"Pelan-pelan masukinnya!" ucap Zalfa pada Gibran yang kini tengah menatapnya ragu.
"Iya, ini juga udah pelan-pelan kok," ucap Gibran pelan, ia sedikit takut, apakah dirinya yang harus melakukan hal ini? Tapi memang tadi ia yang meminta pada Zalfa, dan gadis itu mengizinkannya.
"Akhh..., tuh, 'kan! Kamu sih!" ucap Zalfa gemas, ketika benda yang Gibran pegang meleset dan tidak bisa masuk dengan sempurna.
"I-iya, maaf saya nggak sengaja, udah lama nggak pernah masukin ginian jadi grogi, 'kan," alibi Gibran yang tidak mau di salahnya.
"Halah, alesan, dasar duda!"
"Kok kamu bawa-bawa status sih? Emang kenapa kalau duda? Kan lebih berpengalaman." Gibran menatap Zalfa dengan tatapan tidak terima, apalagi gadis itu meragukan kemampuannya.
"Berpengalaman dari mana? Masukin gini aja nggak bisa!"
"Ya, 'kan...,"
"Udah sini, biar saya aja yang masukin telurnya," ucap Zalfa seraya merevut sebuah telur baru dari genggaman Gibran. Pria itu tadi menawarkan diri untuk memasukkan telur ke dalam mie instan yang tengah direbus. Namun ternyata Gibran gagal dan telur pertama justru meleset dan jatuh di luar panci,sungguh tidak profesional. "Jadi kotor semua, 'kan!"
Hampir saja Zalfa kehilangan napasnya tadi ketika Gibran berbisik halus di daun telinganya. Dan ternyata Gibran mengahaknya untuk membuat mie rebus bersama karena perutnya yang terasa begitu lapar. Ia ingin makan sesuatu dan bahan makanan di rumahnya hanya tinggal dia bungkus mie instan dan beberapa telur serta sosis lalu sayuran mentah. Dan ternyata cuaca sore ini juga mendukung, hujan deras enaknya makan yang hangat-hangat seperti mie rebus spesial pakai telur.
"Ya biarin, lagian, 'kan ini rumah saya, kenapa kamu yang repot coba?" balas Gibran seraya menjauh dari kompor dan memilih untuk duduk di kursi. Gibran memilih untuk menjauh daripada mendapatkan ceramah dari Zalfa
Walaupun baru mengenal namun mereka sudah bisa cukup akrab. Apalagi Zalfa, gadis itu seperti tidak merasa canggung dengan dirinya, mungkin karena ia memang memiliki sifat yang humble, jadi tidak terlalu susah untuk beradaptasi dengan orang baru. Berbeda dengan Gibran yang sebenarnya memiliki sifat yang sedikit kaku, namun ketika dengan Zalfa entah kenapa dia ingin sekali menggoda gadis itu, apalagi ketika melihat ekspresinya yang berubah-ubah, itu terlihat lucu di mata Gibran.
"Jiwa ke ibu-ibu an saya meronta, nggak suka liat rumah kotor dan berantakan."
"Cocok dong," jawab Gibran seenaknya, matanya terus memperhatikan gerak-gerik gadis berseragam putih abu-abu di depannya ini.
"Buat?"
"Buat di kawinin," ucapnya tanpa sadar.
"Kawin mulu pikirannya!" Zalfa mendelik, menatap Gibran dengan begitu tajam.
"Kan enak," lanjutnya seraya mengedikkan bahunya asal sudut bibirnya terangkat, membuat sebuah senyuman.
"Sadar!" ucap Zalfa seraya mengaduk mie yang tengah ia rebus dengan kesal. "pelecehan s*****l secara verbal, nggak mikir Anda, bicara begitu sama anak SMA?"
"Udah punya KTP, 'kan?"
"Udah,"
"Yaudah, berarti nggak di bawah umur, aman dong saya."
Bibir Zalfa terbuka, ia ingin membalas ucapan Gibran, namun memang benar apa yang pria itu ucapkan, Zalfa sudah memiliki kartu Tanda penduduk. Dan jika ia melakukan kejahatan maka sudah dapat terjerat hukum dengan legal.
"Ngeselin!" ucapnya pada akhirnya seraya menghentakkan kakinya kesal. Lalu ia berjalan menuju lemari pendingin,dan melihat bahan makanan apa saja yang masih dapat ia tambahkan ke dalam mie rebus ini. "Mau tambah sayur nggak mie nya?"
Gibran mengangguk, ketika Zalfa mengeluarkan beberapa sayuran dan juga sosial dari dalam lemari pendingin. "Boleh, kasih sosis sekalian."
Dan setelah itu, Zalfa memilih untuk fokus terhadap masakannya, dan Gibran ia memilih untuk membuka poselnya, melihat beberapa notifikasi penting yang masuk. Sebagian besar berasal dari sekertaris tentang pekerjaan, dan juga pesan dari mamanya yang menanyakan kabar cucu kesayangannya.
Gibran terlalu fokus pada ponsel yang berada digenggamannya, namun beberapa kali ia mendongak untuk menatap Zalfa yang masih terfokus dengan masakannya.
Hingga aroma semerbak dari mie rebus buatan Zalfa menyapa indera penciuman. Rasa lapar di perut Gibran semakin bergejolak, bahkan bunyi benderang semakin menggila. Gibran menginginkannya sekarang, menyeruput kuahnya hingga tandas.
"Nih," ucap Zalfa seraya menyerahkan semangkuk penuh mie instan spesial dengan telur, sosis plus sayuran. Perpaduan yang komplit, karbon, protein, lemak, dan vitamin.
"Makasih ya," jawab Gibran seraya mendekatkan mangkuk itu kehadapannya, mendendok kuah itu perlahan lalu menyeruput nikmat. Lalu matanya melirik ke arah Zalfa yang tengah duduk di sampingmu, gadis itu tangah fokus menikmati semangkuk mie buatannya sendiri. "kamu, udah biasa masak kayak gini?"
"Kalau masak mie doang mah gampang, semua orang juga bisa kali!" jawab Zalfa tanpa menoleh ke arah Gibran.
"Tapi ada kok, temen saya yang nggak bisa masak mie," ucap Gibran setelah menelan mie di dalam mulutnya. Lalu kembali menyeruput dan begitu seterusnya.
"Itu mah kebangetan namanya, apalagi kalau perempuan. Sepupuku yang cowok aja paling suka masak mie." Kali ini Zalfa menatap ke arah Gibran, dan kebetulan pria itu juga melihat ke arahnya.
Sedikit ada rasa canggung yang bersemayam di hati Zalfa, namun segera ia tepis dan memilih untuk melanjutkan acara makannya, begitu juga dengan Gibran, pria itu beranjak dari kursi dan berjalan menuju lemari pendingin untuk mengambil dua botol air mineral. Ia merasa haus dan sedikit kepedasan, setelah membuka penyegel botol tersebut, Gibran lalu menenggak isinya hingga tinggal setengah. Lalu, ia menyerahkan satu botol yang masih utuh ke apada Zalfa.
"Mie nya, lumayan pedas ya?"
Dengan cepat Zalfa menolehkan kepala menatap Gibran, pria itu kembali duduk di sampingnya,dan sedikit menyeka keringat yang menetes di dahinya. "Eh, kamu nggak suka pedes?"
"Saya nggak terlalu suka pedas, mungkin yang sedang-sedang," jawab Gibran lalu kembali menyantap mie rebus buatan Zalfa, memang sedikit pedas, namun rasanya enak. Sayang jika tidak Gibran habiskan, apalagi tinggal sedikit lagi.
"Eh, maaf ya, saya nggak tahu, biasanya juga kalau masak mie nggak terlalu pedes, cuma karena cuaca mendukung jadi pengen yang hot-hot, biar rasanya, ah.. Mantap,"
"Dasar," kekeh Gibran, lalu matanya menatap mangkuk Zalfa yang bahkan isinya telah tandas. Cepat juga gasi itu makan. "Kamu punya pacar?"
Dahi Zalfa mengernyit. "Kenapa tiba-tiba nanya gitu?"
"Ya, saya harus memastikan status Mommy Nando," jawab Gibran seraya mengindikasikan bahunya. Satu suap, dan akhirnya mie itu habis juga, setelah minum Gibran kembali menatap Zalfa, rasanya begitu kenyang.
"Mommy Nando? Yang bener aja, besok paling dia juga udah lupa, apalagi pas entar aku pulang pasti udah nggak nanyain lagi."
"Semoga aja," balas Gibran pelan. Semoga saja hal itu terjadi, karena Nando adalah anak yang teliti, ia jarang melupakan sesuatu dalam waktu dekat, dan semoga saja Nando tidak merengek agar bertemu dengan Zalfa.
"Nando sebelumnya emang kayak gitu?" tanya Zalfa penasaran.
"Enggak." Gibran menggeleng. "Dia belum pernah seperti itu, ini pertama kalinya, kamu yang pertama dia panggil Mommy,"
"Aa," Zalfa manggut-manggut paham.
"Mungkin dia menginginkan sosok Mommy," lanjut Gibran yang membuat Zalfa menatap penuh ke arahnya.
"Kalau boleh tahu, emang Mommy nya Nando ke mana?"
"Dia nggak ada, sejak Nando lahir,"
"Maaf, saya nggak tahu," ucap Zalfa dengan nada bersalah, ia tidak tahu jika Mommy Nando sudah tidak ada, dan itu pasti melukai perasaan Gibran sebagai suami. Zalfa menjadi tidak enak hati sekarang.
"Nggak papa, wajar kalau kamu bertanya seperti itu, kamu, 'kan nggak tahu," ucap Gibran yang menyadari perubahan ekspresi Zalfa. "Lagipula, gadis mana yang tidak shock saat ada bocah berumur lima tahun memanggilnya Mommy secara tiba-tiba."
"Ya, tentu saja." Zalfa mengangguk setuju, dan ini seulas senyuman terpatri di bibirnya ketika mengingat ekspresi menggemaskan milik Nando siang tadi.
"Tapi kamu bisa menguasai Nando, dia anak yang sedikit nakal, bahkan babysitter nya sedikit kewalahan mengurus Nando. Dan kamu dengan mudahnya mengendalikannya."
"Ah, benarkah?" tanya Zalfa penasaran, ia sedikit tertarik dengan ucapan Gibran barusan. Bagimana mungkin, bukankah Nando begitu manja padanya tadi?
"Ya, saya sudah berganti babysitter sebanyak tiga kali dalam tiga bulan ini, yang terakhir paling lama satu bulan," jawab Gibran yang membuat Zalfa cukup kaget.
"Senakal itu?"
Gibran mengangguk. "Nando suka menggigit dan menjambak kalau marah, apalagi kesal saat dipaksa. Makanya tadi saya langsung mengiyakan keinginan dia saat dia bilang tidak suka dipaksa."
"Keinginan yang ingin pulang dengan saya?"
"Hum, karena saya takut dia menjambak atau menggigit kamu, tapi ternyata dia malah semanja itu sama kamu," ucap Gibran seraya terkekeh pelan mengingat tingkah absurd putranya tadi. "Selamanya ini dia bahkan jarang manja sama neneknya, walaupun dia tidak pernah marah atau membangkang perintah neneknya. Karena Mama selalu memanjakan Nando.'
"Terus nenek Nando ke mana?" Zalfa sedikit merutuki ucapannya barusan, pertanyaan itu mengalir begitu saja. Dan bagaimana jika Gibran tersinggung?
Gibran tersenyum menyadari perubahan ekspresi Zalfa, sepertinya dia takut jika dirinya tersinggung karena pertanyaannya tadi. "Orang tua saya punya rumah sendiri di kawasan Bogor, dan rumah ini saya beli karena jaraknya lebih dekat dari kantor saya."
Zalfa sedikit bernapas lega mendengar jawaban Gibran, untng saja pria itu tidak tersinggung.ia harus lebih berhati-hati ketika bertanya,terutama masalah pribadi. "Jadi kalian cuma tinggal berdua?"
"Sebenarnya ada PRT dan babysitter yang tinggal, tapi kemarin lusa PRT saya izin pulang kampung, dan babysitter saya mengundurkan diri karena tidak tahan dengan tingkah Nando."
"Ah, gitu rupanya." Zalfa manggut-manggut mengerti. Jadi selama ini Nando diasuh oleh babysitter, dan keperluan rumah PRT yang mengurus.
"Berapa umur kamu?"Zalfa kembali menoleh menatap Gibran, dan kini dahinya sedikit mengernyit bingung.
"Kenapa? Kok om mau tahu banget sih?"
"Ya, nggak papa mungkin bisa jadi pertimbangan,"
"Pertimbangan buat apa?" tanya Zalfa bingung sekaligus penasaran. Apalagi ketika melihat Gibran yang semakin mendekatkan tubuhnya ke arah dirinya."Buat jadi Mommynya Nando,"
"Hah?"
Kepala Gibran mendekat, hingga kini bibirnya berada tepat di cepat telinganya Zalfa. "Saya sih, biasanya tidak suka gadis belia, tapi kalau kamu, mungkin bisa dibicarakan baik-baik."