London

1133 Words
"Ben benar-benar mirip denganmu Dean. Cara dia menjalankan perusahaan sangat persis denganmu." Ben tersenyum mendengar pujian dari Alfred, adik dari kakeknya itu. Ia selalu senang setiap kali orang-orang menyamakannya dengan Dean. Ada kebanggaan tersendiri yang ia rasakan. Ben tahu betul bagaimana sifat ayahnya apalagi dalam menjalankan bisnisnya yang selalu menjadi panutan bagi Ben. Ia selalu ingin menjadi seperti ayahnya bahkan kalau bisa lebih dari ayahnya. "Tentu saja Paman, dia adalah putra kebanggaanku satu-satunya," balas Dean menanggapi sembari menepuk-nepuk pelan punggung Ben membuat Ben kini tersenyum malu. Hatinya hangat mendapat pujian yang terdengar begitu tulus dari ayahnya. Bayangan masa kecil yang tidak begitu bagus saat dulu ayahnya belum sepenuhnya menerima kehadiran Ben itu seolah sudah sirna. Ia bahkan tidak pernah menganggap hal itu, baginya sejak dulu ayahnya itu sudah menyayanginya. "Apa ada kesulitan Ben? Kakek pikir tidak mudah mengerjakan semuanya. Ayahmu ini ternyata tidak memberi jeda bisnis-bisnisnya hingga tanpa sadar sudah tersebar terlalu luas," ucap Alfred yang membuat Dean terkekeh. Padahal dulu ia yang banyak mengajarkan Dean tentang bisnis dan terus mendukung Dean mengembangkan bisnisnya. Kini malah dirinya sendiri yang dibuat geleng-geleng kepala saat menyadari usaha Dean sudah merambah ke berbagai bidang. "Tidak Kakek, Ben senang mengerjakan semuanya. Lagi pula ayah banyak membantu." Alfred mengangguk-anggukkan kepalanya paham. Meskipun seluruh bisnis mereka kini beralih pada Ben, namun bukan berarti Dean lepas tangan begitu saja. Dean tetap rajin memantau dan membimbing Ben. "Lantas jika begitu, bukankah sudah waktunya Dean memiliki menantu?" Ben hanya mampu tersenyum menerima godaan Alfred. Ia sudah sangat terbiasa. Godaan yang menjerus pada pernikahan itu sudah begitu sering ia dengarkan pada siapapun. Padahal usianya baru 28 tahun. Bukankah belum terlalu lambat untuk menikah. Masih banyak orang-orang seumurannya yang bahkan masih belum tahu harus melakukan apa dalam hidupnya dan belum menjadi siapa-siapa. Oleh karena itu Ben hanya menanggapinya dengan santai dan menganggap itu sebagai candaan semata. "Ini bukan zaman dimana seseorang harus cepat-cepat menikah Paman. Aku di usia Ben masih sibuk meminjam uang Paman untuk modal," kata Dean menimpali. Ben melirik ayahnya yang jauh lebih santai darinya. Ben dibuat semakin kagum. Ben yakin pasti sangat tidak mudah bagi ayahnya dulu yang hanya bermodal harta peninggalan orang tuanya sebelum meninggal untuk merintis usaha yang pastinya ada jatuh bangunnya juga. "Ya memang, tapikan sekarang keadaannya sudah beda. Ben bahkan sudah sangat mapan dan bisa membangun perusahaannya sendiri. Lagi pula belum tentu nanti aku bisa melihat cicitku tumbuh besar." "Kenapa Kakek berbicara seperti itu? Tentu saja Kakek bisa. Kakek masih sangat segar bugar. Kakek bahkan bisa melihat cicit kesepuluh Kakek lahir nanti," kata Ben menengahi pembicaraan itu membuat Alfred terkekeh. Ia masih bisa melihat Ben tumbuh dengan baik saja rasanya sudah sangat senang. "Ayah... apakah sudah bisa kita pergi sekarang?" Seseorang datang di tengah-tengah obrolan mereka. "Apa Naomi datang kesini hanya untuk pergi jalan-jalan dan bukannya menjenguk kakek?" Tanya Alfred dengan wajah pura-pura sedih membuat Naomi yang tadinya ingin duduk di samping Dean mengurungkan niatnya menjadi duduk di samping Alfred. "Tentu saja aku datang untuk menjenguk Kakek. Tapikan Kakek sudah sangat sehat, jadi tidak ada salahnyakan aku pergi berkeliling? Semuanya sangat sibuk belakangan ini hingga tidak ada yang mengajakku untuk ke London." Naomi mengerucutkan bibirnya sebagai sebuah protes melirik Ben dan Dean secara bergantian. Kedua pria tampan beda usia itu memang sangat sibuk belakangan ini dengan pekerjaannya. Oleh karena itu, Naomi yang menyusul ibu dan ayahnya ke London saat menjenguk Alfred yang sedang sakit bersama Ben itu memanfaatkan waktu sekaligus untuk jalan-jalan. "Baiklah... baiklah... pergilah Sayang." Alfred mengelus pucuk kepala Naomi penuh sayang. "Tapi Naomi akan pergi dengan mobil Kakek yang paling mahal. Bolehkan?" "Tentu saja, kau boleh membawa yang manapun." Naomi tersenyum sumringah. Bagi Naomi hidup seperti seorang putri tidak hanya di dongeng-dongeng saja karena ia merasa selalu menjadi tuan putri di kehidupan nyatanya. "Ayo Ayah," ajak Naomi. Ia sudah meminta Dean tadi untuk menemaninya. "Bagaimana jika Naomi pergi dengan Ben? Ayah masih harus membicarakan tentang perawatan kakek ke depannya. Dia tidak ingin dirawat jika tidak dibujuk." Naomi kembali melirik Alfred dengan mata yang memicing seolah memberikannya peringatan yang sangat keras kepala tidak ingin mendengarkan ucapan ayahnya. Ia sudah tidak muda lagi, tentu saja ia harus lebih memperhatikan kesehatannya agar tidak gampang sakit. Isabella, anak satu-satunya Alfred sudah angkat tangan tidak bisa mengatasinya lagi. Jadi Dean lah yang harus turun tangan. "Baiklah, ayo Kak." Ben mengangguk kemudian bangkit dari duduknya. "Apakah Kakak sudah menyiapkan uang yang banyak? Aku akan berbelanja banyak hari ini," kata Naomi sembari melenggang pergi. "Apa aku pernah tidak ada uang?" Balas Ben santai tersenyum simpul mengikuti Naomi membuat Dean dan Alfred hanya bisa geleng-geleng kepala sembari tersenyum. Keduanya tumbuh menjadi saudara yang saling menyayangi. "Dimana Ibu?" Tanya Ben saat mereka berjalan keluar dari mansion milik Alfred. "Ibu dan bibi Isabella sedang bercerita di kamar bibi," jawab Naomi. Ben mengangguk-anggukkan kepalanya paham. "Jadi ingin pakai mobil yang mana?" "Satu-satunya Lambo yang dibuat khusus untuk kakek itu." Naomi menunjuk satu mobil dari puluhan mobil yang sudah menjadi incarannya. Dean mengangguk menyanggupi kemudian mereka langsung memasuki mobil berwarna hitam dengan aksen hologram itu. Naomi benar-benar sangat bersemangat ia sudah memikirkan apa saja yang akan ia lakukan dan ia beli nantinya. *** "Ayo Ibu ceritakan lagi bagaimana pertemuan Ibu dengan ayah." "Bukankah ibu sudah sangat sering menceritakannya?" "Memang, tapi aku suka mendengarnya." Lily menggeleng sembari tersenyum melihat putrinya itu sembari terus melanjutkan membereskan koleksi-koleksi tasnya di walk in closet khusus miliknya sementara Naomi duduk di sofa yang berada di ruangan itu memperhatikan setiap gerak-gerik ibunya. "Pasti Ibu sangat menyayangi ayah makanya ibu tetap menerima ayah meskipun ayah sudah memiliki anak." "Tentu saja ibu sangat menyayangi ayah." Lily yang sudah menyelesaikan beres-beresnya mengambil posisi duduk di samping Naomi. "Apakah Ibu benar-benar tidak masalah saat tahu ayah sudah memiliki anak?" "Tidak, ibu bahkan lebih dulu jatuh cinta pada kakak dari pada ayahmu," jawab Lily. Naomi mengangguk-anggukkan kepalanya paham. Ia sudah mendengarkan jawaban itu juga sebelumnya. "Meskipun aku dan kak Ben tidak satu ibu, tapi aku merasa bahwa aku dan kak Ben benar-benar seperti satu ayah dan ibu." "Ya, sejak dulu Ben selalu menyayangi Naomi." Lily mengelus rambut panjang putrinya sementara Naomi mengangguk setuju. Sejak kecil ia sudah sangat menempel pada Ben. Naomi bahkan sangat susah saat harus melepas Ben saat berkuliah di Cambridge saat itu. Ia sudah sangat terbiasa dengan adanya Ben di sampingnya, jadi terasa aneh jika Ben tidak ada. Hingga saat ini, Naomi hanya tahu bahwa Ben adalah anak dari pernikahan Dean sebelum dengan Lily. Ia bahkan tidak tahu bahwa Ben sebenarnya bukanlah anak kandung Dean. Dean dan Lily sepakat untuk tidak memberitahu Naomi tentang hal itu. Lagi pula bagi mereka itu tidak terlalu penting. Semua orang juga tahu bahwa Ben adalah anak kandung Dean. Yang mengetahui masa lalu mereka hanya penghuni mansion saja. Dean dan Lily ingin anaknya saling menyayangi tanpa harus memikirkan hal itu. Benpun juga setuju untuk ikut merahasiakan hal ini dari Naomi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD