3. penjelasan

1063 Words
Ninja merah itu berhenti tepat didepan gerbang warna emas. Sherina segera turun dari boncengan, keningnya berkerut sedari tadi. “Kok lo bisa tau kost gue sih?” tanyanya penasaran. Vasco tersenyum manis. “Aku-kamu.” Sherina menggeram kesal. “Ya, kenapa lo—kamu bisa tau kostku? Tempat kerjaku? Kamu ngintilin aku?” “Kamu kan pacarku. Apapun tentang kamu, aku wajib tau dong.” Jawabnya dengan sangat percaya diri. Sherina memijat pelipis, sangat bingung menghadapi cowok berstatus pelajar yang kini ada didepannya ini. “Denger, ya. Kita nggak pacaran. Aku bukan pacar kamu.” Jelasnya dengan sedikit emosi. “Semalam kan aku udah bilang. Kamu milikku, aku milikmu. Itu artinya kita ini pacaran. Kita sepasang kekasih.” Jawab Vasco masih dengan senyumannya. Sherina menahaan amarah dengan sedikit geraman. “Vasco, denger ya. Pacaran itu didasari oleh perasaan yang sama, bukan karna paksaan aja.” “Kita kan semalam udah ciuman. Kamu lupa?” tanya Vasco mengingatkan. Sherina mengeratkan gigi, celikukan ke kanan kiri, akan sangat malu kalo sampai ada yang mendengarnya. “Vasco, pliis ... Kamu yang lakuin itu tanpa ijin. Kita bukan pasangan kekasih hanya karna udah ciuman!” tekan Sherina kesal. “Jadi ... kamu udah sering ciuman sama cowok?” Sherina memejamkan mata. “Enggak!” menghentakkan kaki untuk menunjukkan betapa kesalnya dia. “Yaudah, kan. Kamu itu sekarang pacarku.” “Vasco ....” Vasco turun dari atas motor, nyelonong membuka pintu gerbang. Menatap kost bertingkat yang menjadi tempat tinggal Sherina selama kurang lebih dua tahun. Ada banyak jemuran yang tersampir didepan kamar kost. Tanpa menunggu Sherina, Vasco melangkah menaiki tangga, lalu duduk dikursi depan kamar 21. Lagi-lagi mata bulat Sherina melotot. “Kenapa kamu bisa tau kamarku sih? Aneh.” Tak terlalu memikirkan itu, Sherina memilih membuka pintu, lalu masuk, menaruh tasnya diatas meja. Melepas sepatu dan mengganti bajunya. “Yaang ... haus.” Teriak Vasco yang ada diluar kamarnya. Kembali Sherina menggeram tertahan. Mengambil gelas dan menuang air dari galon. Lalu membawa gelas itu keluar. Menyodorkan tepat diwajah Vasco. “Makasih, sayang.” Nyengir, meraih gelas itu dan meneguknya hingga tandas. Sherina menerima gelas kosong itu kembali. “Kamu nggak mau pulang?” Vasco mendongak, menatap Sherina yang berdiri diambang pintu. “Kok ngusir sih, yaang?” Sherina memijat pelipis, kepala terasa nyut-nyutan mendengar Vasco memanggilnya begitu. “Aku ngantuk. Mau tidur.” Vasco cemberut. “Padahal aku pengen ngobrol banyak sama kamu. Tapi, yaudahlah. Kasihan kamu.” Cowok tampan itu beranjak dari duduknya. Dengan cepat mendaratkan kecupan singkat dibibir manyun Sherina. Lalu mengacak rambut wanita yang melotot itu. “Med istirahat, sayang. Sampai ketemu besok.” Tak bisa berkata apapun, Sherina hanya terpaku dengan jantung yang berdebar tak menentu. Sementara Vasco sudah melangkah menuruni tangga. Mendongak keatas, tersenyum menatap Sherina sebelum akhirnya ninja merah itu melesat pergi. “Oh, astaga ....” Sherina memegangi bibirnya yang masih ada sedikit saliva milik Vasco tadi. “Salah apa yang udah gue lakuin? Sampai gue harus ketemu sama cowok sinting begitu. Huufft ....” Masuk kedalam kamar, menutup pintu dan merebahkan tubuh ke atas tempat tidur. Nggak perlu nunggu lama, mata bulat itu langsung merem, pergi ke alam mimpi. ** Ddrtt ... ddrtt .... Dering ponsel terdengar memekakkan telinga, si pemilik ponsel seperti tuli. Membiarkan ponsel itu terus berkedip, memilih tetap melanjutkan meremnya. Namun, lama-kelamaan ia terusik juga. Dengan mata teerpejam, Sherina meraih benda pipih bersoftcase ungu tua. Menyipitkan mata, menggeser tombol berwarna hijau. “Hallo,” sapanya pada si penelfon. “Yaang, aku udah didepan.” Suara yang kini menjadi momok untuk Sherina. Mata yang tadi masih enggan untuk melek, kini sudah terbuka lebar. Menatap layar ponsel yang menampilkan nomor baru dengan foto lelaki tampan nangkring diatas motor gede berwarna merah. “Vasco,” lirih Sherina berucap. “Iya, sayang. Ini aku, buruan turun. Kita dinner diluar.” Tanpa menunggu jawaban Sherina, Vasco mematikan telfonnya. Sherina mengerjap beberapa kali. Masih duduk bersila diatas tempat tidur. Antara percaya dan tidak, kembali ia menatap ponselnya. Membuka panggilan masuk, memang ada nomor baru dengan foto profil wajah Vasco. Segera ia turun dari atas tempat tidur, membuka pintu kamar dan menatap kebawah, tepatnya luar gerbang. Cowok tampan yang nangkring diatas motor gede itu tersenyum sambil melambaikan tangan. Memberi isyarat agar Sherina segera turun. Tak ingin berteriak, Sherina memilih mengetik pesan dan mengirimkan ke nomor Vasco. [aku mandi bentar] Tanpa nunggu respon atau balasan dari Vasco, ia segera masuk ke kamar dan masuk ke kamar mandi. Dengan waktu 15 menit, ia keluar kamar. Kaos polos lengan pendek yang ia tutupi jaket jeans warna navy, berpadu celana jeasn blue light panjang. Sherina selalu terlihat mempesona dengan kuncir kuda serta poni yang hampir menutupi matanya. Wajah cemberut yang sama sekali tak ramah itu berdiri tepat disamping motor Vasco. “Mau kemana?” tanyanya yang tanpa basa-basi. “Yuk, naik.” Ajaknya. “Mau kemana dulu.” “Kita dinner.” Jawab Vasco, mulai menyalakan mesin motor. Sherina memajukan bibirnya. “Enggak, ah. Ini tanggal tua. Mending masak mie goreng aja.” Tangannya ditarik saat hendak kembali masuk ke dalam kost. “Yaang, aku belum makan dari siang, lho. Kamu nggak kasian?” “Hah?!” wajah cengo penuh keheranan itu terlihat aneh. “Lalu, apa hubungannya sama aku?” “Aku pengen makan ditemani kamu. Yuuk, makan.” Ajaknya sedikit memohon. Bahkan masih ngegondeli tangan Sherina. Sherina membuang nafas kasar melalui mulut. “Vasco, dengar ya! Sekali lagi aku bilang. Kita ini nggak ada hubungan apapun. Apapun yang mau kamu lakuin, itu bukan urusan aku. Kamu amu makan atau enggak, itu nggak penting buat aku. Jadi ... whatever!” Wajah tampan yang tadi berseri itu berubah masam. Ada raut kecewa disana. “Apa arinya kamu narik tanganku malam itu? Bukankah kamu lakuin itu karna nggak mau kehilangan aku? Kamu lakuin itu karna anggap aku ini penting kan?” Sherina melotot, menarik nafas dalam untuk memulai sebuah penjelasan. “Denger ya! Aku lakuin itu murni karena kemanusiaan aja. Andai yang mau nyebur malam itu bukan kamu, aku akan tetap lakuin hal yang sama. aku nggak cinta sama kamu, aku nggak sayang sama kamu. Semua ini murni rasa kemanusiaan aja.” Tuturnya dengan emosi yang meletup, itu sudah berusaha ia reda agar tangannya tak sampai memukul kepala Vasco. Vasco tersenyum miring. “Ternyata semua orang itu sama aja. Nggak ada yang sayang sama aku.” Tak menatap Sherina lagi. Cowok berambut pirang itu membleyer motor cukup keras, lalu melajukan motor meninggalkan kost Sherina. Seharusnya Sherina merasa senang, karna ia kembali bisa menghirup udara bebas. Sayangnya direlung hatinya ada perasaan lain yang sangat mengganggu. Merasa takut jika Vasco akan kembali berbuat sesuatu yang nekat. “Biarin lah. Bukan urusan gue! Terserah dia mau mati ato hidup. Itu nggaka kan berpengaruh dihidup gue!” wanita manis ini kembali masuk ke gerbang. Langkahnya terhenti tepat dianak tangga, mengingat wajah tampan yang penuh dengan kekecewaan karna ucapannya tadi. “Aargg! Dasar setan!” Akhirnya ia berlari keluar dari gerbang kost.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD