Pertemuan

2960 Words
Senin, 28 November 2016, pukul 05.30 WIB Alexandra Goh berdiri di dalam ruang rawat inap putrinya ---Rana Goh--- dengan mata sembab bersama beberapa orang lainnya yang merupakan stafnya. Meski usianya sudah mencapai 41 tahun, wajahnya masih sangat cantik dan wanita itu bertubuh tinggi jenjang. Ia tidak mengenakan kosmetik dan penampilan mencolok sama sekali, tetapi aura yang dipancarkannya sudah cukup untuk menggambarkan bahwa ia adalah istri dari mendiang salah satu orang terkaya di Indonesia. Sebelum menikah dengan Tjahya Goh, Alexandra sendiri sudah cukup kaya dan merupakan putri dari pemilik perusahaan bisnis finansial ternama. Adik laki-lakinya --- Axel Weng --- yang berusia 38 tahun, kini merupakan pemimpin perusahaan keluarga mereka. Alexandra masih mematung di tempatnya ketika Genta dan Danu memasuki ruang rawat inap Rana. Ia hanya melirik sekilas ke arah keduanya dan kembali terdiam sambil memandangi putrinya. "Bu Alexandra, kami ingin mengajukan beberapa pertanyaan," ucap Genta kepadanya. "Tentunya ... ini hanya jika Anda sudah siap untuk memberikan keterangan tambahan kepada kami saat ini." "Kalian sudah menemukan koper uang dan pelakunya?" tanya Alexandra --- masih tidak menatap mereka. "Belum, karena itu kami---" "Belum?" potong Alexandra yang kini menoleh dan memandang Genta dengan tajam. "Suami saya meninggal dunia dan kini anak saya terbaring di sini karena sakit. Kalian bahkan belum menemukan koper uang kami dan pelakunya?!" Genta bergeming mendengar kemarahan Alexandra yang kini jelas adalah pewaris dari semua kekayaan Tjahya Goh yang senilai lebih dari lima puluh triliun rupiah. Pria itu justru menyembunyikan senyumnya karena menangkap adanya penekanan kata uang dibanding pelaku dalam kalimat Alexandra. "Kami harus menimbang beberapa kemungkinan lain dalam kasus ini," ujar Genta tenang. "Misalnya ... siapa sebenarnya orang-orang di balik komplotan ini." Kini Alexandra memandangi Genta dengan raut aneh. Ia kemudian membalikkan badannya dan berjalan pelan menuju sofa di ruang VVIP tersebut, lalu duduk sambil menyilangkan kedua kakinya. "Kalian bilang komplotan? Ada orang tertentu di balik ini?" tanya Alexandra kini dengan intonasi yang lebih hati-hati. Genta tidak segera menjawab wanita itu. Ia justru mengambil sesuatu berbungkus plastik tanda barang bukti dari sakunya dan kemudian menunjukkannya ke arah Alexandra. "Imatinib Mesylate," ujar Genta pada Alexandra yang kemudian membuat bola mata Alexandra samar-samar terlihat membesar. "Ini ditemukan di lokasi penculikan Rana." "Apa Rana secara rutin mengonsumsi obat ini?" lanjut Genta dengan bertanya. Kini ia duduk di sofa dekat Alexandra dan langsung diikuti oleh Danu. "Ya...," ujar Alexandra setelah terlihat ragu untuk menjawab selama beberapa saat dan menarik napasnya. "Sejak awal tahun lalu Rana menjalani pengobatan untuk Leukimia yang dideritanya." "Media tidak pernah menyebut soal ini. Keluarga Anda juga tidak pernah memberikan keterangan soal ini sebelumnya kepada pihak kepolisian. Ini artinya, yang tahu soal penyakit Rana jelas terbatas. Berapa banyak yang sebenarnya tahu soal penyakit Rana ini ?" tanya Genta lagi dengan tenang. "Keluarga dan orang-orang yang mengurus Rana. Apa penyakit Rana ada hubungannya dengan kasus ini?" tanya Alexandra terlihat terganggu. "Ibu tidak pernah memberi tahu pihak kepolisian jika Rana pengidap Leukimia," ucap Danu hati-hati. Alexandra hanya terdiam dan seperti berusaha memikirkan sesuatu. "Begini, Bu Alexandra," ucap Genta pada wanita itu, "jika hanya obat-obat seputar demam, penambah darah, vitamin, dan lain-lain yang kami temukan di sana, maka kami bisa saja berpikir bahwa itu usaha pelaku penculikan agar Rana tetap sehat saat pertukaran uang. "Tapi ... ini obat kanker. Fakta kasus akan melebar di sini. Bagaimana pelaku bisa tahu soal ini dan memberikan Rana obat yang tepat? Saya tidak menemukan artikel media mana pun yang membicarakan bahwa Rana sedang sakit," lanjut Genta. "Apa kalian sedang memberikan ide bahwa pelakunya adalah orang terdekat kami yang tahu soal penyakit Rana?" tanya Alexandra dengan sikap tidak nyaman. "Besar kemungkinan ke arah sana. Sekarang kami akan butuh daftar nama orang-orang yang tahu soal penyakit Rana ini. Semuanya. Tanpa terkecuali dan segera," jawab Genta. Setelah cukup lama menimbang, Alexandra akhirnya mengangkat telunjuknya ke arah seorang wanita muda berkacamata tebal yang merupakan asisten pribadinya dan menunggu asistennya mendekat sebelum membisikkan sesuatu kepadanya. Beberapa detik kemudian, sang asisten mulai beranjak dan membuka laptopnya di meja dekat TV, lalu mulai mengetik. "Kami akan segera mengirimkan e-mail daftar nama-namanya kepada kalian," ucap Alexandra ke arah Genta dan Danu. "Seberapa yakin kalian bahwa ini dilakukan oleh orang-orang terdekat kami?" "Rana diculik di sekolah dalam rentan waktu hanya 15 menit, antara pukul 12.30 sampai pukul 12.45 saat kelas bubar. Tidak ada bukti atau saksi apa pun yang melihat sesuatu yang mencurigakan saat itu. Berdasarkan CCTV selama tujuh hari terakhir di sekolah, tidak ada kendaraan atau orang asing yang memasuki wilayah bagian dalam sekolah. "Jika pelaku melakukan penculikan spontan, maka seharusnya ada sesuatu yang terungkap melalui kamera atau orang di sekitar sekolah. Namun jika ini penculikan berencana, maka seharusnya pihak penculik akan mengawasi sekolah selama beberapa hari. "Anehnya, tidak ada pengintaian oleh orang tak dikenal atau kendaraan asing yang tertangkap kamera sekolah selama tujuh hari terakhir, seolah penculik Rana sudah tahu jadwal sehari-hari Rana, kebiasaan sekolah tersebut, beserta titik buta yang tidak tertangkap kamera. Pada kasus kebanyakan, hal seperti ini kemungkinan melibatkan orang dalam." Alexandra bergeming. Raut wajahnya terlihat tidak kaget dan seolah tanpa ekspresi. "Saya harus mengajukan pertanyaan lain, Bu Alexandra," ujar Genta lagi. "Saat proses pertukaran di Semarang, sebelum Pak Tjahya hilang dan pergi ke Jogja sendirian, Ibu orang terakhir yang bersama Pak Tjahya di dalam mobil. Apa ada hal mencurigakan yang bisa kami ketahui saat itu?" "Kan semuanya sudah saya ceritakan kepada kalian saat di Semarang?!" ujar Alexandra dengan intonasi meninggi. "Dia turun dari mobil di daerah Sambiroto, menerima telepon melalui salah satu cafe di sana dan tiba-tiba menghilang begitu saja. Saya hanya sadar saat saya dan para polisi di mobil belakang semuanya masuk ke dalam cafe. "Tjahja," lanjutnya, "sudah tidak ada dan mobil kami yang berisi uang menghilang setelah itu. Tas saya juga tertinggal di mobil dan saya saja baru sadar sampai ada notifikasi bahwa kartu kredit saya dipakai oleh suami saya. Saya sama sekali tidak tahu hal lain di luar itu. Lagi pula, ponsel kami kalian pasang penyadap, kalian tidak perlu lagi bertanya kepada saya soal ini, kan? Kalian sedang curiga ke saya atau bagaimana?!" "Kami hanya kembali menggali informasi agar tidak ada keterangan penting yang terlewat," timpal Genta dengan santai. Tak berapa lama, asisten Alexandra menanyakan e-mail Genta padanya dan langsung dijawab oleh pria itu. Setelah mendapat notifikasi e-mail masuk, Genta membaca sebentar isinya dan mengamati daftar nama di sana. "Hanya ada 26 orang yang tahu soal penyakit Rana selama ini?" tanya Genta dengan bingung. "Ya, sebagian besar terdiri dari orang yang menjaga rumah kami dan keluarga terdekat saja." "Baik," ucap Genta. "Ngomong-ngomong, apa rencana Anda terhadap jenazah mendiang Pak Tjahya?" Alexandra menarik napas panjang. "Setelah selesai diperiksa oleh pihak forensik kepolisian, jenazah mendiang suami saya akan langsung diterbangkan ke Jakarta dan dibawa ke rumah duka sebelum pemakaman digelar." Genta mengangguk setelah memperhatikan Alexandra yang tidak berkedip sedikit pun saat berbicara soal Pak Tjahya dan kemudian memutuskan segera pamit dari sana. "Dan, Bu Alexandra sepertinya mencurigakan," ucap Danu padanya di jalan. "Motifnya juga kuat. Karena Pak Tjahya tidak memiliki satu kerabat pun yang tersisa, otomatis ketika dia mati, Bu Alexandra langsung menjadi pewaris kekayaan pak Tjahya saat ini." Genta tidak menjawabnya. Baik Genta dan Danu segera menuju markas Polda D.I.Y setelah itu untuk melihat rekaman CCTV daerah lokasi kecelakaan kemarin dari beberapa gedung terdekat. ___ Pukul 07.10 WIB "Yang terdekat dari lokasi hanya bisa kami dapatkan dari hotel di kawasan Palagan dan juga bagian depan perumahan di sana. Ada juga sebuah guest house di Jalan Rejodani," ujar seorang petugas analisis di Polda D.I.Y kepada Genta dan Danu yang datang kepadanya pagi itu. "Ada penampakan tertentu yang terlihat?" tanya Genta. "Setengah jam sebelum kejadian, memang ada beberapa mobil melintas dan beberapa sudah kami temukan titik keluarnya. Hanya ada tiga mobil yang belum kami temukan titik keluarnya, semuanya sesuai dengan tiga mobil yang ada saat kejadian," ujar salah satu penyelidik lokal di sana. Genta dan Danu mendekat dan memperhatikan timestamp CCTV yang terlihat di layar. "Bagaimana dengan mobil saksi?" tanya Genta padanya. "Mobil saksi tidak terlihat keluar di jalan-jalan yang terpantau CCTV. Mungkin karena yang bersangkutan memang bagian dari penduduk lokal. Ada beberapa jalan setelahnya yang langsung menuju ke daerah pemukiman dan tidak terdeteksi CCTV lagi." "Kenapa saksi mengambil Jalan Persawahan yang sepi jika dia bisa melalui jalan lebih ramai dan bisa tetap lewat Palagan?" tanya Danu heran sambil memandang peta lokasi daerah itu di laptop yang lain. "Kemungkinan besar berarti rumahnya tidak jauh dari sana. Mungkin juga ini karena dia terbiasa menghindari wilayah perempatan. Yang jelas jika dia ambil rute ini, kemungkinan terbesar ... rumahnya pasti ada di sekitar kanan setelah jalan keluar persawahan" jawab Genta mengira-ngira. "Benar, Pak," ujar petugas analisis berlogat kental Jawa tersebut. "Kalau dia ambil jalur ini, sudah pasti dia berniat belok ke kanan karena kalau dia belok ke kiri, jelas akan kembali ke Palagan. Perempatan di sana memang biasanya cukup ramai, mungkin Ibu itu terbiasa menghindari perempatan itu karena ada lampu merah." "Hmmmh ... kalau begitu ada mobil lain yang bisa muncul dari jalan Rejodani atau Ngaglik dan keluar juga dari bagian sana, kan?" tanya Danu. "Bisa saja, tapi di CCTV jalan-jalan besar yang mengapit area itu, kami tidak menemukan adanya mobil mencurigakan yang muncul di jam-jam kecelakaan. Semua mobil yang melintas di jam tersebut sudah kami telusuri titik masuknya dari mana, titik keluar di mana, dan perkiraan waktu tempuhnya. Tidak ada yang mencurigakan. Tentunya kemungkinan ini bisa berubah jika kawanan komplotan tinggal di daerah sana." Kini orang tersebut menunjukkan layar tangkapan CCTV yang mereka temukan. "Ini beberapa mobil yang melintas di Palagan beberapa menit sebelum perkiraan kejadian," katanya lagi. "Kami menelusuri sebagian mobil yang lewat Palagan dari jam sembilan hingga jam sepuluh malam, kembali tertangkap kamera di titik lain sesuai waktu tempuh. "Ada tiga mobil yang tidak lagi terlihat kamera. Yang ini, mobil Pak Tjahya tertangkap kamera di CCTV daerah depan perumahan, tiga menit sebelum insiden. Mobil pelaku melintas 30 detik setelahnya dengan kecepatan tinggi. Terakhir, mobil saksi yang terpaut 3 menit 20 detik setelahnya. Mobil hatchback LCGC putih ini mobilnya." "Kalau memang lewat Palagan, bisa diperlihatkan tangkapan lebih jelas dengan kamera CCTV lampu merah perempatan ringroad menuju Palagan?" tanya Genta. Orang tersebut segera memutar tangkapan CCTV lampu merah setelahnya. "Ini mobil Pak Tjahya di ringroad, posisi tiba dari arah Jalan Magelang, sama dengan mobil pelaku. Mungkin ini karena keduanya menyetir dari Semarang ke Jogja," ujarnya sambil menekan tombol pause. "Mereka tidak terhenti lampu merah karena langsung belok kiri dari jalur lambat." "Coba maju ke beberapa detik sebelum mobilnya belok kiri dan perbesar gambar," ucap Genta mendadak. Pria itu segera melakukan perintah Genta dan memperbesar gambar tangkapan. "Ini," ucap Genta menyentuh layar dengan jari telunjuknya. "Objek samar-samar yang berwarna putih di kaca jok kedua ini masih bisa diperbesar?" "Maaf, Pak, untuk lebih memperbesar butuh alat khusus dan di sini belum ada." "Itu koper uangnya?" tanya Danu pada Genta dengan suara pelan. Genta mengangguk. Mereka lalu melihat mobil pelaku setelahnya yang hanya memperlihatkan pelaku sendiri di mobil dan mengenakan masker mulut." "Plat mobil sudah ditelusuri, mobil ini adalah mobil curian dengan plat palsu dari Jogja," ujar orang tadi kepada Genta dan Danu. Lalu selanjutnya Ia memperlihatkan mobil lain di lampu merah menuju Palagan yang tampak dari arah sebaliknya. "Yang ini bisa terlihat lebih jelas karena dia berhenti di lampu merah." "Ini saksi?" tanya Genta. "Iya, namanya Bu Djenar. Mobil terlacak dari wilayah bandara Adisucipto dan dia sendirian. Empat jam sebelumnya mobil ini juga melintas dari Palagan menuju ke Adisucipto, dari gambar rekaman, ada 2 orang perempuan di dalam. Kemungkinan, yang bersangkutan mengantar temannya di bandara. Plat mobil sendiri terlacak sebagai milik sebuah perusahaan rental di kawasan Rejodani." "Berarti alamat saksi sudah bisa dilacak berdasarkan perusahaan rental tersebut?" tanya Danu. Baru saja orang tersebut akan jawab, pintu mendadak terbuka dari luar. Seseorang lainnya tiba-tiba datang dan menyapa Genta dan Danu dengan hormat. "Pak, saksi baru saja menelpon ke polres Sleman untuk bertanya soal ponselnya yang terjatuh kemarin. Ia juga melaporkan diri sebagai saksi kejadian," ucap orang tersebut kepada mereka. "Dia bersedia datang untuk memberi keterangan?" tanya Danu. "Ah, orangnya masih sakit, Pak, katanya demam. Mungkin karena kehujanan kemarin dan sedang hamil juga. meskipun begitu dia kasih alamatnya dan mempersilakan polisi datang ke rumahnya jika dibutuhkan." "Lebih bagus," ujar Genta sambil menekan tombol pause pada layar tangkapan kamera yang memperlihatkan sosok wanita tersebut di dalam mobil. "Danu, hubungin tim forensik dari pusat untuk membantu kita meminta keterangan darinya." "Kita butuh tim forensik untuk minta ketarangan ibu hamil yang mau bekerja sama?" tanya Danu bingung. Tapi Genta tidak menjawab dan segera bergegas keluar pintu. __________ Pukul 09.00 WIB Genta masih terdiam di dalam mobilnya di wilayah Rejodani bersama satu orang tim forensik bernama Satya dan petugas kepolisian lokal bernama Tarno di belakang. Ia menatap sebuah rumah di depannya yang terlihat kecil dan rapih --- terpisah lahan sayur-sayuran dan pepohonan lengkeng dari rumah sekitarnya. Rumah di kampung sana terlihat tidak padat, banyak yang berjarak lahan pertanian sayur antar satu rumah. Meskipun begitu situasi sangat asri dan banyak petani yang terlihat tengah berkebun atau mengurus sawahnya di sekitar sana. Genta memegang ponsel murah milik saksi di tangannya yang kemarin basah karena genangan air. Pihak kepolisian lokal sudah membantu mengeringkannya dan menghidupkannya, tetapi tidak bisa masuk dengan terganjal pin enam digit sebagai password. Untuk membukanya jelas butuh ijin pengadilan dan waktu lebih lama. Meskipun begitu ponsel tersebut kerap berdering. Sejak tadi Genta terpaksa mengangkatnya dan menerima panggilan dari berbagai debt collector yang meminta tagihan hutang pemilik ponsel tersebut dilunasi. Karena kesal dengan tagihan tanpa henti dan tidak mendapat informasi apa pun, Genta mematikan kembali ponsel tersebut. Kini Ia memandang kembali rumah pemilik ponsel tersebut di bagian depannya. "Berapa kira-kira harga kontrakan rumah seperti itu di sini?" tanya Genta kepada Tarno di belakangnya. "Untuk lokasi di perkampungan yang jauh dari kota seperti ini mungkin sekitar 6-7 juta pak, per tahun," jawab orang tersebut dengan sopan. "Enam juta?" tanya Genta kaget. "Murah juga untuk bangunan modern dan baru seperti itu meski ukurannya kecil." "Iya pak, di sini banyak kontrakan murah pak. Kenapa pak, Bapak mau ngontrak di sini?" Genta tertawa mendengar candaan polisi muda tersebut dan segera mematikan rokok di tangannya ketika melihat Danu mendekat dari depan. "Namanya Djenar Saskia sesuai informasi di lokasi kemarin," ujar Danu sambil berdiri di pinggir mobil dan berbicara melalui kaca yang terbuka. "Tadi dia meminjam ponsel pak RT untuk menelpon pihak kepolisian. Menurut pak RT, dia sudah sejak Juni mengontrak di rumah ini, tinggal sendirian, tidak pernah menerima kunjungan siapa pun kecuali teman perempuannya dari Jakarta yang baru pulang kemarin. "Dia hamil 3 bulan, tapi status di fotokopi identitasnya yang disimpan pak RT menunjukkan dia belum menikah. Dia juga tidak akrab dengan warga sekitar, malah warga cenderung tidak menyukainya karena Ia hamil di luar nikah. Orangnya nyaris jarang keluar rumah dan tinggal bersama satu anjingnya saja. Sepertinya ia tidak memiliki pekerjaan, tapi menurut pak RT, sebelumnya pemilik salah satu cafe di kawasan mahal Jogja. Sudah bangkrut dan ditutup." "Ah," cetus Genta mengingat banyaknya telepon tagihan di ponsel wanita itu. "Dia tidak punya suami? Memang berapa umurnya?" "Lahir 1 Januari tahun 1989, berarti....usianya sekarang 27 tahun," jawab Danu. "Oh iya, mobil yang Ia kendarai adalah milik rental yang ada di ujung jalan ini. Disewa selama seminggu dengan nama teman perempuannya, sepertimya dipakai untuk jalan-jalan dengan temannya itu. Masa rental hanya sampai siang nanti." "Kalau begitu kita harus cepat," ujar Genta. Ia segera turun dan berjalan menuju pagar dengan diikuti yang lainnya. Di depan pagar, Ia melihat mobil sewaan yang dimaksud ada di carport. Melihat kondisi tanah basah di bawahnya, dan wiper mobil yang terangkat, Genta memperkirakan bahwa mobil baru saja dicuci. Taman depan rumahnya sangat rapi dan tertutup rumput Jepang, ada satu pot besar pohon cemara berukuran kecil di bagian tengah dan beberapa bunga-bunga. Seekor anjing berjenis labrador telungkup di teras rumahnya dan ketika melihat pihak kepolisian mendekat ke pagar, anjing itu berdiri dan langsung menyalak. Genta berusaha menenangkannya dengan canggung sambil menekan bel dari luar pagar dan menanti bersama yang lain. Ia tidak pernah suka anjing besar. Orang di dalamnya cukup lama keluar. Baru beberapa menit kemudian, penghuni rumah itu membuka lebar pintu depan yang sudah setemgah terbuka dengan wajah mengantuk. Seorang wanita sangat cantik, tinggi sekitar 170 senti berkulit putih pucat dengan rambut ikal diwarnai coklat sebahu keluar dari dalam. Ia mengenakan daster panjang dengan sweater tebal tergantung di bahunya. Perutnya terlihat sedikit buncit, belum terlalu besar dan jelas menandakan bahwa Ia sedang hamil muda. Wajahnya terlihat pucat dan wanita itu seperti sedang mengalami demam. Dengan perlahan, Ia menatap ke luar pagar dan memandang rombongan pihak kepolisian di depan yang menyapanya, kemudian membawa anjingnya masuk ke dalam sebelum akhirnya kembali keluar dan menyapa balik pihak kepolisian. "Mbak Djenar Saskia?" "Ya," jawab Djenar tenang. "Dari kepolisian?" "Ya, boleh kami masuk?" Djenar terlihat menimbang sesaat ketika melihat seluruh tim kepolisian di depannya. "Bawa surat perintah dari pengadilan negri setempat?" "A-apa?" tanya Danu bengong. Djenar menunjuk Satya, tim forensik yang memegang tas kotak kecil. "Sepertinya akan ada pemeriksaan di rumah saya yang bukan TKP? Saya pikir polisi hanya akan datang untuk meminta keterangan saksi?" "Ini situasi darurat," jawab Genta dengan sedikit terkejut melihat reaksi wanita di balik pagar. "Situasi darurat tidak membutuhkan surat pengadilan." "Kalau begitu saya masuk dalam daftar yang dicurigai," gumam Djenar dingin. "Berarti kalian takut saya menyembunyikan suatu bukti di dalam dan berpotensi segera memusnahkannya?" Genta terdiam kaku di tempat. Ia tidak menyangka wanita yang bernama Djenar ternyata memiliki pemahaman bagus seputar kepolisian. Tidak banyak perempuan atau bahkan orang umum yang mempertanyakan legalitas penyelidikan kepolisian sebelumnya. Setelah membuat tim Genta sempat kaku dan hening di tempat, tiba+tiba Djenar tertawa kecil. "Saya hanya bercanda, mas," ujarnya tiba-tiba sambil membuka kunci pagarnya. "Kalau saya tidak niat membiarkan polisi masuk, saya tidak akan memasukkan anjing saya tadi." Genta masuk dengan sedikit merasa dipermalukan di hadapan semua bawahannya. Dari beberapa detik pembicaraannya dengan Djenar pun Ia langsung tahu bahwa yang akan Ia hadapi bukanlah wanita biasa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD