3. Dia Yang Kumau

2825 Words
    Ponsel Je berbunyi dan begitu membaca nama yang tertera di atas layar ponselnya, ia melebarkan senyumannya.      “Good morning, Grandma… Tumben, pagi-pagi sudah menelepon.”     “Dasar anak nakal! Seolah Grandma mengganggu pagimu saja.”     “Bercanda, Grandma… Ada perlu apa Grandma meneleponku?”     “Grandma baru saja mendapatkan undangan Uncle Riva dari Surabaya. Mereka akan melangsungkan upacara pembaruan janji nikahnya minggu depan. Kau tidak ada jadwal pertandingan atau Latihan kan?”     Je mencoba mengingat jadwal pertandingannya.     “Sepertinya tidak ada. Pertandingan pre-season masih diadakan tiga bulan lagi dan latihanku masih bisa diatur.”     “Baguslah kalau begitu, kita sekeluarga berarti bisa menghadiri acara penting itu.”     Sejenak Je berpikir. Jika sekeluarga pergi, berarti besar kemungkinan Ibunya akan ikut juga dan kali ini bersama musuh bebuyutan sekaligus adiknya, Jo. Haruskah ia ikut?     “Je?” panggil Viona yang langsung mengejutkan Je.     “Oh… maaf aku tadi memikirkan sesuatu.”     “Tentang Sally? Grandma pikir sudah saatnya kalian memiliki waktu berbicara dari hati ke hati. Dan Grandma pikir ini waktu yang baik. Ah… sudahlah. Grandma ingin kita semua datang.”     “Tapi…”     “Grandma pesankan tiket untukmu ya… Grandma tunggu di bandara seminggu lagi. Bye!” putus Viona tanpa mempedulikan ucapan Je. Je hanya bisa mendengus sebal. Jika Viona sudah mengatakan hal itu, Je tidak akan bisa menolak.     KLIK!     Begitu panggilan itu dimatikan, Sally yang sedari tadi duduk di samping Viona menunggu respon Viona. Ia meminta Viona yang menghubungi Je karena Sally tahu Je tidak akan menuruti ucapannya. Hanya Viona saja, Je akan taat.     “Anak itu pasti datang. Mama yakin,” ucap Viona sambil menepuk-nepuk paha Sally.     “Semoga. Aku hanya ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan Je. Itu saja.”     “Mama tahu…”   ***     Seminggu kemudian di bandara internasional San Fransisco      Seluruh anggota keluarga Halim beserta Viona sudah menunggu di pintu masuk bandara, kecuali Je. Hingga tiba waktunya boarding, putra sulung keluarga Halim masih belum menunjukkan batang hidungnya. Viona tidak dapat menghubungi Je dan hanya mendapati kotak suara. Begitu juga saat Sally atau siapapun mencoba menghubungi Je.      “Hah, sudahlah. Mari kita masuk ke dalam. Biar anak nakal itu menanggung akibatnya,” putus Sally dengan jengkelnya.      “Sudahlah… jangan berlebihan, mungkin Jeremy sedang mengalami kemacetan. Kita tunggu saja di dalam.” George tampak berusaha berpikir positif mengenai putranya sekaligus mencoba menenangkan Sally.      Saat seluruh anggota keluarga masuk, mereka terkejut karena Je sudah ada di dalam ruang tunggu. Dengan kaos kedodoran, celana belel, topi serta kacamata hitamnya sambil mendengarkan musik dari ponselnya. Sally yang sudah geram dengan tingkah putranya yang tidak bisa dihubungi itu langsung menarik earphone hingga Je menoleh marah ke arahnya.      “APA YANG MAMA LAKUKAN?”      “Kau sendiri tahu apa yang sudah kau lakukan? Semua orang menunggumu dengan cemas dan kau tiba-tiba sudah di sini tanpa memberi kabar!” Belum juga berangkat, mereka sudah ribut seperti ini. Je langsung membuang mukanya, hatinya ikut merasa panas karena bentakan Ibunya yang selalu menyalahkannya.      “Sudah… jangan buat keributan di sini. Ayo kita masuk ke pesawat,” kata George berusaha melerai lalu menarik tangan Sally dan merangkulnya masuk ke dalam.      Sepanjang antri masuk ke dalam pesawat, hati kecil Sally kembali terusik. Ia ingat tujuannya berangkat adalah untuk berdamai dengan Je. Nyatanya, lagi-lagi ia terlibat pertengkaran yang tidak penting. Ia harus berbaikan di dalam pesawat.      Saat di dalam pesawat, Sally yang seharusnya mendapatkan tempat duduk di sebelah kaca jendela sengaja menukar tempat duduknya dengan Viona. Ia ingin duduk di samping Je. Siapa tahu waktu penerbangan yang panjang ini, ia bisa kembali berbicara dengan putranya walau hanya sebentar. Meminta maaf karena membentak dan mempermalukannya di depan umum tadi.      Tapi betapa mengejutkan respon yang Je berikan saat mengetahui kursi di sebelahnya diduduki oleh Ibunya.      “Mau apa Mama duduk di sini? Bukankah tempat duduk Mama di dekat kaca?”      Lagi, hati Sally terasa dicabik. Ucapan sinis Je terasa seperti pedang yang mengiris-iris hati Sally. Niat hati ingin Kembali menjalin kedekatan dengan putranya tapi ia malah mendapatkan penolakan. Hati Ibu mana yang tidak hancur Ketika darah dagingnya sendiri menolaknya?      Wanita itu tersenyum kecut lalu tetap bersikeras duduk di samping Je tanpa mempedulikan ucapan putranya. Kali ini walau geram sekalipun, ia tidak mau membuat masalah. Je juga tidak ingin banyak berdebat. Ia memilih menggunakan headset, memutar lagu favoritnya sambil mencoba menidurkan diri daripada mengobrol dengan Ibunya. Sally hanya bisa menghela nafas dan mencoba mengalihkan perhatiannya pada laptop di hadapannya.      Keduanya kembali perang dingin. Tanpa sepatah kata, tanpa ada inisiatif untuk memulai pembicaraan dan hanya diam sepanjang perjalanan. Je lebih banyak berkomunikasi dengan Viona, sedikit dengan George dan hanya sebatas meminta sesuatu atau mengucap permisi pada Jo. Tapi dengan Sally? Menoleh saja tidak. Bagaimana rasanya seorang Ibu yang diacuhkan oleh putranya sendiri? Sedih dan sakit hati bukan? Tapi semua itu ditelan oleh Sally karena ia tidak mau membuat masalah lebih banyak lagi dengan Je.      Hampir dua puluh jam penerbangan, terhitung dengan transit di dua negara, akhirnya mereka sampai di Surabaya. Dan apa yang Sally harapkan nyatanya tidak bisa terjadi dengan mudah di Surabaya. Keesokan harinya, ia mendapatkan kabar mengejutkan. Marty, asisten Je yang terakhir mengundurkan diri karena tidak tahan dengan tekanan pekerjaan. Nyaris semua pekerjaan Je, Marty yang mengerjakan dan semuanya itu sangat melelahkan. Ditambah tekanan dari banyak pihak agar Marty membawa Je kembali ke kantor dengan jadwal yang lebih regular.      Tidak berhenti sampai sana, Sally mendapatkan desas-desus bahwa dewan direksi menginginkan Je turun dari jabatannya sebagai CEO. Je hanya mementingkan basket daripada mengurus segala hal tentang perusahaan. Mereka keberatan dengan itu.      Sally memijit keningnya dan amarahnya memuncak saat itu berkaitan dengan Je dan hotelnya.      “Astaga! Apa yang harus kulakukan dengan anak itu? Mengapa dia tidak pernah berhenti memberi masalah?” gumam Sally gemas.  *** Beberapa saat setelah bertemu Anya,      “Nona muda, pastikan besok kau datang ke suite di hotel ini pukul 10 pagi dengan membawa CV-mu. Aku akan menginterview-mu langsung,” kata Sally begitu Anya selesai memperkenalkan diri. Sally meninggalkan Je dan Anya setelah penunjukkan langsung Anya untuk menjadi asisten Je. Meninggalkan gadis muda yang masih kebingungan itu dan Je yang masih memandangi Sally penuh permusuhan.      Sally menghela nafasnya lalu mengambil ponselnya, mengubungi asistennya.      “Carikan aku semua informasi tentang Anastasia Raffles dan aku ingin data itu dikirimkan padaku malam ini.”      Pasangan suami istri yang tengah berbahagia itu kini berjalan mendekati Sally dengan membawa gelas minumannya setelah sebelumnya menyapa para tamu undangan. Sally memasang senyuman terbaiknya untuk memberi selamat pada adik dan adik iparnya. Ia memeluk Rivaldi dan Celline bergantian sambil mengucapkan selamat.      “Aku lihat Kakak sepertinya bertengkar dengan Je?” tanya Rivaldi yang sedari tadi sempat melihat Sally terlibat adu mulut dengan Je.      Entah mengapa menjawab pertanyaan Rivaldi rasanya berat bagi Sally. Ia menghela nafasnya.      “Begitulah. Anak itu makin lama makin sulit untuk diatur. Dia bukan anak kecil lagi tapi perilakunya masih sama seperti anak-anak. Aku sampai bingung harus berbuat apa lagi padanya.”      Celline mengelus punggung Sally.     “Mungkin ini sudah saatnya Kakak melepaskan Je. Dia sudah dewasa dan sudah bisa menentukan hidupnya sendiri.” Sally memandang Celline, entah mengapa ada rasa tidak setuju dengan ucapan adik iparnya itu. Sally hanya tersenyum kecut.      “Ngomong-ngomong, itu Anya! Dia datang rupanya,” seru Celline dengan senyuman lebarnya saat melihat Anya. Sudah tidak ada lagi permusuhan atau kebencian atau bahkan rasa cemburu di hati Celline. Anya terlihat seperti teman lamanya.      Seruan Celline sontak mengejutkan Sally.      “Kalian mengenal Anya?”      “Tentu saja. Dia wanita yang baik, gigih, bertanggung jawab dan penuh kelembutan. Benar kan, Kak?” tanya Celline sambil menyenggol Rivaldi. Rivaldi tersenyum mengangguk lalu memeluk pinggang Celline.      “Dia mantan sekretarisku juga adalah sahabat Becca. Anya anak yang cerdas. Semua pekerjaannya diselesaikan dengan rapi. Pemikirannya di atas rata-rata orang kebanyakan dan dia juga mandiri serta pekerja keras. Dia wanita serba bisa dan ia pandai menempatkan diri.”      “Wah..wah… wah… sepertinya wanita idaman ya?” sindir Celline dengan nada bercanda. Rivaldi terkekeh karena ia mengetahui maksudnya. Ia menyentil hidung istrinya lalu menciumnya di hadapan Sally yang merasa jengah dengan semua romantisme adiknya.      “Sudah… sudah… ku tidak ingin iri melihat kalian seperti pengantin baru. Aku akan mencari George.” Kaki Sally melangkah menjauh dan ia mencari-cari suaminya di tengah kerumunan undangan. Tiba-tiba tangannya ditarik oleh Becca menjauh dari kerumunan.      “Aunty… Aunty tadi sudah melihat Anya kan?” Wajah Sally yang terkejut karena tarikan tangan Becca tadi berubah menjadi penuh tanda tanya. Mengapa semua sanak saudaranya mengenal Anya? Apakah wanita itu memang spesial?      “Iya, tadi aku sempat berbicara dengannya sekilas.”      “Menurut Aunty bagaimana?” Kali ini Becca bertanya dengan nada berbinarnya seolah ingin meminta sesuatu.      “Seharusnya aku yang menanyakan itu padamu. Memangnya ada apa dengan Anya? Mengapa semua orang sepertinya mengenalnya?”      Merasa kali ini diberikan kesempatan berbicara, Becca langsung menegakkan tubuhnya dan menatap Sally dengan yakin.      “Anya itu sahabat terbaikku. Dia wanita yang baik. Sangaaattt baik. Setia, rela berkorban, cerdas, gigih, cantik, belum lagi dia itu…”      “STOP!” seru Sally menghentikan Becca untuk berbicara lebih tentang Anya. Sepertinya keponakannya menyebutkan semua hal tentang Anya secara berlebihan. Ia tidak percaya ada wanita sesempurna itu di dunia.     “Aku sudah cukup banyak mendengar tentang kebaikan Anya dari Papa dan Mamamu. Tapi aku belum pernah mengetahui hal buruk tentang Anya.”      “Hal buruk?”      “Kita tidak bisa memastikan atau membuat keputusan apapun tanpa mengetahui semua sisi bukan? Aku sudah cukup banyak mendengar semua hal baikya, now tell me… apa keburukan Anya?”     Becca tampak berpikir sejenak. Di matanya Anya adalah seorang wanita yang sangat sempurna dan dia sahabat paling istimewa baginya.      “Kurasa… hanya satu.”      Mata Sally berbinar penasaran. Ia mendekatkan wajahnya ke arah Becca.      “Dia tidak memiliki kekurangan!” Becca lantas tertawa tapi Sally menghela nafas kecewa. Ia berharap mendapatkan sesuatu ternyata yang ia dapat malah lelucon.      “Sudahlah. Aku akan cari sendiri saja. Terima kasih rekomendasinya.” Belum juga Sally menjauh, Becca menarik tangan Sally lagi.      “Becca! Apa-apaan sih?” Sally mendengus sebal. Keponakannya ini masih suka bertingkah seperti anak kecil.      “Aunty, tolong pertimbangkan Anya untuk bekerja di tempat Aunty ya… Dia layak mendapatkan yang terbaik. Kumohon… Plisss….” Becca mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali dan membuat wajah imut agar Sally menerima permohonannya. Becca berusaha mengais belas kasihan dari bibinya untuk Anya. Ia hanya ingin sahabatnya mendapatkan yang terbaik.      Sally hanya menghela nafas. Untung saja Becca anak dari Rivaldi, jika Becca adalah anaknya, sudah bisa dipastikan Sally akan ‘menyemprotnya’ habis-habisan.      “Aunty akan lihat hasil interview-nya besok.”      “Terima kasih, Aunty!” Becca menyelipkan ciuman di pipi Sally. Wanita itu langsung pergi setelahnya.  ***     Keesokan harinya, seperti yang diinginkan Sally, Anya datang untuk melakukan interview. Sebelum berjalan menuju suite room Sally, Anya ingin memastikan penampilannya dengan baik. Ia masuk ke dalam toilet wanita lalu memperbaiki dandanannya. Kemarin malam ia menginap di rumah Becca karena pesta berakhir cukup larut dan Anya pasti ketinggalan bus malam. Becca memaksanya untuk menginap dan Anya setuju. Lagipula pagi ini ia akan menemui Sally.      Anya sebenarnya tidak membutuhkan pekerjaan karena ia masih berstatus staff dari Yayasan pemberi beasiswa dan pendidikan anak di Indonesia. Tapi tidak ada salahnya untuk mencoba. Mengingat peluang diterimanya cukup besar dan namanya direkomendasikan oleh yang bersangkutan sendiri, Je. Anya tidak berharap banyak untuk diterima tapi juga tidak mau mencoba tanpa usaha. Jadi ia akan tampil apa adanya hari ini. Jika diterima maka ini sebuah berkat. Jika tidak pun, Anya tidak akan kecewa. Anggaplah ini hanya ajang coba-coba berhadiah. Tidak ada salahnya bukan?     Anya mematutkan dirinya di cermin. Memastikan kemeja lengan panjang hijau mudanya terlihat rapi, menambahkan bedak di beberapa sisi wajahnya yang berminyak lalu mengikat ekor kuda rambut panjangnya. Setelahnya ia menghela nafas dan melangkah menuju ke suite room Sally.      Ia membunyikan bel beberapa kali dan pintu itu langsung terbuka. Seorang pria berwajah bule dengan campuran Asia yang masih mengenakan jubah tidur yang membukakan pintu untuknya dengan tersenyum.     “Miss Anya? Come on in..” ucapnya mempersilakan Anya masuk. Anya sedikit bingung bagaimana pria itu bisa mengenalnya? Siapa pria itu? Dan mengapa wajahnya mirip dengan Jeremy?      “Sally sudah menceritakan semuanya. Tunggulah di sini. Aku akan memanggil istriku,” kata George lagi dengan bahasa Indonesia yang sangat fasih, seperti orang yang sudah lama tinggal di Indonesia.      Baru dari sana Anya menyadari bahwa George adalah ayah Je dan suami Sally. Pantas saja Je menjadi pria yang tampan. Ternyata, bibitnya saja impor apalagi itu bibit unggulan. Wajah George terbilang tampan untuk ukuran pria paruh baya dan tubuhnya masih terlihat tegap dan atletis walau di bagian perutnya sedikit membuncit. Tapi itu tidak mengurangi ketampanan wajah pria itu sedikit pun.      Belum lagi aura bersahabat dan ramah yang ditunjukkannya. Anya merasa diperlakukan dengan nyaman sejak ia menjejakkan kaki di dalam kamar hotel mewah itu. George memang menawan. Ia yakin George pasti menjadi incaran banyak wanita di masa mudanya.      Anya duduk di sofa yang ada di bagian tengah ruangan dan menunggu Sally datang dengan perasaan tegang. Sudah dua tahun ini ia tidak menjalani interview jadi ia sedikit tegang untuk kembali melakukannya. Ia mengambil nafasnya beberapa kali agar lebih tenang.       Tak berapa lama wanita modis itu datang di balik jubah tidur yang sama seperti milik George. Dan tanpa make up, perhiasan dan pakaian berkelasnya, wajah Sally tetaplah cantik. Kulitnya mulus, tanpa keriput, walau usianya menginjak setengah abad sekalipun. Anya menyadari ternyata bentuk dan warna mata Je sama dengan mata Sally yang kecoklatan dan cenderung sipit.      Sally duduk di hadapan Anya dan menyilangkan kakinya penuh keanggunan. Anya menyodorkan berkas berisi CV dan lamaran kerjanya di hadapan Sally. Memandang Sally tak ayal membuat jantung Anya berdetak tak karuan. Susah payah ia menenangkan dirinya tapi entah mengapa begitu melihat Sally, ia kembali diliputi rasa grogi itu lagi. Sepertinya karena aura d******i Sally begitu kuat terpancar. Di balik kecantikan dan penampilannya modis, Sally memiliki karisma tersendiri. Siapapun di dekatnya bisa merasa segan dan tunduk pada wanita itu. Sekarang Anya merasakannya.      Sally membuka berkas Anya lalu memeriksa seluruh datanya.      “Jadi, Anya… ceritakan padaku tentang dirimu…”      Anya mengambil nafas dan menceritakan semua tentang dirinya dengan jujur. Ia mengakui semua potensi dan kekurangannya di hadapan Sally. Sally bisa melihat jawaban Anya begitu jujur. Ia tidak melebih-lebihkan agar tampak baik atau menutupi sesuatu. Apa adanya. Itulah kesan yang Sally tangkap dari Anya dan ia menyukai wanita itu. Kejujuran adalah kunci dalam pekerjaan. Itulah moto yang Sally pegang dan ia mendapatkan itu semua dalam diri Anya.      Kini Sally mencoba menguji kemampuan Anya dalam hal bisnis, organisasi dan kemampuan bahasa Inggris. Anya mampu menjawab semua pertanyaan Sally dengan cerdas dan dalam Bahasa Inggris yang sangat lancar. Bahkan dengan lihai, Anya juga bisa berbicara dalam Bahasa Belanda, Jerman dan Perancis. Saat ia berkuliah di Belanda, ia sering bertemu dengan teman-teman dari negara lain. Jadi ia belajar sedikit demi sedikit dari mereka. Dan ternyata itu sangat berguna di dunia perhotelan yang sekarang ia lamar.      Sally benar-benar puas. Wanita di hadapannya memang kandidat terbaik untuk menjadi asisten Je serta layak diterima sebagai Staff Hotel-nya. Ia bisa percaya pada Anya karena kemampuannya.      Walau sebenarnya semalam Sally telah membaca latar belakang Anya dari asistennya. Ia tahu Anya adalah anak Jacky Raffles, seorang tahanan yang hampir saja membunuh nyawa Rivaldi dan Celline. Ia juga tahu semua kabar miring tentang Anya dan skandalnya dengan adik kandungnya. Namun, Rivaldi menjelaskan semuanya itu hanyalah gossip belaka. Tidak ada hubungan apapun di antara mereka sekarang bahkan Celline sendiri juga mengiyakan.      Sally tidak mempedulikan latar belakang Anya. Yang ia tahu dan ia pegang dari Antony, ayahnya, adalah untuk tidak menilai seseorang dari latar belakangnya. Karena semua orang berhak mendapatkan kehidupan barunya dan dinilai berdasarkan kemampuannya.      “Baiklah. Aku sudah tahu kemampuanmu. Aku akan mengurus visa kerjamu dan dalam satu minggu kau akan berangkat ke Amerika. Persiapkan dengan baik!” kata Sally sambil bangkit berdiri. Anya terkejut sekaligus senang dengan keputusan tiba-tiba Sally.      Tapi satu minggu? Waktu yang sangat cepat dan ia belum menyiapkan apapun bahkan untuk memberitahu Erica, Ibunya sekalipun.      “Bu Sally… apa tidak terlalu cepat? Karena saya belum mempersiapkan semuanya termasuk tempat tinggal selama di sana… dan…”      “Kau tidak perlu menyiapkan apapun. Tempat tinggal, transportasi, makanan dan semua yang kau butuhkan akan disiapkan. Tinggal bawa dirimu dan pastikan datang. Tiket pesawat akan dikirimkan asistenku pada emailmu.” Memang terasa sekali aura pemimpin dan d******i Sally. Semuanya sudah diatur dan Anya hanya perlu membawa dirinya sendiri.      “Terima kasih, Bu… Terima kasih…” ucapnya penuh bahagia. Bekerja di Amerika? Bukankah itu mimpi berjuta-juta manusia? Dan Anya mendapatkannya hari ini juga!  ***      Sehari setelah menemui Anya, Sally mendapat panggilan dari asistennya.      “Kau sudah yakin akan hal itu?”      “…”      “Carikan dokter terbaik di Singapura. Persiapkan perawatan terbaik di sana dan katakan pada mereka, berapapun biayanya aku akan membayarnya. Lalu bawa dia ke sana. Aku tidak ingin rencanaku kacau hanya karena masalah ini. Mengerti?”      “…”  ***  A/N: Biaya dokter? Siapa yang sakit?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD