9. Sahabat Aldo

1179 Words
Di sebuah ruangan bernuansa putih terlihat empat orang pria dan satu wanita sedang bercengkerama. “Do, ini gue mau kasih undangan nikahannya Dimas sama Monica. Acaranya minggu depan. Lo masih ingat mereka, kan?” Silvia memberikan undangan berwarna biru muda kepada Aldo. “Ingat!” jawab Aldo singkat dan datar. Ia masih kesal pada sahabat-sahabatnya yang bersikap tidak peduli pada Serly. Padahal istrinya sudah bersikap ramah pada mereka. “Mereka itu awet banget ya pacaran dari masa kuliah." Danish menambahkan. “Lo semua pada datang, kan? Gue nggak punya pasangan yang bisa gue ajak ke acara nikahan, bisa mati gaya gue kalau gak ada kalian,” ucap Silvia. Wanita di umurnya yang sudah 32 tahun, masih belum bisa menemukan pasangan yang sesuai. Silvia seorang desainer perhiasan yang sudah beberapa kali gonta-ganti pacar dari yang lebih tua sampai yang lebih muda darinya, tapi tidak ada seorang pun di antara mereka membicarakan hubungan yang lebih serius seperti pernikahan kepada Silvia. Akhirnya sudah tiga bulan ini ia menjomblo. “Gue pasti datanglah 'kan dia pakai jasa WO gue,” ucap Henry. Walaupun pria itu tampilannya seperti anak geng motor, tapi dia punya usaha WO yang cukup populer. WO itu diwariskan dari ibunya. “Gue datang sih, gue lumayan dekat sama Dimas kita dulu satu jurusan,” ujar Danish. Pria itu seorang arsitek muda berbakat. Dia bekerja di perusahaan konstruksi yang cukup besar di Jakarta. “Ya sudah gue juga datang,” ujar Nathan. Pria itu CEO muda yang meneruskan Wesley Company perusahaan milik ayahnya. Wesley Company salah satu perusahaan furniture terbesar di Indonesia, menduduki top 10 Asia. “Gue usahakan datang,” ujar Aldo. Pria itu CEO RAD Company perusahaan top 5 se-Asia. Bergerak di bidang perhotelan, mempunyai beberapa pusat perbelanjaan dan yayasan sosial. Sungguh kombinasi persahabatan yang sempurna dengan keahlian masing-masing. “Gitu dong Gaes kalian memang sahabat gue yang paling peduli." Silvia tersenyum senang. “Eh, Do lo ingat Jessie nggak sih, itu cewek yang ngejar-ngejar lo pas kuliah. Gue ketemu dia di toko perhiasan gue. Dia minta nomor lo, belum gue kasih sih habisnya gue mau nanya dulu sama lo boleh atau nggak.” Silvia memulai obrolan lagi. “Gak usah!" tegas Aldo. “Perasaan dulu lo sempat suka juga sama dia, tapi belum sempat jadian aja,” balas Silvia sambil melirik Serly. "Wah si Maemunah benar-benar cari perkara nih," batin Danish. Dia melihat dua temannya yang masih asyik memakan brownies bakar seolah tidak peduli percakapan antar Aldo dan Silvia. "Dipikir-pikir brownies bakarnya memang enak, gue aja yang nggak terlalu suka manis udah habis beberapa potong," batin Danish yang jadi memikirkan brownies bakar. “Ngapain juga bahas masa lalu, nggak penting. Dulu gue anggap dia teman kampus doang lagi pula nggak dekat juga!” balas Aldo mulai kesal. “Oh teman, tau nggak dia nanya apa ke gue, apa benar lo mau pisah sama istri lo?” “Dengar ya, Sil. Gue Revaldo tidak akan pernah pisah dengan Serly, istri gue!!!" bentak Aldo menatap tajam Silvia. Wanita itu jadi ketakutan karenanya, tidak menyangka reaksi Aldo akan seperti ini. “Lo sih Sil, nyari masalah,” bisik Danish. “Gue mana tau, dulu 'kan Aldo benci banget sama Serly. Gue kira bakalan Serly yang ngamuk dengar percakapan kita. Eh, malah si Aldo. Gue takut dipecat jadi sahabatnya nih." “Lo harus tau benci itu bisa jadi bucin." Untuk beberapa saat lima sekawan yang duduk di sofa ruang rawat hanya terdiam. Silvia mulai menyibukkan diri memakan brownies yang tersisa sedikit. Lumayan, brownies yang enak bisa menetralisir ketakutannya. Serly yang dari tadi mendengar percakapan Aldo dan sahabatnya itu pun tahu bahwa suasana sedang tidak terlalu baik. Serly yang memang sudah tidak memakai infus lagi dengan leluasa melangkah menuju kulkas dan mengambil beberapa minuman dingin. “Mas Aldo sama kakak-kakak minum dulu gih,” tawar Serly sambil tersenyum lalu menaruh beberapa minuman dingin. Lima sekawan itu tersentak kaget ketika Serly sudah ada di sana dan membawa minuman dingin. Mungkin mereka terlalu fokus pada pemikiran masing-masing. “Makasih, Ser." Nathan tanpa ragu mengambil dan meminum minuman dingin yang disediakan karena ia sudah merasa haus dari tadi. “Sama-sama. Ayo Kak Silvia, Kak Danish, dan Kak Henry diminum juga." Serly menawarkan minumannya lagi. Silvia, Danish, dan Henry merasa tidak enak karena mereka tadi yang paling mengabaikan Serly. Sekarang malah perempuan itu yang berusaha mencairkan suasana yang sempat memanas di antara lima sekawan tersebut. “Mas Aldo minum juga mukanya kelihatan tegang banget loh Mas.” Serly tersenyum dan mengusap lembut rahang suaminya. Aldo yang diperlakukan seperti itu oleh istrinya tiba-tiba ekspresinya jadi melembut lalu tersenyum tipis kepada sang istri. Kemudian, Aldo mengambil minuman yang ditawarkan Serly. Silvia, Danish, dan Henry hampir tersedak minuman saat melihat ekspresi Aldo dari yang seperti ingin memangsa kawan-kawannya berubah menjadi kucing penurut, sedangkan Nathan yang melihat itu terkesan biasa saja tetap santai. Mungkin itu motto hidup Nathan tetap santai di segala kondisi. “Ini brownies beli di mana? Enak loh, gue yang bukan penggemar makanan manis aja suka." Danish ingin lebih mencairkan suasana. “Tanya istri gue, dia yang udah delivery tadi sebelum kalian datang, kalian berempat cuma bawa parsel buah, malah disuguhi brownies mahal sama istri gue." Aldo masih merasa kesal dengan sahabat-sahabatnya itu. “Mas Aldo nggak boleh gitu. Buah bagus buat kesehatan. Masih untung teman mas Aldo mau capek-capek datang jenguk aku. Kakak-kakak jangan masukkan ke hati kata-kata Mas Aldo ya. Aku senang sudah dijenguk. Kalau brownies, aku delivery di toko kue dekat dari sini. Nih di kotaknya juga ada alamatnya,” jawab Serly kepada empat sahabat Aldo. Silvia, Danish, dan Henry merasa tercubit karena niat mereka memang bukan menjenguk Serly. Danish dan Henry hanya ingin kumpul-kumpul, sedangkan Silvia hanya ingin menguji Serly. Akhirnya mereka menyesal karena Serly yang sudah berubah menjadi wanita baik dan manis malah menjamu mereka dengan brownies mahal, sedangkan mereka hanya membawa parsel buah ukuran kecil. Penyesalan memang selalu datang di akhir. “Nih, Ser gue ada voucher gratis di Wesley Store. Lo bisa milih 3 furniture yang lo suka dan itu gratis." Nathan menyerahkan voucher pada Serly. Tiga temannya yang lain hanya bisa tertegun. “Eh, tidak usah, Kak,” balas Serly. “Ambil aja ini memang niat gue mau ngasih.” Nathan niat menjenguk Serly, toh menjenguk orang yang sakit dapat pahala, siapa tahu bisa mengurangi timbangan dosa Nathan yang sudah menumpuk. “Makasih ya, Kak.” Serly akhirnya mengambil voucher itu. “Lo memang sahabat gue." Aldo menepuk bahu Nathan. Bagaimana dengan tiga orang yang lain? Mereka semakin menciut karena tidak menyiapkan apapun. Kenapa juga si Nathan pakai pamer segala kasih voucher? “Eh, gue balik dulu ya, gue takut si kembar dan mamanya si kembar kangen gue,” pamit Nathan. “Ya sana lo balik. Hati-hati ...,” balas Aldo. “Tunggu, si kembar sama mamanya si kembar itu siapa?” tanya Silvia sedikit bingung dengan ucapan Nathan. Silvia, Danish, Henry, dan Serly mulai fokus ke Nathan. “Ya si kembar tuh anak kandung gue, mamanya si kembar ya calon istri gue,” kata Nathan sambil berlalu. “Apa!? Lo udah punya anak kembar!?” pekik Danish dan Silvia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD