otak." “Apalagi yang harus saya perhatikan, Dok?" “Usahakan Istri Anda tidak mengalami stres, buatlah suasana yang nyaman dan aman ketika dirumah nanti. Biarkanlah Istri Anda untuk melakukan hobinya yang menyenangkan, itu dapat mempercepat proses penyembuhan dan pengembalian ingatannya," ujar Dokter menjelaskan pada Aldo. “Saya merasa Nyonya Serly memiliki trauma yang lebih berat selain trauma yang dia alami akibat kecelakaan dua minggu lalu. Saya menyarankan Tuan Revaldo harus lebih memperhatikan Nyonya Serly," lanjut Dokter. "Apa Serly memiliki trauma lain? Nanti coba aku tanyakan pada Om Rico,” batin Aldo. “Kapan istri saya diperbolehkan pulang, Dok?” “Besok saya masih harus melakukan pengecekan ulang, kalau hasilnya baik, lusa istri Anda sudah boleh pulang." “Baiklah kalau begitu. Terima kasih, Dok.” “Sama-sama." *** “Gimana Mas, aku baik-baik saja, 'kan?” tanya Serly. “Baik, tapi kamu tidak boleh stres.” “Aku tidak akan stres kalau melihat wajah Mas Aldo tiap hari." Serly mulai meluncurkan aksi gombalan receh sambil mengedipkan mata. Aldo terheran mengapa istrinya sekarang menjadi tukang gombal. Tidak dapat dipungkiri Aldo sangat bahagia dengan perubahan besar istrinya. “Oke terserah kamu.” “Oh iya, teman-teman mas mau jenguk kamu nanti sore.” “Teman Mas Aldo? Siapa?” “Aku tidak tahu kamu ingat mereka atau tidak karena baru ketemu dua sampai tiga kali. Mereka teman mas sejak SMA, kuliah juga bareng mereka, meski beda jurusan. Namanya Danish, Nathan, Henry sama Silvia." “Ada empat orang yang mau datang berarti. Dari namanya aku nggak ingat Mas. Tunggu Mas, untung aku tadi beli dua kotak brownies bakar. Tinggal satu sih, habisnya satu lagi udah aku makan bareng Wulan, hehehe." Serly terkekeh sendiri. “Mas, ini ditaruh saja di meja dekat sofa, siapa tahu teman Mas pada suka, Mas juga boleh makan," lanjutnya menyerahkan bungkusan brownies bakar di nakas ranjang pasiennya. “Kamu tadi keluar?” Aldo mengernyit. “Bukan, Mas. Delivery dong. Pokoknya Mas tidak usah khawatir temannya mas pasti suka deh. Ini tuh bagi yang bukan pencinta manis juga bakalan suka. Aku saja sama Wulan sampai bisa menghabiskan satu kotak besar. Ini kesukaan aku banget.” “Rasanya semua makanan juga kesukaan kamu. Itu kamunya aja yang lapar, Sayang.” Jantung Serly kembali berdetak kencang. Hanya dengan kata-kata 'sayang' dari Aldo sekarang pipinya pasti tampak merona. “Kenapa pipinya merah begitu?” Menurut Aldo menggoda istrinya sangat menyenangkan. “Mas, jangan goda aku mulu, tapi ulangi dong kata yang tadi.” “Yang mana?” “Yang kata terakhir.” “Oh itu kamunya aja yang lapar.” “Lanjutannya?” “Gak ada lanjutannya.” Kemudian Aldo terkekeh geli melihat ekspresi cemberut istrinya yang sangat menggemaskan. Serly juga senang melihat Aldo yang lebih berekspresi, tidak datar seperti awal perjumpaan. “Ya sudah Mas mandi dulu ya. Keburu teman mas datang." Aldo kemudian melangkahkan kaki ke kamar mandi. “Mas Aldo,” panggil Serly. “Kenapa?” Aldo menoleh pada Serly sebelum masuk kamar mandi. “Aku mau ikut mandi berdua sama Mas Aldo,” ungkap Serly malu-malu. “Apa!?” Aldo terkejut. Namun, beberapa detik kemudian, Serly mengubah ekspresinya dan cengiran lebar tercetak di bibirnya. “Bercanda, Mas. Jangan dianggap serius gitu,” ujar Serly tanpa dosa. Tidak tahukah dia bahwa bagian bawah suaminya sempat menegang saat membayangkan mereka mandi bersama. Kemudian Aldo hanya bisa pasrah karena itu adalah candaan, lalu ia melanjutkan pergi ke kamar mandi. “Baru dibayangkan saja sudah tegang begini. Aku tidak boleh gegabah, aku harus benar-benar yakin kalau Serly berubah. Kalau perasaanku terlalu dalam juga tidak baik, aku yang akan hancur jika ini hanya pura-pura,” gumam Aldo sembari melihat pantulan dirinya di cermin. Aldo masih sedikit ragu dengan perubahan Serly. Bagaimana jika ini semua pura-pura, apa Aldo bisa menerimanya. Apa perasaannya bisa baik-baik saja? Apa hatinya tidak akan hancur? Bagaimana pun ia menolak, tapi hatinya tidak ingin meninggalkan Serly. Apalagi ketika melihat mata istrinya yang ketakutan saat itu, Aldo tidak akan tega meninggalkannya. Semoga ini adalah awal baru yang bahagia untuk pernikahannya. *** Pukul 17.00 WIB “Masuk!” seru Aldo dari dalam ruangan ketika pintu diketuk. Sepertinya ia tahu itu pasti sahabat-sahabatnya. “Hei Bro, sudah lama kita nggak ketemu,” sapa pria dengan kemeja biru muda menenteng parsel buah di tangannya. Wajahnya cukup tampan, ada kesan manis karena ia memiliki lesung pipi. Dia adalah Danish. “Gue banyak kerjaan di kantor, Dan,” balas Aldo. Satu per satu teman Aldo masuk, lalu memeluk pria itu. Ada seorang wanita yang juga memeluk Aldo. Serly yakin itu pasti Silvia. Meski sedikit tercubit, Serly bukan orang yang posesif jadi biarkan mereka melepas rindu. Silvia benar-benar cantik terlihat dewasa dan berkelas. Kemudian, ada pria yang memakai jaket kulit hitam dan gayanya seperti anak motor. Wajahnya terkesan sedikit sangar. Dia adalah Henry. Lalu, terakhir adalah pria yang menurut Serly mempunyai ketampanan sebelas dua belas dengan Aldo, tapi tetap sebagai istri, Serly rasa suaminya lebih tampan. Setelah Serly perhatikan baik-baik sahabat Aldo yang diketahui bernama Nathan ini wajahnya familiar. Serly menatapnya sedikit lama, lalu pria itu berbalik menatap Serly membuat Serly tersenyum sungkan. Dibalas dengan senyuman tipis Nathan. Tidak lama terdengar deheman Aldo yang memutuskan pandangan Serly dan Nathan. “Serly, kenalkan ini Danish, Silvia, Henry, dan Nathan." Aldo memperkenalkan para sahabatnya. “Hai Kak Danish, Kak Silvia, Kak Henry, Kak Nathan. Terima kasih sudah mau menjengukku,” ucap Serly sopan dengan senyuman manis. Mereka hanya mengangguk, lalu keempatnya duduk di sofa tanpa menegur Serly. Tampak Aldo mendelik tajam ke arah mereka, tapi para sahabatnya tetap tak memedulikan. Serly sebenarnya sedih, hanya saja bagaimana lagi dirinya di dunia ini memang tidak punya kesan baik. Semoga hal seperti ini cepat berlalu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD