BAB 1 Berapa Harganya!
“Sudah berapa kali aku katakan, berikan wanita itu kepada kami. Berapa harga yang harus kami bayar, aku akan menebusnya dari tempat busuk ini,” desis pria dingin berwajah datar itu.
Camila tertawa kecut, menanggapi apa yang baru saja didengarnya, ia yang merupakan seorang mucikari yang paling terkenal di Club Paradise yang terletak pada kota Barcelona perbatasan dengan Barcelona hanya menunjukkan smirk kejamnya. Ia menganggap remeh dua pria tampan yang tengah menunggu jawabannya lagi.
Mucikari yang bernama Camila itu lantas berdiri, ia berjalan anggun dan mengalungkan sejuntai kain berwarna warni dengan banyaknya kilauan payet bertabur bak bintang di hamparan kain tersebut ke leher pria yang berwajah lebih ramah.
“Bukannya kau yang paling mengingini jalang itu? Berani bayar berapa untuk jalang yang terlihat polos ini, tapi apakah kau tau sudah berapa laki-laki yang merasakan tubuhnya? Apakah, kau tidak jijik sama sekali, Tampan? Bagaimana kalau kau menghabiskan malammu bersama denganku saja?” Gelegar tawa Mucikari itu disambut dengan gelak tawa para bodyguardnya yang berjumlah lima dari enam orang yang memakai seragam.
Melihat bagaimana mereka meremehkan dirinya juga saudaranya, dia tak tahan lagi untuk hanya berdiri mematung dan bernegoisasi dengan damai sesuai saran saudaranya yang terlihat masih berusaha menguasai dirinya. “Aku akan membayarnya sesuai dengan apa yang kau minta, Camila,” sahut pria itu membuat Camila semakin tertawa lebar sembari memainkan alisnya. Semua itu terlihat sangat menjengkelkan!
“Wah! Aku, perlu waktu berpikir berapa jumlah uang yang aku inginkan, yah? Tapi, setelah aku pikir-pikir sebaiknya besok saja baru kita tawar menawar kembali. Malam ini aku lagi kurang mood, aku harus menghitung dan mempertimbangkan harga yang pantas juga kan?” desis Camila sambil mendekatkan wajahnya dan menjilat wajah pria yang terlihat lebih muda itu. Pemandangan yang sangat, menjijikkan di mata pria yang berwajah dingin itu.
“Ta-tapi, kami sudah datang kesini enam kali, dan selalu saja berakhir seperti ini. Pertemuan demi pertemuan selalu kau jadwalkan berulang kali, begitu terus yang terjadi, Mila. Ayolah Mila,” sahut sang adik, yang kali ini tak ingin pulang dengan tangan kosong.
Tetapi, baru saja Camila hendak menjawab dan mempermainkan pria tampan di hadapannya ini, tiba-tiba saja DOR! DOR! DOR! DOR! DOR! DOR!
Enam peluru dimuntahkan, suara teriakkan para pengawal mengoyak seisi ruangan, siapa saja terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Camila melihat ke enam anak buahnya sudah terkapar di lantai, tersisa hanya satu orang yang masih hidup, sedangkan ke lima orang lainnya sudah tidak bergerak bergerak sama sekali. Hanya terlihat bagian kepala dan d**a kiri mereka mengeluarkan sisa asap dari timah panas yang mengoyak paksa kulit hingga daging pada tubuh mereka.
“KA-KAU!” pekik Camila, DOR! Suara tembakan susulan kembali terdengar, peluru memantul di lantai keramik tempat Camila berdiri, tidak ingin membiarkan peluru itu terbuang sia-sia, sebuah goresan terlihat di sisi kiri betis sang mucikari yang sengaja diserempet oleh peluru yang baru saja dimuntahkan pistol GSh-15.
“Jason, sudahlah,” desah sang adik penuh sesal mendatangi dan menenangkan kakaknya yang sudah tidak bisa mentoleransi semua tingkah memuakkan dari Camila.
“Ini baru betismu saja yang aku serempat dengan peluru tajam dari pistolku. Apa, kau mau bernasib sama dengan kelima anak buah mu, itu? Dan Kau, yang dari tadi tidak ikut tertawa dan mengejek kami, hanya kaulah yang mendapat kemurahan perpanjangan umur dariku,” desis Jason menatap seorang pengawal yang masih meraung kesakitan karena paha yang terkoyak akibat tembakan tanpa aba-aba dari Jason.
“Camila ... maafkan kakakku yang cepat sekali emosi, aku akan membayar gadismu itu dengan sejumlah uang satu milyar dollar Amerika dan aku akan mengirim tukang bangunan untuk merenovasi ruangan yang rusak akibat kekacauan ini, lalu untuk ke lima anak buahmu yang telah meninggal ini, aku akan memberikan uang kompensasi senilai lima ratus juta sebagai penggantinya, bagaimana? Apakah ini bisa menjadi win-win solution untuk kita?” tanya Jorge adik dari Jason.
Tubuhnya gemetar, sebelum menjawab Camila menoleh dan melihat wajah Jason yang sekarang tidak tampan lagi, tapi lebih ke menyeramkan, mendapati sorot tajam dari netra Hazel di depannya, kepala Camila mengangguk pasrah kepada pria yang sangat ramah di hadapannya ini “Ba-baiklah, aku akan menjemputnya satu jam lagi. Ku mohon bisakah kamu menunggu satu jam lagi?” pinta Camila memohon kepada kedua pria dihadapannya.
“Akh! Akh! Akh!” Kembali suara Camila terdengar menahan dan memukuli tangan pria yang sedang mencekiknya, Pria yang sama seperti malaikat maut, tentu saja itu adalah Jason yang telah membunuh ke lima pengawal si Mucikari.
“Oh Lord ... Jason ... please turunkan dia.” Jorge menggeleng pusing melihat Jason yang tiba-tiba saja menerjang dan mencekik Camila dengan kerasnya.
“Demi Tuhan, Jason! Wanita itu akan mati jika kau tidak berhenti mencekik lehernya,” lirih Jorge dibalas dengan suara dengusan kesal dari Jason.
“Aku tidak ada waktu satu jam, katakan di mana dia, dan aku sendiri yang akan menjemputnya!” desis Jason.
“Apakah, kau mengerti?” Sekali lagi Jason memastikan bahwa mucikari di hadapannya ini paham jika, tidak akan ada lagi waktu satu jam tambahan, seketika itu juga Camila mengangguk dengan mata yang sudah memerah dan berair.
“Uhuk!!! Uhuk!!! Di-dia ada di lantai tiga, di kamar nomor seratus enam belas, dia sedang disewa oleh klien kami, Tuan,” ucap Camila terbata-bata, tanpa menunggu lama Jason langsung saja menarik baju pada bagian bahu kiri Camila dan menyeretnya dengan kasar.
“Kau, ikut bersama kami,” titah Jason, mereka berjalan menuju ke dalam Lift, sesampainya di lantai tiga Camila menunjukkan arah ke kamar nomor seratus enam belas dengan rasa gugupnya, ketika mereka tepat berdiri di depan pintu kamar yang dituju, tanpa ada aba-aba, seketika itu juga Jason langsung menendang pintu tersebut, begitu besar tenaganya hingga sekali tendangan saja pintu tersebut langsul jebol, bersamaan dengan terbukanya pintu itu, sebuah pemandangan memiluhkan juga terpampang nyata di hadapan Jason dan Jorge.
Tiga puluh menit sebelum pintu kamar nomor seratus enam belas dijebol oleh Jason.
“Tuan, ku mohon ... jangan sakiti saya, Tuan,” lirih wanita muda yang tubuhnya sudah dipenuhi bekas cambukan, tubuhnya gemetar menahan rasa perih dan ngilu di sekujur tubuhnya. Sialnya pria di hadapannya ini terlihat begitu menikmati setiap pukulan yang diayunkannya, setiap dia memukul dan mencambuk wanita itu maka dia merasa ada sebuah kelegaan dalam dirinya.
“Aku, sangat menikmatinya,” ucapnya sembari mendesah dan menyeka keringat di wajah menjijikkannya.
“Siapa namamu, Princess?? Hah?!” tanya pria tambun berambut gondrong ini sambil mengangkat dagu sang gadis yang menutupi separuh wajahnya.
Wajah yang sudah dipenuhi dengan air mata juga ingus, riasannya sudah luntur, maskara di matanya sudah meluber ke mana-mana, lipstik di bibirnya juga sudah bercampur dengan darah, membuat kecantikkannya tertutupi oleh warna riasan yang sudah berbentuk tak beraturan lagi dan tidak pada tempatnya.
“Calista, nama saya ... Calista, Tuan,” lirih wanita itu sambil sesekali mengiris.
“Ehm, Calista? Ahahahaa! Aku akan memanggilmu, Princess Calista! Panggilan itu terdengar menyenangkan. Kini berdirilah, sini, aku akan melepaskan simpul ikatan di tanganmu. Gunakan gelang kaki lonceng ini, nah sekarang menarilah!” perintah pria tambun gondrong itu, lantas dengan tangan gemetar Calista mengambil sepasang gelang kaki yang baru saja dilempar oleh pria yang menyewanya di nakas sebelah tempat tidur dan berusaha memasangnya, walau sungguh sulit untuk mengontrol tremor pada tangan gugupnya.