1. Golden Je

2695 Words
Beberapa bulan sebelumnya,      Nafas pria itu terengah-engah. Menatap papan skor kini hanya selisih 1 angka, 96-97 untuk timnya. Waktu permainan terus bergulir, menyisakan dua puluh detik penuh penentuan. Bola basket itu ada di tangannya dan tempatnya berdiri telah terkepung. Ia harus bertindak cepat untuk merebut kemenangan bagi timnya.      “Golden Je kini yang membawa bola. Parker dan Elliot sudah berjaga di depannya.”     “Rupanya Golden Je sudah dikepung. Ia tidak bisa bergerak.”     “Waktu hanya tinggal dua puluh detik. Mampukah Je membawa kemenangan untuk Golden State Warriors?”     “Kesempatan kini hanya ada di tangannya. Poin kedua tim hanya selisih 1 nilai saja. Semua beban itu ada di pundak Golden Je. Apa yang akan dia lakukan?”     Peluh Je menetes dan mata tajamnya memandang serius lawan mainnya. Seulas seringai tipis melengkung di atas bibirnya. Je bergerak.     “Oh… oh… dia mulai beraksi. Berputar sambil membawa bola itu sendiri, mengopernya pada Marcus dan bersiap hingga ke depan ring. Marcus melemparkan bola dan…”     Bola itu hanya berputar di sekitar ring dan hampir saja keluar sebelum akhirnya tangan besar Je menyambar bola dan mengembalikannya masuk ke dalam ring.     “Dan….MASUUUKKK!!! Aku tak percaya ini, Bung! Di detik terakhir, tangan maut Golden Je berhasil menyelematkan bola yang hampir keluar dari ring! LUAR BIASA! Golden Je lagi-lagi membawa kemenangan bagi Golden State Warriors, 98-97!”     Sorak-sorai kemenangan menggema di seluruh arena. Semua pendukung Golden State Warriors berteriak girang bahkan kini mereka saling berangkulan memberi selamat satu sama lain. Begitu juga anggota tim Golden State Warriors itu langsung berhamburan memeluk Je. Lagi-lagi Je menjadi penyelamat pertandingan. Mereka bertepuk pundak dan mengguyurkan air ke atas kepala Je sebagai tanda ucapan selamat.     Tawa renyah penuh dengan kebahagiaan tersungging di bibir semua rekan setim Je. Mereka mengelu-elukan nama Golden Je. Julukan itu memang cocok untuk si anak emas, Jeremiah Halim. Pemain basket dengan performa paling gemilang dan selalu menjadi penyelamat bagi timnya.     Setelah melakukan selebrasi kemenangan, seluruh anggota tim kembali masuk ke dalam ruang ganti. ***     “Walau awalnya tertinggal cukup jauh pada kuarter sebelumnya, Golden Je, pemain 28 tahun, kebanggaan Golden State, lagi-lagi berhasil membuat timnya kembali. Mentalnya tidak drop walau tertinggal jauh. Dan bahkan di detik-detik terakhir pun Je mampu menyelematkan angka bagi timnya. Dan kini Golden State akan masuk ke dalam babak play off di musim ini.”     “Betul dan nama Golden Je akan kembali ke dalam daftar kandidat penerima gelar MVP* untuk musim ini dan yang ketiga kali ini. Performa yang luar biasa, kerja sama dan mental tim yang ia bangun dan bagaimana ia menjaga setiap poin bagi Golden State memang Golden Je layak menjadi seorang MVP.”     “Aku setuju. Belum ada pemain seperti Golden Je. Ia sungguh layak menjadi MVP tiga kali berturut-turut.”     “Tapi semua keputusan bukan di tangan kita, Bung! Kita hanya perlu menunggu keputusan dari Federasi Basket Amerika mengenai hal ini.”     "Berbicara mengenai Golden Je, ada satu hal yang sampai saat ini masih jadi pertanyaan kita, Bung. Golden Je sepertinya memiliki fobia dengan lampu flash. Itu sebabnya ia tidak pernah mau menerima tawaran iklan atau wawancara dengan media manapun dan itu juga yang menjadi penyebab mengapa setiap di akhir pertandingan para security meminta para wartawan tidak menggunakan lampu flash."     "Betul. Itu masih menjadi misteri. Dan Golden Je atau pemain lainnya tidak pernah berkomentar mengenai hal ini."     "Apakah..."     Klik!     Televisi di ruang ganti pemain dimatikan karena pelatih akan memberikan evaluasi permainan mereka. Semua anggota tim sudah duduk di bangku mereka masing-masing dan berfokus mendengarkan masukan yang Coach Xavier, pelatih mereka.     “Oke, tim. Kalian sudah melakukan yang terbaik kali ini. Excellent!” puji pelatih kesayangan mereka dan disambut dengan sorak sorai dan seruan bahagia dari seluruh anggota tim.     “Dan untuk Je, kau bermain luar biasa hari ini.” Suara tepuk tangan dan ucapan selamat langsung menghambur untuk Je.     Tanpa ada yang tahu, di belakang sana salah seorang pemain terlihat tidak menyukai pujian berlebihan yang diberikan pelatih dan rekan-rekannya pada Je. Entah karena iri atau apapun, ia tidak begitu menyukai para pemain yang melambungkan nama Je seolah dia adalah pahlawan perang. Je hanyalah manusia biasa yang memiliki keberuntungan yang besar. Tidak seharusnya mereka memperlakukan Je seperti itu.     Jika seandainya dua tahun lalu, Je tidak merebut bola darinya harusnya saat itu ia yang mendapatkan gelar MVP dan bukan Je. Baginya, Je sebenarnya tidak lebih dari seseorang yang suka pamer (show off) dan bodohnya orang-orang itu termakan oleh semua yang Je pamerkan. Je bukanlah pemain basket yang hebat. Ia hanyalah orang yang penuh keberuntungan.     Pria itu adalah sang kapten tim Golden State, Blake Turner. Dia memilih pergi di saat semua orang sedang memberikan selamat pada Je.     Senyuman lebar tersungging di bibir Jeremiah Halim atau pemain NBA bernama panggung Golden Je. Rekan-rekannya memanggilnya Je, tapi keluarganya memanggilnya Jeremy. Pria keturunan Amerika-Indonesia pertama yang berhasil mencapai panggung NBA. Ajang bola basket bergengsi Amerika yang bahkan sudah mendunia. Bukan hanya kemampuannya bermain basket yang dikenal tapi Je juga dikenal karena ketampanannya.     Wajah blasteran, dengan mata coklat khas orang Asia, alis tebal serta garis wajah yang tegas membingkai ditambah dengan misai tipis menghias wajahnya. Rambut hitamnya dipotong dengan gaya medium cut with fade (gaya potongan undercut dengan bagian atas dibentuk layer panjang dan sedikit tebal). Tinggi Je yang 190 cm dan tubuh atletisnya menjadikannya pria dengan wajah paling sempurna dibandingkan para pemain NBA lainnya.     Je adalah sosok yang sangat mempesona kaum hawa. Bahkan, tahun lalu ia mendapatkan gelar The Sexiest Man (pria paling seksi) oleh sebuah polling yang dilakukan majalah fashion ternama. Nama Jeremy bahkan disejajarkan dengan aktor-aktor tampan kelas dunia seperti Tom Cruise, Brad Pitt, Chris Hemsworth atau bahkan Leonardo Di Caprio untuk kategori pria paling tampan dan seksi yang pernah ada.     Tidak hanya itu Je juga memiliki latar belakang yang diidam-idamkan wanita. Ayahnya didapuk sebagai duta besar Indonesia untuk Amerika dan Ibunya memiliki sebuah perusahaan yang bergerak di bidang hotel dan properti yang terkenal di San Fransisco, Diamond Group. Kekayaan, posisi dan latar belakang keluarga yang bagus membuatnya makin diidolakan para wanita.     Beberapa waktu ini tersiar kabar bahwa Je akan didapuk menjadi CEO Diamond Group yang tersohor itu. Entah itu kabar burung atau fakta, awak media hanya perlu menunggu pengumuman resminya.     Mari kini kita kembali ke Chase Center, arena pertandingan basket sekaligus rumah bagi tim andalan San Fransisco, Golden State Warriors.     Setelah beberapa saat mendengarkan evaluasi dari pelatih, pertemuan tim pun dibubarkan malam itu.  Je kembali ke lokernya lalu mengambil hoodie putih dan celana training-nya. Menutupi tubuhnya yang terbentuk sempurna. Otot tangan, kaki, d**a bahkan perutnya tercetak jelas dan terlatih dengan baik.     “Permainan yang bagus hari ini, Je!” ucap Simon McNaughty, salah satu pemain belakang tim basket Golden State Warriors sambil menepuk pundak Je sebelum meninggalkan arena.     “Thanks, Bro! Kau juga bermain baik hari ini,” balas Je sambil menyambut uluran tangan Simon lalu membenturkan separuh bahunya pada bahu Simon. Sapaan khas mereka.     “Aku harus akui tadi permainanmu sangat baik, Je. Tapi aku tidak akan membiarkanmu mendapatkan gelar MVP lagi. Kau terlalu serakah, mengambil tiga kali piala MVP itu untuk dirimu sendiri,” sindir Ethan Moore, penyerang dalam tim Jeremy. Jeremy kembali membalas uluran tangan Ethan seperti yang ia lakukan pada Simon sambil tersenyum.     “Kau pikir aku juga mau mendapatkan piala itu lagi? Asal kau tahu piala itu terlalu berat dan aku tidak punya tempat lagi untuk menyimpannya,” bisik Je sambil terkekeh. Ethan dan Simon ikut terkekeh mendengar ucapan asal Je.     Usai mendapatkan ucapan selamat dari seluruh pemain bahkan tim lawan tandingnya hari ini, LA Lakers, Je akhirnya melangkahkan kakinya keluar dari gedung pertandingan. Ia mengenakan topi hoodie’nya dan mengenakan kacamata hitamnya. Berjalan sedikit menunduk, ia menghindari para wartawan yang sedang menunggu untuk mewawancarainya. Belum lagi desakan para fans Je yang terus mendorong-dorong bodyguard pemain tim NBA. Je harus menghindari kerumunan secepat mungkin.     Saat ia sedikit mengangkat kepalanya, ia melihat kilatan lampu flash tepat di depan matanya. Seketika  langkahnya terhenti dan tubuhnya tiba-tiba bergetar. Je tidak bisa bergerak. Ia memegang kepalanya dan menutup telinganya seolah ada bisikan-bisikan menakutkan terngiang di sana. Para bodyguard menyadari VIP* mereka tidak bergeming dan malah bergetar. Mereka langsung menutup akses para wartawan dan mengamankan Je ke tempat aman.     Sudah menjadi catatan para bodyguard bahwa Je paling tidak boleh melihat flash atau kilatan cahaya apapun. Ketika itu terjadi, mereka harus siap menyingkirkan Je ke tempat aman dan menunggunya untuk tenang sebelum melanjutkan pengawalan.     Je berusaha mengatur nafasnya agar kembali tenang. Setelah itu ia kembali menegakkan tubuhnya dan para bodyguard itu mengantar Je masuk ke dalam mobilnya. Sebuah mobil van hitam kemudian berhenti tepat di hadapannya. Je masuk ke dalam mobil itu dengan senyuman tersungging di wajah tampannya. Melihat sosok yang paling disayanginya sedang tersenyum bangga dari dalam mobil.     “Selamat, Cucuku!” ucap wanita tua yang masih cantik dan anggun dari dalam van. Dialah Viona, nenek Jeremy. Nenek yang paling disayangi Jeremy karena selama masa kecil hingga sekarang Viona-lah yang menyayangi dan memperhatikannya.     “Grandma melihat pertandinganku hari ini?” tanya Jeremy antusias sambil menutup kembali pintu van hitam mewah miliknya setelah masuk ke dalam dan memeluk Viona dengan hangat.     Viona menangkup wajah Jeremy dengan kedua telapak tangan keriputnya.     “Jelas. Kau tidak lihat Grandma di bangku VIP? Grandma berteriak paling keras saat kau mencetak angka untuk timmu di akhir pertandingan. Bahkan pria di samping Grandma terkejut saat melihat Grandma berteriak hingga menumpahkan minumannya sendiri.”     Jeremiah terkekeh mendengar cerita polos Viona. Jeremiah memeluk Viona sekali lagi dan Viona menyambut pelukan cucu kesayangannya itu.     “Mau makan apa malam ini?”     “Apapun masakan Grandma, aku pasti akan menghabiskannya.” Viona terkekeh lantas menyentil hidung mancung cucunya itu.     “Baiklah, kalau begitu bagaimana kalau butter crab?” Jeremy mengangguk layaknya anak kecil yang akan diberikan permen. ***     TIT… TIT… TIT…     Alarm di samping ranjang king size itu berbunyi. Dari posisinya yang masih tengkurap, tangan berotot dan panjang itu meraih dan mematikannya. Jeremy bangun dari tidurnya dengan d**a telanjang. Rambutnya terliha acak-acakan dan matanya terlihat sangat sayu karena mengantuk.     Ia mengambil nafasnya lalu bangkit dari tempat tidurnya dan turun ke lantai bawah. Di bawah sudah ada para housekeeping sedang menjalankan tugasnya membersihkan kondominium Je pagi ini. Sudah beberapa tahun ini Jeremy memilih tinggal di kondominium mewah milik Diamond Group daripada tinggal di dalam rumah keluarganya di tengah kota.     “Good morning, Sir!” sapa Marie, staff housekeeping yang bertugas hari itu. Je hanya mengangguk sambil tersenyum menanggapi sapaan itu dan beranjak menuju ke meja makan. Sarapan dari catering khusus atlet sudah disediakan di sana untuk Je tanpa Je repot memikirkan makan apa hari ini. Semua makanannya disediakan menurut standard dan menu diet untuk atlet. Semua kalori diperhitungkan dan semua nutrisi harus dihitung agar sang atlet tetap sehat dan prima saat berlatih.     Je menikmati salad kentangnya sambil membaca pesan dari ponselnya. Senyumnya tersungging ketika melihat sebuah nama yang mengirimkan pesan hingga ratusan dan meninggalkan panggilan lebih dari 50 kali semalam. Je kelelahan. Pertandingan selama berbulan-bulan non stop membuatnya kehilangan waktu untuk sekedar menyapa kekasihnya, Isabella Cortez. Dan sekarang ia mendapatkan libur selama seminggu sebelum akhirnya bermain dalam babak playoff.     Isabella adalah salah satu social media influencer yang terkenal di seluruh dunia dengan jumlah follower lebih dari 75 juta dari seluruh penjuru dunia. Isabella adalah wanita keturunan Meksiko yang tinggal lama di San Fransisco dengan tubuh bak gitar dengan beberapa bagian sensual yang berisi. Wajah latin yang sangat cantik dan eksotis, rambut kecoklatan yang bergelombang, bibir yang tebal dan mata lebar yang menakjubkan. Gaya hidupnya sangat fantastis, dikenal sebagai salah satu sosialita terkenal di Amerika dan gaya berpakaiannya sering menjadi trendsetter di dunia fashion.     Sejak menjalin hubungan asmara dengan Je, karir Isabella atau yang kerap disebut Bella menjadi melejit. Bahkan beberapa brand olahraga ternama di dunia memintanya menjadi brand ambassador produk pakaian olahraga wanita. Tentu Bella tidak menolaknya justru malah dari sanalah ia dikenal di dunia fashion dan selalu menjadi sosok yang paling dicari di social media.     Di balik kesempurnaan itu, Bella memiliki sosok yang kekanak-kanakan, manja dan posesif. Ia tidak akan mengizinkan wanita manapun mendekati Je. Ia mudah iri pada semua wanita di dekat prianya. Jika dia bukan public figure, mungkin ia akan berbuat nekad pada siapapun yang mendekati Je bahkan hanya sekedar meminta foto bersama.     Je sangat tahu watak Bella sejak ia mengenal wanita itu. Bermula dari teman kuliah hingga mereka menjalin hubungan spesial, tapi Je tetap mencintai Bella dengan segala karakternya.     Bibir Je terangkat ketika melihat daftar panggilan dan pesan di ponselnya. Je tidak sabar mendengar suara melengking itu lagi. Ia pun menekan tombol panggilan untuk menyapa kekasih seksinya itu.     “Mencariku semalam?” kalimat pembuka Je langsung dihamburi dengan ucapan sumpah serapah dan makian dari seberang sana. Je terkekeh sambil menjauhkan ponselnya. Suara nyaring Isabella dan sumpah serapah dalam Bahasa Meksiko terdengar walau Je sudah menjauhkan panggilannya. Hingga Marie yang sedang bersih-bersih di sekitar Je sempat meliriknya.     Je tersenyum dan menjelaskan dengan setengah berbisik bahwa kekasihnya sangat marah karena ia tidak menghubunginya semalam.     Setelah suara makian itu menghilang, giliran Je kembali berbicara. Menjelaskan apa yang terjadi pada kekasihnya yang cerewet itu.     “Maafkan aku, Sayang. Kemarin kau tahu Grandma datang mengunjungiku dan setelahnya aku ketiduran. Pertandingan terakhir membuatku kelelahan. Aku tidak bisa menolaknya. Kau tahu dia adalah Grandma yang paling berharga untukku. Aku…”     “Kau selalu seperti itu! Mendahulukan Grandma daripada aku. Aku ini siapa bagimu, Je?” potong Bella dengan ungkapan cemburunya.     “Ayolah… jangan bertingkah kekanakan. Ini hanyalah Grandma. Sebagai gantinya, bagaimana jika malam ini aku memanggil Chef Ramsay untuk memasakkan hidangan istimewa untuk kita?”     “Sungguh? Baiklah. Jangan coba-coba lari dari tanggung jawabmu ya!”     “Of course, Honey! Love you…”     “Love you…”     Klik! Panggilan itu dimatikan. Je menghela nafasnya panjang lalu kembali menikmati sarapannya yang tertunda sambil membaca berita pagi ini dari ponselnya. Baru saja ia hendak menghabiskan potongan melon dari piringnya, bel pintu suite-nya berbunyi.     Je membuka pintu dan betapa terkejutnya ketika seorang wanita modis dan cantik di usianya yang hampir separuh abad dengan rambut pixie merah maroon masuk ke dalam suite-nya. Wanita itu melepaskan kacamata hitamnya dan menatap Je dengan sorot mata tajam.     “Untuk apa Mama ke sini?” sapaan yang tidak ramah dari seorang Je kepada Ibu kandungnya sendiri, Sally Wijaya.     “Mama hanya memastikan kesiapanmu untuk pelantikan CEO hari ini. Kau sudah siap?” tanya Sally dengan senyuman. Ia hanya berusaha mendekatkan diri pada putranya yang beberapa tahun terakhir ini sering berkonflik dengannya. Tapi tatapan sinis Je yang didapat sebagai jawaban.     “Tidak perlu pura-pura mencemaskanku. Sejak kapan Mama mempedulikan aku hadir atau tidak? Bukankah Mama hanya mengangkatku menjadi CEO hanya sebagai maskot? Yang meningkatkan nilai saham Mama?”     Emosi Sally sebenarnya sudah tercutik tapi ia masih bertahan. Ia paling tidak tahan dengan semua sindiran dan kalimat pedas putra kandungnya sendiri. Tapi ia harus menahan emosinya. Ia teringat tujuannya ke kamar Je dan membuang jauh-jauh harga dirinya saat ini adalah karena ingin mendapatkan hati putranya kembali. Nyatanya, anak itu tetap memperlakukannya dengan sama. Sinis dan antipati. Hati Sally terasa terlukai.     “Terserah apa katamu tentang keputusan Mama. Mama hanya memikirkan masa depanmu.”     Je mendengus sebal.     “Sejak kapan Mama memiliki hak memutuskan apa yang terbaik bagiku? Mama tidak berhak mengaturku!”     “JEREMY!” bentak Sally. Ia tidak kuat menahan gejolak emosinya sedari tadi.     “Mengapa? Mama marah karena semua yang kuucapkan benar bukan?”     Sally tidak ingin menghancurkan suasana hatinya hari ini. Ia mengambil nafas beberapa kali.     “Mama anggap Mama tidak mendengar apapun hari ini. Mama tunggu di kantor.”     Wanita itu berbalik badan dan mengenakan kembali kacamata hitamnya. Setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya. Ia buru-buru menghapus air matanya dan kembali berjalan dengan percaya diri keluar dari suite Je. ***     Catatan istilah:     *VIP (Very Important Person): istilah yang digunakan oleh bodyguard untuk menyebut orang yang harus mereka lindungi     *MVP (Most Valuable Player): anugerah penghargaan bagi pemain terbaik dalam dunia olahraga. Penilaian diberikan oleh federasi olahraga yang bersangkutan, melihat dari sepak terjang dan permainan pemain itu selama bertanding.     *Babak playoff: babak utama dalam ajang NBA. Untuk masuk ke dalam babak utama ini, sebuah tim harus bertanding setidaknya 72 kali dalam musim regular. Hanya ada 7 tim terbaik yang akan bertanding dalam babak ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD