Senin, 28 November 2016, pukul 01.00 WIB
AKP Genta Abisatya berdiri sambil memegang sebuah payung berwarna hitam pekat di tepi sawah. Pria tinggi tegap itu tengah memandangi kondisi dua mobil yang mengalami kecelakaan di dekat sawah sambil memiringkan badannya.
Hujan kini tersisa rintik-rintik. Genta sedang sibuk mengamati dengan tajam kondisi di sekitar mobil sedan silver metalik yang tergelincir di depannya selama beberapa saat, ketika salah satu bawahannya di kepolisian mendatanginya dari belakang dengan tergopoh-gopoh.
"Komandan, lo langsung ngebut ke sini tadi dari Semarang?" tanya pria berusia sekitar tiga puluhan tahun tersebut kepada Genta sambil memegang beberapa lembar foto di tangannya.
Genta tidak menjawab pertanyaan bawahannya itu dan terus mengamati mobil tersebut dengan dahi berkerut.
"Pegang ini," ujarnya mendadak kepada Danu, rekannya di Bareskrim Mabes Polri Jakarta sambil menyerahkan payung miliknya.
Dengan bingung, Danu segera mengambil payung tersebut dari tangan Genta dan langsung mengamati tingkah laku Genta yang menggulung ke atas celana jeans-nya hingga selutut.
Perlahan, Genta bergerak turun dari tepi jalan ke bagian sawah yang basah oleh lumpur, sambil berusaha menghindari outline tape sketsa tubuh pemilik sedan yang baru diangkat petugas forensik. Pria itu lalu melangkah pelan di genangan lumpur sawah.
Di bagian pintu depan mobil, ia berhenti sesaat untuk mengambil sarung tangan karet tipis dari saku jaketnya dan kemudian langsung mengenakannya. Setelah itu, Genta pun membuka pintu jok pengemudi dan membungkuk ke dalam untuk melihat bagian dashboard. Pria itu langsung dapat mencium aroma parfum mobil yang sangat menyengat menyeruak dari dalamnya.
"EDR mobil ini enggak ada?" tanya Genta setengah berteriak ke arah Danu sambil menggosok ujung hidungnya. EDR merupakan event data recorders, serupa black box atau kotak hitam untuk mobil Eropa kebanyakan.
"Enggak ada. Kamera apa pun juga enggak ada," jawab Danu.
"Posisi pintu yang terbuka tadi cuma di bagian pengemudi?" tanya Genta lagi.
Danu mengangguk ke arah Genta. "Sesuai informasi yang tadi gue kasih dari telepon, Komandan. Mendiang Pak Tjahya Goh ini sendirian. Mayat terduga pelaku juga ditemukan hanya satu di sini."
"Lalu ke mana koper uangnya?" tanya Genta sambil memandang ke arah jok belakang dari posisinya yang membungkuk di deret kursi terdepan.
"Kepolisian setempat tadi bilang bahwa ketika ditemukan, koper uang yang dimaksud sudah tidak ada di bagasi mobil," jawab Danu dengan sedikit terlihat heran. "Kemungkinan kopernya diambil rekan pelaku yang kabur lebih dahulu."
"Menurut istrinya,"---kata Genda sambil membuka pintu jok kedua---"Pak Tjahya membeli satu koper sore tadi. Uang berisi 25 miliar hanya muat di koper sebesar 32 inch ke atas. Bagasi belakang tidak akan muat untuk meletakkan koper itu. Dia pasti memasukkannya secara miring di jok kedua,"
"Kalau begitu, siapa pun yang mengambilnya akan susah menggunakan motor karena akan terlihat mencolok," ucap Danu lagi seperti sedang menggumam kepada dirinya sendiri.
"Daerah sini tidak mungkin ada CCTV," tukas Genta. "Namun berdasarkan google maps, siapa pun yang melintasi jalanan ini setidaknya akan tertangkap kamera CCTV di depan beberapa hotel dan mini market di sekitar ringroad, jalan kaliurang, jalan Monjali, atau jalan Magelang. Ini akan terjadi meski mereka masuk melalui jalan pintas dari bagian tengah. Orang sini sudah ada yang mengecek CCTV titik-titik tadi?"
Danu menggeleng. "Semua langsung fokus melacak berdasarkan identitas pelaku karena sudah mau masuk 72 jam semenjak Rana menghilang."
"Meskipun begitu, CCTV jalanan harus tetap diteliti. Jika gagal mencari komplotan atau lokasi tempat Rana disembunyikan, setidaknya ada plat kendaraan yang potensial terbaca dari CCTV."
Ucapan Genta membuat Danu langsung bergerak cepat untuk menelepon beberapa rekan mereka di kepolisian setempat. Ia langsung menginstruksikan pihak yang lain untuk segera mengecek berbagai CCTV di setiap jalanan yang potensial dilalui oleh komplotan pelaku yang sedang mereka buru.
Sementara Genta sendiri sibuk melihat kondisi jok belakang sedan mewah tersebut. Ia menggerak-gerakkan tangannya seolah sedang memperkirakan penempatan koper sebelum barang penting itu lenyap.
Rana Goh adalah putri Tjahya Goh yang merupakan pemilik grup properti raksasa, Cahyabuild dan merupakan salah satu orang terkaya di Indonesia. Rana masih berusia delapan tahun dan merupakan anak satu-satunya Tjahya Goh.
Selama puluhan tahun menikah, Tjahya tidak memiliki anak dari istri pertamanya yang sudah meninggal dunia. Setelah menikah lagi, ia kemudian memiliki Rana.
Karena itu, ketika Rana diculik di Jakarta, Jumat siang sepulang sekolah, kepolisian langsung disibukkan dengan usaha pencarian. Entah bagaimana kasus penculikan tersebut akhirnya terdengar oleh media dan isi pemberitaan media beberapa hari terakhir dipenuhi soal Rana.
Pihak penculik sendiri meminta imbalan sebesar 25 miliar rupiah dan kerap mengganti lokasi penyerahan uang dalam 48 jam terakhir, karena tahu bahwa mereka sedang dilacak oleh pihak kepolisian. Malam kemarin pihak penculik meminta penyerahan dilakukan di Semarang dan rombongan Mabes Polri pun sampai harus terbang dari Jakarta ke Semarang.
Itu makanya sepajang hari itu Genta ada di Semarang. Beberapa jam sebelumnya atau tepatnya saat sore hari, Tjahya menghilang secara misterius dan menanggalkan berbagai alat pelacak di tubuh dan mobilnya, serta telepon genggamnya sendiri.
Sepertinya, sang penculik menginstruksikan Tjahya secara untuk diam-diam pindah lokasi agar tidak bisa diikuti oleh polisi dan memberikan ponsel lain kepada Tjahya di saat polisi lengah. Media penyimpan uang yang disiapkan oleh pihak kepolisian juga diganti mendadak di tengah jalan.
Menurut catatan kartu kredit istrinya, Tjahya diketahui membeli sebuah koper di salah satu mal Semarang pukul enam sore. Itu makanya Genta tahu bahwa uang sebesar 25 miliar mereka dibawa dengan koper lain.
Sejak sore, Genta pun sudah meminta rekan-rekannya bersiaga di berbagai kota dekat Semarang, untuk mengantisipasi kemungkinan perpindahan lokasi pertukaran sekali lagi. Benar saja, lokasi terbaru penyerahan uang tebusan ternyata di Sleman, Jogja dan untungnya rekannya, Danu, sudah ada di sana beserta polisi setempat. Yang tidak diperkirakan Genta hanyalah ... Tjahya membawa senjata api di mobilnya.
Kini Genta bergerak naik lagi dari sawah ke jalanan beraspal dan menatap Danu. "Keterangan dari saksi kecelakaan sendiri tadi bagaimana?"
"Saksi adalah seorang ibu hamil muda yang tinggal di dekat sini," jawab Danu setelah mematikan panggilan teleponnya. "Polisi yang tiba lebih awal di tempat mengatakan bahwa ibu itu tidak melihat ada kendaraan atau orang lain selain dua mayat yang ada di sini. Ia pergi karena demam setelah Satlantas Polres Sleman menanyakan beberapa hal padanya, tetapi ia sempat memberikan nomor handphone-nya kepada mereka.
"Sayangnya, sepertinya karena ia terkena hujan deras dan sedang demam karena hamil muda, ibu itu tidak sadar kalau handphone-nya jatuh di tempat ia parkir sebelumnya. Jadi orang kita sedang berusaha mencari informasi dari ponselnya. Besok pagi mungkin alamatnya sudah bisa ditemukan dan yang bersangkutan sudah bisa ditanya lebih lanjut sebagai saksi."
"Itu harus dilakukan secepatnya, karena selain berkaitan dengan masalah koper uang, kita tidak tahu apa dia memiliki keterlibatan dengan komplotan penculik atau tidak," ucap Genta dengan tegas.
Danu mengangguk setuju. Baru saja ia akan mengatakan sesuatu, ponselnya kembali terdengar berdering dan pria itu segera mengangkatnya.
Genta melihat sekilas ke arah Danu yang tiba-tiba terlihat super serius akan sesuatu dan berbicara dengan intonasi suara yang meninggi. Pria itu kini sibuk menyiram kakinya dengan botol aqua besar untuk membersihkan sisa lumpur sawah di kakinya.
Danu sendiri langsung menutup teleponnya setelah selesai berbicara. Kini, ia menoleh ke arah Genta, komandannya, dengan ekspresi wajah antusias.
"Dan, kepolisian setempat sudah menemukan alamat pelaku dan bertanya kepada orang-orang terdekat pelaku di sekitar rumahnya. Sebentar lagi, mereka akan menuju tempat yang diduga sebagai lokasi Rana dan akan segera melakukan penggerebekan."
"Kita harus segera ikut ke sana," ucap Genta bereaksi cepat sambil berjalan menuju mobil sewaannya. "Ngomong-ngomong kapan mobil derek kepolisian akan mengangkut kedua mobil ini?"
"Gue rasa sebentar lagi," jawab Danu sambil melirik arloji di pergelangan tangannya.
"Pastikan mereka tidak menyentuh bagian dalam mobil saat melakukan penderekan."
"Pasti, tapi kenapa? Lo nemuin sesuatu yang mencurigakan, Dan?" tanya Danu bingung.
"Ada baret di sisi pintu kanan dalam jok kedua mobil," jawab Genta dengan raut wajah misterius. "Jika baret terlihat menjorok dari pinggir pintu ke arah dalam, maka kemungkinan itu dilakukan Pak Tjahya saat memasukkan koper ke sana. Namun, baret terlihat menjorok dari dinding bagian dalam mobil ke arah luar --- sedikit mengenai pintu dalam mobil. Karet pintu bagian kiri baris kedua mobil juga terlepas ke arah luar. Jelas tadi ada yang terburu-buru menarik keluar koper uang dari jok kedua."
"Hmmh, tapi kalau menarik paksa koper keluar, maka seharusnya akan ada jejak lumpur sawah yang tebal di jalanan --- meski juga ada genangan air di jalan akibat hujan. Koper 32 inch berisi uang sebanyak itu jelas sangat berat dan orang yang mengambilnya jika hanya satu orang, akan terpaksa menyeret koper itu di sawah dan jalanan.
"Lumpur tebal akan lama hilang meski hujan deras. Namun dalam foto TKP di sini tadi tidak ada jejak lumpur koper sama sekali di jalan," ujar Danu sambil memperlihatkan foto TKP kepada Genta yang kini berada di balik setir mobil --- tepat di sampingnya.
"Itu yang menarik ... karena pelaku penculikan seharusnya tidak akan peduli untuk meninggalkan jejak lumpur di lokasi. Kemungkinan, ada seseorang yang lain dan rapi yang menghapus jejaknya agar tidak terendus kepolisian. Kita akan selidiki ini belakangan."
________
Senin, 28 November 2016, pukul 03.00 WIB
Malam itu, sebuah rumah penggilingan padi di kaki Gunung Merapi yang telah lama ditutup, penuh dengan tim gabungan Mabes Polri dan kepolisian setempat. Basarnas dan tim medis juga sudah bersiaga --- sekitar beberapa ratus meter di belakang mereka.
Genta dan Danu telah mengenakan rompi anti pelurunya dan memegang senjata di tangan mereka masing-masing. Mereka kini bersiap di balik pagar dan mendengarkan dengan seksama setiap informasi pengepungan melalui wireless earpiece dan menunggu aba-aba dari bagian depan.
"Ada dua orang di bagian depan," ujar sebuah suara di telinga Genta. "Dua orang tersebut diduga memegang senpi atau senjata api. Tim satu harap stand by."
"Delapan enam, Komandan," jawab sebuah suara lainnya dari tim satu.
"Bagaimana visual Rana?" tanya Genta berbisik lewat microphone-nya.
"Belum terlihat," ucap suara awal menjawab pertanyaan Genta. "Kemungkinan besar Rana berada di ruangan terkunci di bagian belakang."
"Tim dua, tiga dan empat sudah stand by?" lanjut suara tadi dengan bertanya. Danu dan dua orang lainnya segera memberikan jawaban status mereka masing-masing.
"Oke, tim satu ... masuk!"
Seseorang dari tim satu kemudian melempar kaleng ke sisi kiri pintu depan yang menyebabkan munculnya suara mendenting yang berisik. Langkah kaki dari bagian dalam pun segera terdengar dan begitu pintu terdengar dibuka, suara di earpiece tadi segera memerintahkan tim dua dan tiga yang berjaga di posisi kiri dan kanan untuk masuk.
Seseorang berbadan tinggi kurus keluar dari pintu dan langsung mengangkat senjata begitu tahu bahwa itu hanyalah jebakan. Sayangnya, ia sudah terlambat. Salah seorang dari tim satu sudah melesakkan sebuah peluru ke badan pria yang mengangkat senjata laras panjang tersebut dan membuatnya jatuh seketika di tempat.
"Target satu lumpuh," ujar seseorang tim satu dari earpiece Genta.
Genta dan Danu langsung beranjak masuk ke dalam secara bersamaan begitu mendengar dua suara tembakan lainnya bergemuruh dan kaca-kaca jendela pecah di dalam.
"Satu orang kita jatuh, kena tembakan di bagian tangan," ujar suara dari seseorang di tim dua. "Tim medis, tolong segera mendekat."
Begitu Genta masuk ke dalam ruangan, sebuah tembakan kembali terjadi. Ia melihat target dua telah ditembak jatuh oleh tim tiga.
"Target dua berhasil dilumpuhkan," ujar tim tiga.
Genta dan Danu bergerak cepat menuju ke sebuah pintu yang dikunci dan berdiri menyamping. Setelah memastikan bahwa tidak ada suara apa pun dari dalamnya, di hitungan ketiga Genta, Danu langsung mendobrak pintu kayu usang tersebut.
Ia lalu mengangkat senjata dengan kedua tangannya untuk masuk dengan waspada. Genta sendiri mengikutinya dari belakang.
"Di kamar dalam clear," ujar Danu lewat michrophone-nya.
Dari posisinya, Genta melihat dengan curiga ke arah sebuah kasur kecil di lantai yang tertutup kotak kardus. Begitu berjalan mendekat, ia melihat di baliknya ada tubuh seorang gadis kecil yang tengah tergeletak di kasur tersebut.
Dengan mata terbelalak kaget, Genta pun segera menyentuhnya. Betapa terkejutnya Genta ketika merasakan bahwa tubuh gadis kecil itu mengalami demam sangat tinggi dan dalam kondisi menggigil.
"Rana berhasil ditemukan," ujar Genta perlahan sambil menarik napas panjang melalui microphone-nya. "Tim medis sangat dibutuhkan, situasi di sini darurat. Kami juga butuh tim forensik."
Begitu tim medis datang semenit kemudian untuk mengevakuasi tubuh Rana, Genta langsung memerintahkan tim yang lain mundur sementara dan tidak menyentuh apa pun di sana.
"Tim forensik sudah masuk sesuai permintaan," ujar suara awal di radio komunikasi mereka, setelah Genta meminta kehadiran tim forensik.
Setelah sekitar dua menit menyisir lokasi rumah tersebut, Danu yang baru saja keluar kamar, masuk lagi dan mendekat ke arah Genta. "Dan, hanya ada satu burner phone di depan, serta beberapa bungkus makanan dan rokok. Tidak ada identitas di tubuh pelaku ataupun koper uang yang dilaporkan hilang dari lokasi kecelakaan."
Genta mengangguk seolah sudah menduganya dan kini kembali memandang ke seluruh isi kamar. Ada beberapa bungkus makanan tidak habis di atas piring yang terletak di atas meja serta beberapa air mineral gelas.
Ia lalu mendekat ketika melihat sebuah plastik khas obat-obatan di atas meja yang sama dan segera mengenakan sarung tangan karetnya. Pria itu terdiam heran saat melihat ada beberapa obat-obatan anak di sana dan menyentuh plastik obat lainnya yang terlihat kurang familiar.
Begitu dua dari tim forensik masuk, Genta mengangkat bungkus plastik tersebut dan memperlihatkannya langsung pada tim forensik di sana. Alis matanya tampak mengernyit ketika ia meneliti lebih dekat kemasan obat tersebut bersama dua tim forensik di sana.
"Hati-hati dengan barang bukti satu ini. Obat ini akan menjadi informasi paling penting untuk saat ini," ujarnya dengan raut wajah sangat serius. "Kasus ini ... kemungkinan besar bisa menjadi kasus rekayasa dan penipuan berskala nasional."