1. On a Snowy December Night (1)
Chapter 1 :
On a Snowy December Night (1)
******
ADA beberapa mitos yang beredar di masyarakat tentang turunnya salju pertama. Di Korea Selatan, kau akan mendengar beberapa mitos. Mitos yang pertama adalah jika kau membuat permohonan saat salju pertama turun, maka permohonanmu akan menjadi kenyataan. Mitos yang kedua adalah jika kau menyaksikan salju pertama bersama dengan orang yang kau sukai atau bersama pasanganmu, maka cinta sejati akan bersemi di antara kalian berdua dan hubungan kalian akan bertahan lama. Nah, mitos yang ketiga ini cukup mampu untuk membuatmu menjadi penerka andal, soalnya isi mitosnya adalah: untuk menemukan cinta pertama, seseorang harus mengecat kukunya dengan warna merah bunga balsam. Namun, bukan hanya mengecat saja, melainkan harus bisa mempertahankan warna merah tersebut hingga salju pertama turun. Kalau warnanya tidak memudar, itu adalah pertanda bahwa kau akan bertemu dengan cinta pertamamu. Menarik, bukan?
Akan tetapi, mitos yang beredar di Jepang tidak seindah itu. Di sana, mitosnya tidak berkaitan dengan cinta. Salju pertama adalah pertanda bahwa musim dingin telah tiba dan kalau di Jepang, ini menandakan kehadiran Yuki Onna. Yuki Onna atau hantu salju sendiri digambarkan sebagai seorang wanita cantik yang berambut hitam kelam, berkulit seputih salju, memiliki tatapan mata yang kelam, dan berkimono putih. Yuki Onna diceritakan akan selalu muncul disaat terjadinya badai salju. Ketika berjalan, ia tidak akan meninggalkan jejak kaki sama sekali. Jika kau tumbuh besar dengan memercayai mitos yang satu ini, kau jelas takkan mau menanti salju pertama. Kau bahkan takkan mau keluar rumah saat musim dingin tiba.
Terkait dengan mitos-mitos tersebut, Kanna Inori memilih untuk berada di posisi netral. Dia tidak begitu percaya dan tidak juga menyangkalnya seratus persen. Dia memilih untuk berada di tengah-tengah sebab bisa jadi salah satunya merupakan kebenaran. Jika salah satunya terbukti benar, maka Kanna bisa mengambil keuntungan dari sana. Namun, untuk mitos yang dari Jepang, mungkin tidak dulu, deh. Jangan sampai mitos Yuki Onna jadi kenyataan.
Jadi, saat ini Kanna sedang berjalan pulang dari kantor. Ini sudah jam delapan malam dan seluruh tubuhnya terasa pegal-pegal. Di penghujung tahun seperti ini, orang-orang biasanya sudah memiliki rencana akan pergi liburan ke mana, bersama siapa, dan lain-lain, tetapi di sinilah Kanna, masih berkutat dengan pekerjaan dan malah lembur hingga jam delapan malam untuk mempersiapkan presentasi milik atasannya. Dia sampai makan malam di kantor dengan memesan makanan delivery. Namun, Kanna tak bisa protes sebab dia hanyalah seorang admin biasa di kantornya. Untungnya, gaji dari perusahaan tersebut masih sesuai untuk biaya hidup Kanna sehingga untuk saat ini Kanna masih bisa bekerja dengan baik.
Saat keluar dari pintu putar perusahaannya, Kanna mendapati bahwa di luar sedang turun salju. Sebenarnya, ini bukan salju pertama, tetapi karena Naomi dan Lee sibuk membicarakan tentang mitos-mitos salju pertama saat jam makan siang tadi, Kanna jadi kepikiran soal salju pertama tatkala melihat cuaca di luar. Sebetulnya, di negara tempat Kanna tinggal, bulan Desember identik dengan musim dingin atau salju, jadi ini sudah masuk dalam ekspektasi semua orang. Kanna pun membuka payungnya, lalu pulang dengan berjalan kaki. Untungnya, apartemen Kanna tidak jauh dari sini. Cuaca dingin itu membuat napas Kanna terlihat seakan-akan berasap.
Kanna lelah minta ampun. Lehernya terasa pegal, tetapi bukannya memijat lehernya sendiri, Kanna justru menggosok kedua tangannya, berusaha untuk mengurangi rasa dingin yang dengan cepat menyerang seluruh tubuhnya. Dia malah tidak mengenakan mantel sama sekali karena merasa bahwa rumahnya tidak jauh. Cukup bodoh, memang, mengingat dia hanya memakai rok hitam selutut, kemeja putih, jas hitam, stocking, dan sepatu kerjanya yang juga berwarna hitam. Tentu saja, rasa dinginnya akan merambat ke seluruh tubuh dan menembus hingga ke tulang.
Di dalam perjalanan pergi atau pulangnya dari kantor, Kanna biasanya akan melewati sebuah taman. Taman itu berupa tanah yang lumayan lapang dan segala sisinya diberi pagar (kecuali sedikit gap di bagian depan yang digunakan sebagai ‘pintu’ masuknya). Di dalam taman itu ada dua buah kursi panjang yang memiliki sandaran, sebuah ayunan, dua buah jungkat-jungkit, dua buah perosotan, dan satu kotak pasir. Kalau Kanna pulang di jam normal, yaitu jam lima sore, biasanya masih ada anak-anak yang bermain di sana. Terkadang ditemani oleh ibunya, terkadang juga hanya bermain bersama teman-teman mereka. Jujur, Kanna terkadang juga duduk-duduk di kursi taman itu atau duduk di ayunannya jika sedang bersedih atau hanya sedang ingin rileks sejenak, tetapi biasanya ia akan memilih momen di mana taman itu sedang sepi.
Malam ini pun ia melewati rute yang seperti biasa. Dia melewati jalanan kecil kompleks perumahan dan tatkala belok ke kiri dari pertigaan, ia akan langsung menemukan taman itu di sebelah kanannya. Taman itu tidak dibiarkan gelap; saat malam hari, lampu-lampu bertiang di taman tersebut akan menyala.
Kanna kira, taman itu akan benar-benar kosong karena ini sudah jam delapan malam. Namun, tatkala ia menoleh ke kanan—ke area taman itu—yang ia lihat justru di luar ekspektasinya.
Ada seseorang di taman itu.
Kanna sedikit melebarkan mata. Dia sejujurnya agak kaget dengan eksistensi orang itu. Malam ini cuacanya dingin. Bersalju. Apa yang orang itu lakukan di sana?
Orang itu agaknya laki-laki. Dia duduk di salah satu kursi taman yang panjang; dia duduk di bagian tengahnya. Laki-laki itu memakai pakaian yang sekilas terlihat seperti piama. Seperti sepasang piama berwarna putih yang beberapa bagiannya terlihat kotor. Rambut laki-laki itu pun berwarna…putih? Sebentar, dia terlihat masih muda. Apa rambutnya di-bleaching?
Pemuda itu tampak hanya duduk diam dengan kepala yang tertunduk. Ia agaknya tidak peduli dengan rasa dingin, tidak peduli dengan dunia sekitar, bahkan tidak peduli dengan dirinya sendiri.
Ia terlihat menyedihkan.
Mungkin itulah sebabnya Kanna jadi sedikit iba. Sebenarnya, Kanna tahu bahwa setiap orang memiliki hari buruknya masing-masing, tetapi entah mengapa kali ini Kanna benar-benar iba. Orang itu sepertinya memerlukan bantuan.
Kanna pun berhenti sejenak. Dia hanya berdiri dan memperhatikan pemuda itu dari jauh, melihatnya dengan saksama selama kurang lebih tiga detik, sebelum akhirnya dia memantapkan dirinya untuk menghampiri pemuda itu.
Kanna akhirnya melangkah masuk ke area taman tersebut. Dia terus menatap pemuda itu dan ia sadar bahwa pemuda itu bahkan tidak menyadari kehadirannya. Mungkin sampai-sampai tidak mendengar langkah kakinya karena memikirkan hal lain…atau semacam itu. Tatkala Kanna sudah benar-benar berdiri tepat di hadapan pemuda itu—hanya berjarak sekitar tiga langkah—Kanna bisa melihat dengan jelas kulit pemuda itu yang putih pucat. Jemarinya tampak mulai membiru karena kedinginan. Ketika dilihat dari dekat seperti ini, ternyata tubuh pemuda itu lebih kurus daripada apa yang Kanna duga. Pemuda itu terlihat tidak berdaya. Lemas dan kehilangan harapan.
Akhirnya, Kanna mencoba untuk mengeluarkan suaranya.
“Anu… Apakah kau baik-baik saja?”
Kanna menunggu reaksi dari pemuda itu seraya meneguk ludah. Ia lalu menatap pemuda itu dengan prihatin; alisnya menyatu.
Sekitar dua detik kemudian, Kanna pun melihat ada reaksi dari pemuda itu. Ada pergerakan. Pemuda itu perlahan mengangkat wajahnya. Pelan-pelan, kepala pemuda itu pun berada dalam posisi tegak; Kanna kini dapat melihat sepasang mata pemuda itu yang sudah menatap balik ke arahnya.
Pemuda itu memiliki sepasang mata indah yang berwarna mint. Warnanya terang seperti neon, tetapi seolah kehilangan binarnya. Warnanya terang, tetapi entah mengapa tidak memperlihatkan binar sama sekali. Dull. Wajah pemuda itu terlihat tampan, tetapi pucat. Tidak memiliki rona. Dia seperti orang mati yang masih bernapas.
Melihat keadaan pemuda itu, Kanna pun mulai berinisiatif untuk berjalan pelan-pelan ke arah pemuda tersebut, semakin mendekatinya. Tatkala sudah sangat dekat, Kanna pun merundukkan tubuhnya dan memayungi pemuda itu. Membagi payung itu untuk kepala mereka berdua. Kanna menatap wajah pemuda itu yang kini jadi semakin dekat dengan wajahnya; pemuda itu ikut mendongak tatkala melihat Kanna mendekat.
Lagi-lagi, dengan hati-hati, Kanna pun kembali berucap, “Di…rumahku…ada makanan dan minuman hangat. Apakah kau mau mampir sebentar?”
Di luar dugaan, pemuda itu melebarkan mata. Seolah tak percaya dengan apa yang baru saja Kanna katakan.
Selang beberapa detik, pemuda itu akhirnya bersuara.
“Apakah…boleh?” []