11. Pengakuan

1656 Words
Jakarta 07.00AM Dering ponsel memecah keheningan di pagi hari. Aldo sedang mandi dan Serly menatap ponsel milik Aldo, melihat di layar ponsel menampilkan nama Rico. Serly kemudian mengangkat ponsel itu dengan tangan bergetar. “Halo, Aldo. Bagaimana kabar Serly, dia baik-baik saja, kan? Bagaimana kata dokter? Sekarang dia sedang apa?” tanya Rico bertubi-tubi. Serly yang sedang memegang telepon tersebut kembali menangis mendengar suara sosok yang sangat dia sayangi. Katakanlah dia sekarang menjadi cengeng, tapi ia memang tidak bisa menahan air matanya. “Om Rico ...,” lirih Serly. “Serly, sayang itu kamu, Nak? Kenapa menangis? Apa ada yang sakit? Nak, kamu baik-baik saja, kan?” Rico khawatir karena mendengar tangisan sang keponakan. “Aku baik, Om. Aku nangis karena kangen Om Rico. Gimana kabar, Om? Kapan balik ke Jakarta?” Serly berusaha berhenti menangis sembari mengusap pipinya yang sudah basah. “Syukurlah kalau kamu baik, Nak. Om baik-baik saja dan juga kangen sama kamu. Tiga hari lagi kemungkinan Om akan balik ke Jakarta." Rico kembali merasa lega. “Aldo mana, Nak?" Serly menengadah kepalanya melihat Aldo sedang menonton percakapannya dengan Om Rico. “Ada, Om, tadi dia mandi, terus sekarang dia nonton aku nangis gara-gara kangen Om Rico.” Rico terkekeh geli mendengar ucapan Serly. "Eh, Serly masih ingat Om ya, kata Aldo kamu hilang ingatan?” “Iya awalnya aku rada bingung jadi aku lupa, tapi tenang, aku selalu ingat Om Rico kok. Om Rico 'kan selalu di hati aku.” Serly memulai jurus gombalnya yang entah belajar dari mana. “Heh—apa benar ini Serly keponakan, Om?” Tidak biasanya Serly begini, yang dia tahu Serly selalu terlihat membencinya. Meskipun dulu saat Serly kecil mereka dekat. “Om kayaknya kebanyakan main di luar negeri nih jadi lupa keponakan cantiknya." “Iya deh maaf, keponakan kesayangan Om." Keponakan kesayangan panggilan itu selalu disematkan oleh Rico pada Serly di kehidupannya yang lalu. Serly hanya tersenyum mendengar hal itu. "Ternyata panggilan itu sama saja di mana pun. Om Rico cuma punya satu ponakan yaitu aku, jelas saja aku jadi ponakan kesayangan," batin Serly. “Om, kok belum tidur, di sana pasti masih jam satu, kan?" “Iya, kepikiran telepon aja.” “Om pasti rindu banget ya sama aku. Jangan rindu, itu berat, Om nggak akan kuat, biar Serly aja.” Gombal ala Dilan mulai meluncur di bibir Serly. “Hahahaha ...." Rico tak bisa menahan tawanya. "Hem ... hem." Deheman Aldo mulai terdengar oleh Serly. “Om yang punya ponsel mulai bete, nanti ngamuk lagi, sudah dulu ya. Eh, Om mau ngomong sama Mas Aldo?” bisik Serly yang masih terdengar oleh Aldo. “Sudah dulu, kamu baik-baik di sana. Titip salam saja buat suamimu.” “Siap.” Setelah panggilan berakhir Serly menatap ke arah Aldo. Cengiran ala Serly tepampang jelas di mata Aldo. “Sudah teleponannya?” tanya Aldo sambil mencubit kedua pipi Serly. “Ampunnn, Mas, pipi aku nanti kendor nih." Serly mengeluh karena pipinya sudah mulai terasa sakit. “Kayaknya kamu seneng banget, sesayang itu sama Om Rico, nggak seperti kemarin-kemarin.” Serly terdiam sejenak, lalu berkata, “Om Rico sudah ikut merawat aku dari kecil. Keluargaku satu-satunya yang masih ada sekarang, aku menyayanginya seperti aku menyayangi kedua orang tuaku. Dia melakukan segalanya untukku bahkan—ya pokoknya aku sangat menyayangi Om Rico dan ingin dia bahagia.” Hampir saja Serly mengatakan bahkan Om Rico mati sia-sia demi menyelamatkannya di kehidupan sebelumnya. “Bagaimana menurutmu tentang suamimu ini?” Serly menarik nafas terlebih dahulu. “Mas Aldo pernah bilang 'kan tidak akan pisah dariku? Tapi, aku belum tenang kalau tidak mengatakan ini, sebenarnya aku—aku menyukai Mas Aldo, bukan hanya karena ketampanan, tapi juga perhatian yang Mas berikan. Jantungku selalu berdegup kencang setiap kali berhadapan dengan Mas. Aku ingin Mas Aldo yang menjadi cintaku dan kunci kebahagiaanku di masa depan. Jadi, maukah Mas Aldo berusaha memaafkanku? Melupakan yang lalu dan memulai dari awal denganku? Dengan Serly Novianti Marcelia yang berdiri di hadapan Mas saat ini,” tutur Serly tanpa ragu. *** Siang hari yang cerah, sinar matahari memasuki kamar rawat yang sangat mewah, mungkin fasilitasnya sama dengan hotel. Terlihat dua perempuan cantik dan manis sedang menonton televisi. Tepatnya hanya satu orang yang menonton dan satu orang lain sedang sibuk dengan pemikirannya sendiri sambil menghela nafas. “Lan, aku malu,” ucap Serly pada Wulan. Gadis itu sudah lelah mendengar curhatan Serly dari beberapa jam yang lalu, hanya mengulang cerita yang sama dan kata-kata malu sudah sekian kali terucap. “Gak ada yang salah mengungkapkan perasaan ke suami sendiri. Bukan suami orang lain ini,” balas Wulan. “Bukannya terlalu cepat, nanti dia pikir aku nggak serius, Aku buruk di mata dia sudah tiga tahun, Lan.” “Yang penting kamu seterusnya tunjukkan rasa suka kamu ke dia. Pasti lama-lama dia percaya. Toh, sepertinya dia juga suka kamu yang sekarang.” “Hehehe, makasih ya Lan mau jadi teman curhatku." Serly kemudian memeluk Wulan. “Serly, kamu berubah banget ya, mungkin kalau kamu yang dulu aku nggak berani manggil nama kamu langsung kayak begini. Anehnya sejak kemarin aku ngerasa udah lama dekat sama kamu. Ada lagi yang aneh, kamu hilang ingatan, tapi ingat aku yang notabene sama sekali nggak dekat sama kamu." “Entahlah aku juga bingung,” jawab Serly. Bagaimanapun dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. "Selamanya kamu akan jadi sahabat sejati aku Wulan," batin Serly. Setelah Wulan mengatakan kalau dia merasa dekat dengan Serly. Serly jadi teringat tentang mimpinya kemarin malam. *** Alam mimpi “Eh, ini di mana?” Serly memandang hamparan rumput luas di depannya lalu dari kejauhan ada sebuah pohon besar. Serly menuju ke arah pohon itu karena merasa ada seseorang di sana. Tampak seorang wanita yang berpakaian sama dengannya, dress putih sampai mata kaki. Namun, yang lebih mengejutkan adalah wajah wanita itu mirip dengannya. Bukan hanya mirip, tapi sama persis. Serly mendekati wanita tersebut, lalu wanita itu menampilkan senyum di wajahnya. “Kamu siapa? Kenapa kita bisa mirip? Atau jangan-jangan kamu Serly di kehidupan ini?” “Aku tidak bisa menjelaskannya panjang lebar, tapi dulu iya aku jiwa Serly di kehidupan ini. Namun, sekarang jiwa aku dan kamu sudah menyatu. Kamu bisa memanggilku Marcelia agar nama panggilan kita tak sama," jelas Marcelia. “Oke, Marcelia, apa yang dimaksud jiwa kita menyatu?” tanya Serly. “Aku itu kamu, kamu itu aku, jiwa kita dulu terpisah oleh dua dimensi berbeda. Kita sama-sama meninggal dalam waktu yang berdekatan dan beruntung diberi kesempatan untuk hidup kembali dengan jiwa kita yang menyatu. “Aku memilih kita hidup di tubuhku di kehidupan ini, dengan jiwamu yang mendominasi. Alasan jiwamu mendominasi karena di kehidupan lamamu, kamu orang yang baik, tidak sepertiku. Berharap dengan ini, aku bisa menebus dosa-dosaku kepada orang-orang yang menyayangiku. “Kita bisa berjuang untuk kebahagiaan kita di sini. Menjadi pribadi yang baru. Meski musuh kita masih ada, tapi di sini banyak orang yang menyayangi kita, mereka akan menolong kita, sedangkan di duniamu sudah tidak ada harapan kita bisa bahagia. Orang-orang yang menyayangimu telah meninggal. Hanya ada penderitaan yang kita dapat jika kita memilih di duniamu. “Ini mungkin yang pertama dan terakhir kita bertemu. Setelah ini jiwaku tidak bisa pisah dari jiwamu lagi kita benar-benar akan menyatu. Kamu bisa melihat semua memoriku di masa lalu. Betapa kasar, egois, dan tidak bermoralnya aku. Maaf kalau kita jadi tampak buruk, tapi aku yakin dengan kamu yang mendominasi, kita akan lebih baik. Dengan jiwa kita menyatu, kita bisa mulai dari awal. Kamu mengerti kan, Serly?” terang Marcelia panjang lebar. “Aku paham, tapi aku masih merasa aneh saja. Jiwa kita menyatu dan memulai hidup dari awal lagi di dunia ini, begitu 'kan intinya?" ujar Serly yang diangguki Marcelia. “Apa kamu tahu kenapa kita diberi kesempatan? Oh, mungkin ini sebuah keajaiban," tanya Serly lagi. “Salah satunya karena seseorang, dia yang ikut mengasuh kita sejak kecil. Kadang mengantar jemput kita ke sekolah atau mengajak kita bermain ke taman hiburan saat orang tua kita sibuk. Ketika aku membentaknya dia akan menasehatiku lembut dan ketika aku menuduhnya yang bukan-bukan dia tetap merawatku. “Ketika di duniamu, kamu marah mendiamkannya, dia tetap menghubungi untuk memastikan keadaanmu dan ketika kamu sudah berada di titik terendah hidupmu menjadi gila lalu akhirnya menutup mata, dia tetap melindungi dan bersamamu. Ya dia adalah om Rico kita, om Ricoku atau om Ricomu itu sama saja. Doa-doanya yang bergitu tulus untuk kita adalah salah satu hal yang membuat kita mendapat keajaiban tak ternilai seperti ini," jelas Marcelia. Serly hanya bisa menangis mendengar penuturan Marcelia. Dia tahu orang yang sangat menyayanginya menemaninya sampai akhir hidupnya adalah Rico. “Kamu sangat cengeng ternyata," ucap Marcelia sembari terisak. “Bukankah kamu juga cengeng, kamu juga menangis," balas Serly. "Apa Om Rico di sini akan mengingatku di kehidupan yang lama?” tanya Serly lagi. “Mungkin, tapi bisa jadi hanya alam bawah sadarnya yang mengingatmu di kehidupan dulu. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan," balas Marcelia. “Semoga Om Rico tidak mengingat keburukanku dulu. Apalagi saat Om Rico kurang merestui hubunganku dengan lelaki b***t itu dan ingin menjodohkanku dengan yang lain. Lalu, aku malah marah kemudian mendiamkannya. Itu salah satu hal terbodoh yang pernah aku lakukan," harap Serly. “Kamu tau saat itu Om Rico ingin menjodohkanmu dengan siapa? Dia adalah Revaldo," ungkap Marcelia. “Huh, aku sudah mengira, tapi mendengar langsung darimu, aku jadi semakin menyesal. Aku seperti melewatkan kesempatan emas dan lebih memilih malapetaka," jelas Serly. “Kamu juga terdengar sedang menyindirku, Ser." “Ups—sorry ....” “Serly, kita harus kejar apa yang kita inginkan, sayangi orang yang menyayangi kita, dan lindungi apa yang kita punya," ujar Marcelia. “Pasti! Kita tidak boleh salah langkah seperti dulu, ini untuk kebahagiaan kita di kehidupan baru!" tegas Serly. “Ser, aku tidak bisa berlama-lama, aku harus pergi—maksudku menyatu dengan jiwamu, memoriku akan menjadi memorimu, kamu tidak akan menjadi wanita hilang ingatan lagi." pamit Marcelia. Serly terbangun dari tidurnya bertepatan ponsel Aldo berdering.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD