2. Ada Apa Dengan Je?

2608 Words
    Ruangan itu kini penuh dengan para staff manajemen Diamond Grop dari seluruh jabatan dan seluruh divisi. Acara hari ini juga dihadiri oleh para pemegang saham dan para direksi. Mereka menunggu CEO baru mereka dilantik setelah beberapa hari sebelumnya Sally mengumumkan penunjukkan Je sebagai CEO. Tidak ada yang bisa membantah karena Sally memiliki 60% saham pada Diamond Group. Seberapa banyak pun orang yang menentang, suara Sally seorang saja sudah membuat keputusan mutlak.     Jam sudah menunjukkan pukul 10.20, tapi Jeremy tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Acara pelantikan sudah terlambat sekitar 20 menit dan tokoh utamanya belum hadir. Ini sebuah peristiwa yang memalukan, mengingat jabatan yang Je sandang bukan jabatan rendahan tapi jabatan pimpinan tinggi di dalam hotel.     Suara bisik-bisik dari para staff terdengar seperti suara lebah. Mereka mempertanyakan sungguhkah CEO baru mereka akan datang dalam pelantikan hari ini? Apakah CEO mereka bisa diandalkan apalagi di hari pelantikannya saja ia datang terlambat? Belum lagi profil Je adalah pemain NBA, apakah bisa atlet memimpin bisnis perhotelan? Semua orang meragukan keputusan itu.     Telinga Sally sudah cukup panas dengan komentar-komentar yang meragukan keputusannya itu. Ia melirik ke belakang saat suara bisik-bisik itu terdengar lebih keras dan mengganggunya. Seketika staff manejemen yang berbisik diam.     Pintu ruangan terbuka dan seorang pria jangkung nan menawan masuk dengan wajah kakunya. Dibalut dengan jas Dior hitam model terkini dan kemeja putih berdasi, Jeremy masuk dengan aura dingin. Aura yang berbeda dengan yang ditunjukkan saat berada di lapangan basket. Seolah Jeremy sangat tertekan di dalam lingkungan ini dan ia sangat tidak nyaman.     Walau begitu para staff manajemen, khususnya yang wanita dan yang merupakan penggemar berat Jeremy langsung berbisik-bisik. Mengagumi tubuh dan penampilan Jeremy yang memang selalu tampan dan mempesona. Dan baru kali ini mereka menatap Je secara langsung walau mereka sudah tahu kabar bahwa pria itu tinggal di Condominium Diamond Group. Tapi karena kesibukan berlatih, Je hanya ada di dalam kediamannnya pada malam hari atau jika dibutuhkan latihan intensif, ia akan tinggal di mess atlet.     Sally tersenyum melihat putra tampannya datang. Ia langsung berdiri dan memeluk putranya begitu Jeremy sampai di depan panggung. Seolah tidak terjadi apapun di antara mereka berdua. PAdahal hanya pencitraan.      Sally berdiri di depan podium untuk memulai prosesi pelantikan sementara Jeremy duduk di kursi barisan terdepan. Sally memberikan sambutan sejenak dan menjelaskan posisinya sekarang adalah sebagai komisaris utama yang mengawasi kinerja direksi Diamond Group. Dia juga menjelaskan akan mengasai langsung walau posisinya berada di Washington Dc. Tempat suaminya, George ditempatkan. Maklum, George adalah duta besar Indonesia untuk Amerika dan seluruh kegiatan pemerintahan di Amerika dipusatkan di ibu kota mereka, Washington DC.     “Dan saya perkenalkan CEO Diamond Group. Dialah putra saya, Jeremiah Halim!”     Tepuk tangan membahana di dalam ruangan. Aura meriah dan membanggakan itu rupanya tidak mempengaruhi raut wajah Jeremy yang masih tertekuk. Ia tidak menyukai segala hal berbau bisnis apalagi yang berkaitan dengan Ibunya. Ia tidak merasa nyaman dengan semuanya itu tapi ia dipaksa untuk mau melakukannya. Rasa benci itu makin besar dan ia terus membiarkan rasa itu bergulir di hatinya.     Jeremy bangkit dari tempat duduknya lalu membalikkan tubuhnya menghadap seluruh orang di ruangan itu yang sekarang sedang bertepuk tangan untuknya. Memakai topeng dan senyum seadanya.     Sally turun dari atas panggung dan langsung memeluk Jeremy. Memberi kesan bahwa ia dan Je memiliki hubungan yang sangat dekat. Walau nyatanya yang terjadi adalah sebaliknya.     Dari balik telinga Je, Sally membisikkan sesuatu, “Selamat bekerja, Anakku! Mama percayakan perusahaan ini padamu. Jangan berulah.” Jeremy tidak memberikan tanggapan apapun karena ia tidak menginginkan apapun dari posisi ini dan tidak mau melakukan apapun untuk itu.     Di sela-sela sambutan tepuk tangan, beberapa orang kembali berbisik.     “Anak ingusan itu hanya tahu memasukkan bola ke dalam ring, mana ia tahu tentang bisnis?” bisik salah seorang direksi pada rekannya.     “Kurasa perusahaan ini akan hancur di tangan putranya sendiri. Kita lihat berapa lama anak ingusan itu akan bertahan.” *** Tiga bulan kemudian     Babak playoff  NBA telah berakhir dan pemenangnya kali ini sudah bisa ditebak. Tim jagoan yang bertahan dari posisi puncak, Golden State Warriors. Semua penonton dan para komentator pertandingan setuju bahwa Golden State memang layak menjadi pemenang. Kemampuan tim yang merata, tim yang solid dan kerja sama yang apik di antara semua pemain membuat mereka layak menjadi pemenangnya.      Dan kini tibalah penganugerahan MVP, anugerah penghargaan bagi pemain terbaik yang ditunggu oleh banyak pasang mata. Jajak pendapat siapa yang layak menjadi MVP sudah dipasang sejak beberapa hari sebelum final pertandingan. Dan hanya ada dua kandidat utama yang memenangkan suara nyaris telak, mengalahkan kandidat yang lain. Dia adalah Golden Je dan Blake Turner. Dua-duanya adalah pemain dari Golden State yang dinilai memiliki performa yang sangat baik sepanjang musim.      “MVP musim ini jatuh kepada…”      Semua penonton menahan nafasnya. Mereka menantikan pengumuman penghargaan bergengsi ini dan berharap jagoan mereka yang memenangkannya. Begitu juga dengan Isabella. Ia menangkupkan tangannya sambil merapalkan doa untuk kekasihnya.      “GOLDEN JE!”     Suara riuh tepuk tangan dan sorak-sorai penggemar menggema di seisi lapangan. Seolah sudah bisa ditebak Je adalah MVP mereka berikutnya. Bella melompat dengan girang lalu berlari dan mencium Je di depan umum. Tindakan spontan Bella langsung disorot oleh puluhan kamera dan disiarkan langsung di tengah lapangan.      Je terkesiap dengan ucapan selamat dari Bella. Namun ia menikmatinya. Tapi di saat bersamaan, kilat lampu flash di hadapannya membuatnya beku di tempat. Seketika nafasnya sesak dan dadanya terasa sakit. Ia melepaskan pagutan bibirnya dari bibir tebal Bella dan mundur beberapa saat. Kepalanya pun ikut terasa berputar.      Beruntunglah bodyguard Je langsung tanggap. Mereka tahu apa yang harus dilakukan. Mereka mendatangi para wartawan yang melanggar ketentuan memasang flash di tengah arena dan menegur mereka untuk menghentikan aksi mereka. Beberapa di antara para wartawan itu memprotes tapi ada beberapa wartawan juga menerima namun apapun itu semua pasang mata mencurigai ada sesuatu yang terjadi dengan Je dan lampu flash yang tidak pernah diekspos media.      MC melihat situasi menegangkan itu berusaha mencairkan kembali suasana. Sementara Bella merasa bersalah karena Je tiba-tiba bertingkah tidak wajar. Ia langsung duduk di samping Je.      “Honey, I’m sorry. Apa yang sebenarnya terjadi? Kau tidak enak badan?” tanya Bella kuatir.     “Tidak. Aku hanya lelah. Aku tidak apa, Sayang,” sahut Je berpura-pura baik-baik saja. Nyatanya nafasnya masih tersengal dan wajahnya sedikit pucat.      Bella dengan setia menemani Je hingga akhirnya Je dipanggil untuk naik ke atas podium untuk menerima penghargaan itu. Sementara di beberapa sudut tribun penonton, bodyguard Je mengangkat tulisan “No Flash, Please!” (Tolong jangan menggunakan lampu flash). Sejenak penonton merasa ada yang janggal tapi MC kembali menjelaskan karena lampu sorot cukup mengganggu kondisi pemain. Hanya itu pembelaan yang mereka utarakan. Seolah ada hal yang mereka sembunyikan.      Beruntung para penonton nampaknya orang yang sportif. Beberapa orang yang mengikuti jalannya pertandingan dari sejak awal memang sudah tahu bahwa lampu flash dilarang digunakan di dalam arena karena bisa mengganggu konsentrasi pemain. Jadi mereka memakluminya walau terasa sedikit aneh, mengingat acara penganugerahan ini dilakukan setelah pertandingan berakhir. Tapi mereka memakluminya.      Kini Golden Je sudah berdiri di atas panggung dan menerima penghargaan dari chairman NBA. Ia mengangkat tinggi-tinggi trofi kerucut dengan bagian atasnya terdapat ornamen bola basket itu ke atas. Tepuk tangan dan sorak sorai penonton membahana. Mereka setuju jika Je layak mendapatkan gelar itu untuk ketiga kalinya.      Dengan diumumkannya MVP dan penghargaan lainnya, maka usailah musim NBA kali itu. Mereka akan berhenti bertanding selama kurang lebih enam bulan sampai akhirnya memulai pertandingan di musim yang baru.      *** Satu bulan setelah pertandingan      Seorang pria muda mondar-mandir di depan ruangan CEO. Sudah tiba waktunya untuk meresmikan restoran dan bar rooftop milik Diamond Group yang baru saja dibangun, tapi Je lagi-lagi tidak terlihat batang hidungnya. Selama menjabat sebagai CEO, hampir setiap hari Je tidak pernah datang ke kantor. Semua keputusan ia buat di malam hari setelah berlatih atau bertanding. Itupun hanya sebatas ya dan tidak lalu tanda tangan. Segala masalah dan solusinya diserahkan pada asisten yang juga menjadi bayangannya.      Bayangkan betapa berat jabatan sebagai asisten CEO di Diamond Group. Tidak hanya mengerjakan pekerjaannya sendiri, sekarang malah harus mengerjakan pekerjaan CEO. Belum lagi jika CEO mereka tidak menjalankan tugas dengan semestinya, mereka adalah orang pertama yang terkena komplain. Jabatan yang setimpal dengan gaji tinggi yang diberikan. Hanya orang-orang yang kuat secara mental yang akan bertahan, terlebih Je seringkali bertindak semaunya.      Bagus atau tidak performanya tergantung dari bagaimana asistennya bekerja. Je hanya ingin menerima jadi dan hanya tinggal menandatangai dokumen. Untuk keputusan-keputusan besar ia limpahkan sepenuhnya pada asistennya. Jika keputusan yang diambil asistennya bagus maka ia yang mendapat pujian. Jika keputusannya dianggap merugikan maka asistennya yang akan menjadi kambing hitam. Je terbebas dari tuntutan apapun dan memang lebih seperti maskot hotel.      Kali ini asisten Je sudah berganti lima kali sejak ia menjabat sebagai CEO. Dan Marty Cooks, pria muda yang menjadi asisten Je itu terlihat frustasi karena lagi-lagi harus menghadapi sikap Je yang seenaknya sendiri.      “Jika sampai dia tidak hadir dalam peresmian ini, maka kau harus mengundurkan diri!” ucap Constantine Donalds atau biasa disebut Mr Donalds, direktur humas Diamond Group. Ia yang bertanggung jawab dalam event peresmian ini dan ia tidak suka Je bertindak seenaknya, hanya karena ia adalah anak komisaris utama.      Marty menekan ponselnya dan menghubungi Je kembali. Peluhnya kembali menetes dan ia sungguh takut mendapatkan amukan dari pihak manajemen. Dering ponsel itu terdengar dan belum juga diangkat oleh suara di seberang. Ia menggigit jarinya sendiri.      “Ayo angkat… angkat…” Ia hendak menutup panggilannya sebelum akhirnya suara serak di seberang terdengar. Tapi ia terkejut karena suara di seberang adalah suara… wanita.      “Ha-halo… uhmm… apa bisa saya berbicara dengan Mr Je?” tanya Marty gemetar.     “Je? Dia sedang tidur. Ada perlu apa?” jawab Bella yang semalam tidur bersama Je, tidak melakukan hubungan sekss, hanya tidur bersama. Entah mengapa Je selalu menolak berhubungan sekss padahal mereka tinggal di negara yang bebas. Seringkali Bella sebal tapi demi tetap bersama dengan Je, ia menerima. Karena Je yang menentukan karirnya.      “A… anu… tolong katakan padanya. Lima menit lagi jika ia tidak segera ke rooftop, ia akan…”     “Halo…” belum sempat Marty melanjutkan ucapannya, ponsel di tangan Bella direbut oleh Je.  Marty terkejut dengan suara Je.     “Thank you, Jesus! Mr Je, Anda harus datang dalam lima menit. Para awak media, undangan dan direksi sudah tidak sabar menunggu. Kumohon… karirku dipertaruhkan di sini.”      Je memutar bola matanya malas. Acara peresmian? Media massa? Semuanya memuakkan bagi Je. Membayangkan kilatan flash dan cibiran para undangan saja sudah membuatnya mual. Jika ini bukan tugas negara, ia tidak akan mungkin datang. Toh, acara ini hanya seperti ajang pamer CEO mereka yang adalah publik figur. Tidak ada masalah jika hanya menunjukkan diri.      “Ada berapa banyak media massa di sana?” Marty menghitung sejenak berapa banyak media yang diundang.     “Dua puluh.”     Je menghela nafas. Angka yang tidak terlalu banyak. Mungkin Je akan coba mengikutinya. Je kemudian menyanggupi ucapan Marty dan Marty berteriak kegirangan kembali pada posisinya.     “Dia akan datang!” seru Marty dengan percaya dirinya pada Constantine.     “Baguslah.”      Sesuai janji lima belas menit kemudian Je sudah datang dengan setelan jas dan celana mahal dari Dolce Gabbana edisi terbatas dan di sampingnya ada Isabella Cortez dengan pakaian senada dari brand yang sama.      Lagi-lagi membuat para wartawan mendapatkan berita baru tentang Je yang selalu mempesona di luar arena. Apalagi kali ini ia mengajak Bella yang selalu mengundang perhatian massa. Begitu awak media itu menyorot mereka, Je langsung menjauh dan meninggalkan Bella yang berpose untuk diumumkan di media massa.      “Kau datang akhirnya. Kupikir mungkin kemarin kau mabuk kepayang dengan kekasih sexy-mu,” sindir Constantine yang kini berdiri di samping Je.     “Aku tidak sepertimu yang selalu mengencani wanita-wanita muda bodoh yang hanya tergoda dengan kantongmu yang tebal namun lupa bahwa kau hanyalah seorang kakek-kakek renta,” balas Je tak kalah sinis.     Constantine mengebaskan jasnya lalu memandang lurus ke depan. Bersiap melakukan pemotongan pita.     Proses peresmian pun akhirnya dimulai.      Saat akan menggunting pita, sebuah sorotan lampu flash menerjang matanya. Jantung Je berdetak cepat dan dadanya kembali sesak. Ia berhenti sejenak dan mulai kehilangan nafasnya. Constantine terkejut melihat respon Je yang tidak kunjung memotong pita dan malah diam saja. Hujaman lampu flash yang kini tersorot padanya membuat Je lemas. Ia menjatuhkan guntingnya ke tanah.      Ia tidak tahan dengan situasi ini atau lebih tepatnya tidak bisa dalam situasi ini. Ia mengepalkan tangan dan menguatkan kakinya. Tanpa mempedulikan apapun, ia berjalan pergi. Meninggalkan sejuta pertanyaan dari para wartawan. Apa yang sebenarnya terjadi pada Je? Bella yang terkejut kekasihnya meninggalkan tempat peresmian langsung mengejarnya.      “Je, ada apa sebenarnya?” tanya Bella sambil menarik tangan Je hingga pria itu menghadap padanya.      Wajah Je terlihat sangat marah namun pucat di saat yang bersamaan.      “Aku hanya tidak menyukai sindiran dan tatapan tajam mereka. Ayo kita pergi dari sini,” jawab Je sambil menarik tangan Bella menjauh, walau sebenarnya wanita itu masih ingin tampil di depan awak media.      ***     “APAAA?? Jeremy pergi begitu saja!” teriak Sally dari dalam ruangan kerjanya sambil menggebrak meja. Ia sungguh marah dengan apa yang Je lakukan. Benar-benar mempermalukan keluarga di depan umum. Bisa-bisanya di acara sepenting ini, putra sulungnya itu malah pergi dan sekarang tiba-tiba datang dalam pertandingan persahabatan yang tidak penting itu. Nama Je tidak terdaftar dalam pertandingan itu tapi informasi yang Sally terima dari asistennya mengatakan Je tiba-tiba datang bersama Bella langsung meminta dimasukkan sebagai daftar pemain.      Tangan Sally terkepal. Masalah apa lagi yang Je timbulkan saat ini? Anak itu harus diberi pelajaran. Ia mengambil ponselnya dan menghubungi Je. Dan panggilan itu diangkat oleh Bella.      “Di mana Je? Aku harus berbicara dengannya segera!” ucap Sally penuh penekanan. Nyali Bella langsung ciut begitu berhadapan dengan Sally. Sally tidak pernah menyetujui hubungannya dengan Je.      Bella langsung berlari ke pinggir lapangan dan dengan terbirit-b***t ia memberikan ponsel Je.     “Mamamu..” ucap Bella lirih. Je memutar bola matanya malas. Ia tahu pasti kabar ia mangkir dari peresmian tadi adalah masalahnya. Je mengangkat malas ponselnya.      “Hmm…”      “Apa yang kau lakukan di peresmian tadi? Mengapa kau pergi begitu saja sebelum menyelesaikan peresmian? Tahukah kau betapa malunya seluruh jajaran direksi kita saat kau pergi? Berapa banyak komentar negatif yang akan muncul di media massa esok hari? Tahukah berapa banyak penurunan nilai saham kita dari sana? Dan itu semua karena KAU, JE!” omel Sally penuh penekanan dan nada frustasi.      Raut wajah Je berubah menegang seketika. Tangannya terkepal dan lagi-lagi Ibunya marah dengan tidak mempedulikan situasinya.      “Mama menyesal mengangkatku menjadi CEO? Bagaimana jika Jo saja yang menggantikanku? Bukankah ia selalu jadi anak kebanggan Mama?”      “HENTIKAN UCAPANMU, JEREMY! Mama lelah berurusan denganmu!”     “Sama. Mari kita hentikan ucapan tidak penting ini.”     Klik!     Jeremy mematikan panggilannya. Ia tidak mau terbawa emosi yang menghancurkan mood basketnya hari ini. Ia ingin bersenang-senang.      Di sudut sana, wajah Sally terlihat merah padam karena amarah.      “Bisa-bisanya kau melakukan itu. Kau ingin menghancurkan Ibumu sendiri rupanya. Dasar pembuat onar!”      Pintu ruangan Sally diketuk. Pelayan mengantarkan undangan kepadanya.       UNDANGAN PEMBAHARUAN JANJI NIKAH RIVALDI DAN CELLINE     Di bawahnya tertulis hari dan tempat dilaksanakan acara. Sally menghela nafas panjang untuk menenangkan dirinya. Ia terduduk beberapa saat sambil memikirkan apa yang sebenarnya terjadi antara dirinya dengan Jeremy. Sepintas rasa sesal karena memaki putranya timbul di hati Sally. Ia berpikir mungkin pergi ke Surabaya untuk sementara waktu bersama dengan keluarganya akan membuatnya berbaikan dengan Je. Tanpa gangguan, tanpa basket atau urusan lain dan hanya mereka.      Walau Sally adalah orang yang keras kepala, dominan dan cenderung otoriter, bagaimanapun juga Sally adalah seorang Ibu yang mudah merasa bersalah jika ia menyakiti hati anak-anaknya. Sally mencintai mereka walau cara yang ditunjukkannya seringkali ditangkap dengan cara yang salah.      “Mungkin di Surabaya, aku bisa memperbaiki semuanya.”  *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD