Bab 3

1088 Words
"Fay-" "Nggak papa, aku nggak papa," Faya menghindar. Gadis itu menolak uluran tangan Gema. Tangan Gema yang awalnya ingin menyentuh tangan Faya kini melayang di udara dengan bebas, "bangun! gue anterin ke UKS." "Gue nggak papa, Gem." "Bangun! atau gue gendong," pekik Gema yang tengah frustasi dengan sikap keras kepala Faya. "Sungguh, gue nggak papa," "Kalau lo nggak papa, berhenti nangis!" "Gue nggak papa, hiks.." "Tsk!" decak Gema dengan perasaan kesal dihatinya, "terserah lo. Gue pergi!" Gema meninggalkan Faya, dia tidak habis pikir dengan tingkah laku Faya yang aneh. Berada di gudang ini sendirian? yang benar saja, apa dia tidak tau jika hantu itu benar-benar ada? Ah, ini mungkin terdengar klasik. namun memang benar, gudang penyimpanan alat-alat olahraga itu menyimpan cerita mistik tersendiri. "Gem, tunggu gue," Rizal yang sedari tadi hanya diam kini menyusul Gema. Sementara Faya menatap kosong kepergian Gema. Biarkan semua orang pergi, karena yang tulus akan tetap tinggal sekalipun dia berkata baik-baik saja. Selang beberapa menit, masih dengan posisi yang sama. Faya mendengar seseorang memanggil namanya. Suara yang sangat familiar di telinganya. Suara yang dulu setiap malam, menyanyikan lagu pengantar tidur untuknya. Dan suara yang selalu ia rindukan. Jadi betapa bersyukurnya dia saat mendengar suara itu sekarang. Apalagi pemilik suara itu kini berada di hadapannya. Dan lihatlah? Sekalipun disakiti, Faya masih saja rindu dan ah, cinta memang memusingkan. "Lo nggak papa?" "Fay, lo nggak papa kan?" Faya diam. Mungkin dengan diam dia akan mendengarkan suara itu lebih lama, pikirnya. "Fay, lo nggak papa kan?" "Bilang lo nggak papa Fay," "atau ada yang sakit?" "Kasih tau gue Fay," "Faya!" Dan benar saja, rentetan kalimat itu. Raut wajah yang khawatir itu. Sukses membuat Faya tersenyum diam-diam. Hatinya menghangat dan tenang. Fakta jika Ari mengkhawatirkannya sudah membuatnya senang. Ari? Iya. Pemilik suara itu, lelaki yang kini ada di hadapan Faya itu Arizona. Dia berlari dengan cepat saat tau Faya menangis di gudang olahraga. Sehingga membuat kedua temannya, Rizal dan Gema yang memberi taunya terheran-heran. Dan kini senyum Faya tak lagi diam-diam, senyum itu merekah seperti bunga. Membuat Arizona menghela nafas lega. "Ari.." lirih, namun masih bisa didengar Arizona. Mendengar hal itu, raut wajah Arizona berubah. Jika tadi malaikat mungkin tengah memberikan aura positif. Maka sekarang, yang bekerja adalah setan. Wajah Arizona seperti diselimuti aura hitam. Dia mundur, memperjauh jaraknya dan Faya. Melihat perubahan itu, Faya tersenyum miris. Jangan harap hatinya masih senang, kini hati itu remuk. Tampaknya, Ari yang dulu sudah pergi. Dengan berat hati, Faya bangkit dari duduknya. Pergi adalah jawaban terbaik dari pada ia harus disini namun hatinya semakin sakit. Saat beberapa langkah, gadis itu merasakan lengan bajunya ditarik oleh Arizona. "Mau kemana?" suara yang tadinya penuh kekhawatiran kini berubah menjadi dingin. Dingin sekali. "Kelas, Miska akan marah besar jika tau kita berdua seperti ini." Ucap Faya. Faya membalikkan tubuhnya, membelakangi Arizona. Tangisnya pecah. Dengan cepat ia berlari keluar, meninggalkan Arizona yang masih sibuk dengan pikirannya. Sebenarnya bukan menjadi masalah besar jika Miska marah. Dari dulu faya tidak perduli dengan sikap Miska yang menyiksanya. Namun jika sudah berhubungan dengan Ari, mana bisa itu tidak menjadi masalah besar untuknya? Seperti siang ini, jika semua menganggap Faya menangis sesenggukkan, karena kejadian seragam itu. Maka kalian salah. Tadi, sepeninggal Miska, Faya menuju kamar mandi. Berniat untuk mengganti seragamnya dengan baju olahraga. Namun niatnya terhenti, saat melihat Miska dan Ari di ujung koridor, tepat di depan kamar mandi cewek. Faya pun memutuskan untuk bersembunyi dibalik dinding. Koridor yang lengang membuatnya bisa mendengar dengan jelas percakapan mereka berdua. "Sayang, malam ini akan menjadi malam special untuk kita. Jadi kamu datang ya," "Datang kemana?" "Mama dan Papa mengadakan pesta, kamu datang ya, plis!" "Pesta apa?" "Aniversary wediing gitu deh," "Kalau nggak sibuk, aku datang." "Ah kamu selalu ada alasan kalau diajak ke pesta! Sekali ini saja yang, plis." "Aku tidak janji." "Yasudah terserah, Sayang aku denger gosip, katanya kamu sama Faya itu sahabatan ya?" "Ha..aku Faya sahabatan? Nggak... mungkin..lah." "Iya juga sih, mana mau kamu temenan sama anak p*****r kayak dia." "hehe..iy..yaa.." Mendengar hal itu, hati Faya sakit. Sakit sekali. Bahkan sakitnya masih bisa ia kenang sampai sekarang. Dan sekarang air matanya jatuh dengan deras. Faya pikir, Ari bisa seperti dulu. Faya pikir, Ari akan memaafkannya. Faya pikir, Ari hanya butuh waktu untuk menerima kenyataan tentang dirinya. Tapi pikiran Faya itu tidak benar. Ari tidak hanya membencinya, tapi juga melupakan kenangan tentang mereka. Faya terlalu larut dengan tangisnya. Hingga dia tak menyadari, seseorang tengah berdiri di hadapannya. "Hobi lo nangis ya?" Faya mendongak, orang itu Gema. Sudah dua kali. Satu kali lagi, maka Gema akan mendapatkan piring cantik karena selalu menganggu khusyuk nya tangisan Faya. Faya menghapus air matanya dengan sebal, "bukan urusan lo." "Emang bukan, tapi gue nggak suka liat cewek nangis." "Bukan urusan gue," "Terserah! Terserah lo deh Faya!" Gema berteriak, wajahnya sudah memerah menahan sebal. "Ngapain kalian disini?" Suara Arizona membuat keduanya terdiam. "Pacaran, emang lo doang yang bisa pacaran?" Ucap Gema yang membuat Arizona kaget. Faya menunduk, tangannya ia genggam erat, dalam hati ia sudah mengumpat ucapan Gema. "Seri-us lo?" Ucap Arizona. Wajah yang tadinya kaget, kini berubah menjadi datar. "Bohong, udah yuk Ar balik ke kelas," tangan Gema merangkul bahu Arizona. Perbincangan ini harus di sudahi, sebelum Gema semakin ngelantur. Arizona tidak menolak, pikirannya masih belum bisa bekerja dengan baik. Sebenarnya Faya dan Gema pacaran atau tidak sih? Sungguh ini sangat menganggu pikirannya. Ia ingin bertanya namun, harga dirinya itu loh, tinggi sekali. "Gema.." suara Faya mengehentikan langkah keduanya. Gema berbalik, menatap malas Faya, alisnya ia tautkan seolah bertanya "ada apa?" "Ehm.. nanti kita.. jadi pulang bareng kan Say..ang?" Diam. Entah Gema atu Arizona, belum ada yang bereaksi mendengar ucapan Faya. Wajah Faya memerah, dia merutuki tindakannya barusan. Apa yang ada dalam pikirannya sekarang? Apa dia tidak berpikir jernih? Atau pikirannya terlalu dirasuki oleh hitamnya nafsu? Sepertinya, kini batin Faya mengucapkan istighfar berkali-kali. "Hhm..ya" Setelah mengucapkan itu, Gema pergi. Arizona masih terdiam. Faya pun memutuskan untuk pergi. Namun suara dingin Arizona menghentikan langkahnya. "Putusin!" "Putusin Gema Fay!" "Kenapa?" "Gue tau banget Gema, sampai sekarang, dia masih cinta sama mantan nya," "dan kemungkinan besar, lo cuma dimainin sama Gema." "Sok tau!" "Gue perduli lo Fay." "Kenapa?" "Kita temen kan?" Tawa Faya pecah, cowok di hadapannya ini labil sekali. Tadi bilang dia bukan temannya, sekarang? Sok perduli. "Bukannya lo nggak mau punya temen anak p*****r?" Arizona terdiam. Wajahnya pucat, entah kenapa. Faya pun berlari. Dari tadi, sudah sebaiknya dia pergi. Bukannya malah tetap tinggal dan membuat kebohongan yang gila macam itu. Tbc Setelah membaca part ini bagaimana tanggapan kalian tentang sifat Faya? Atau hati faya? Atau hidup Faya? Thanks
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD