BAB 2 - SESUATU YANG HANGAT

1572 Words
Jagur hitam itu berbelok memasuki kawasan Royal Gading Mansion Perumahan RG 5/2. Hingga mobilnya berhenti tepat di depan sebuah rumah yang berada di ujung jalan. Zalfa baru sadar, jika ia tengah memasuki kawasan elite di Jakarta Utara. Hanya orang-orang dengan debit tanpa limit yang bisa memiliki unit di perumahan ini. Dan Zalfa tidak termasuk di dalamnya. Karena ayahnya adalah seorang pegawai di salah satu pertambangan batu bara di Kalimantan, dan biasanya beliau pulang setiap empat bulan sekali. Zalfa hanya dapat menurut ketika Gibran melajukan mobilnya dan membawanya pergi hingga sampai di rumahnya. Zalfa tidak menyangka jika Gibran memilih tinggal di perumahan seperti ini. Karena setahu Zalfa orang kaya biasanya memiliki mansion pribadi yang begitu mewah dan besar, seperti di novel-novel romansa yang pernah ia baca. Dan sekarang Zalfa tengah memikirkan bagaimana caranya ia dapat pulang ke rumahnya. Karena jarak perumahan ini dengan perumahan tempat tinggalnya cukup jauh. Dan hari pun sudah semakin sore, akan lebih susah mencari kendaraan umum. Kalau naik taksi, Zalfa rasa uangnya tidak akan cukup untuk membayar ongkosnya. Atau lebih baik Zalfa memesan ojek online saja, dan semoga nanti tidak hujan deras agar ada driver yang mau menerima pesannya. "Ayo turun," ucap Gibran seraya membukakan pintu untuknya. Sejak kapan Gibran turun, kenapa pria itu sudah berada di sampingnya saja? "Kamu terlalu banyak melamun," ucapanya seakan menjawab apa yang tengah Zalfa pikiran. "Kenapa? Takut saya apa-apain? Tenang saja, saya tidak akan berbuat m***m sama kamu, kecuali...," Gibran menggantung ucapanya, lalu matanya menelisik ke arah Zalfa, lebih tepatnya memperhatikan penampilan gadis itu dari atas sampai bawah. Kemeja putih berlogo OSIS di bagian saku, lalu rok span berwarna abu-abu, seragam khas yang menandakan bahwa dia adalah murid sekolah menengah atas. Rambut hitam yang di kuncir kuda, tanpa poni, memperlihatkan kesan dewasa. Karena yang biasa Gibran lihat, mereka akan membiarkan rambutnya tergerai. "Kecuali apa?" tanya Zalfa penasaran, karena Gibran menggantungkan ucapannya, dan pria itu justru memperhatikan penampilannya dari atas sampai bawah. Kenapa? Apa ada yang salah dengan penampilan Zalfa? Apa dia terlihat berantakan? Zalfa memang cenderung masa bodoh dan tidak terlalu feminim seperti teman-teman sekelasnya. "Kecuali kamu yang memintanya," lanjut Gibran yang tentu saja membuat Zalfa sedikit geram, bagaimana mungkin dia berpikir seperti itu? "Dasar, om-om c***l!" sindir Zalfa yang justru membuat Gibran tersenyum miring tanpa mengalihkan tatapannya dari Zalfa. "Saya tidak cabul." Gibran sedikit berdeham lalu melanjutkan ucapanya, "Tapi memang benar, 'kan?" "Apa?" tanya Zalfa bingung, kini ia sepenuhnya mendongak untuk menatap Gibran yang masih setia berdiri di depannya dengan tangan kiri yang ia gunakan untuk menahan pintu mobil agar tetap terbuka dan tangan kanan yang bertopang pada atap mobil. "Banyak anak SMA seperti kamu di zaman sekarang yang menjadi sugar babbynya om-om," lanjut Gibran seraya menatap Zalfa dengan pandangan yang sulit diartikan, sedangkan Zalfa ia justru sedikit tersenyum miring. "Dan kamu, pasti salah satu sugar daddynya," ucap Zalfa seenaknya. Namun, bukannya marah Gibran justru sedikit mencondongkan wajahnya untuk dapat melihat wajah Zalfa lebih dekat. Bahkan kini jarak wajah mereka hanya berkisar 30 senti saja. "Saya belum pernah melakukannya, tapi kalau kamu berminat, kita bisa mencobanya," "In your dream!" potong Zalfa cepat. Zalfa tahu, ia memang bukan dari keluarga yang kaya raya, namun ia juga masih memiliki akal sehat untuk tidak melakukan hal seperti itu. Lagi pula ia bukanlah gadis sosialita yang tamak akan harta dan kemewahan. Gadis yang selalu mengikuti trand fashion masa kini dan senantiasa update sosial media untuk pamer kekayaan hingga rela menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginan dan kepuasan semata. Zalfa masih memiliki harga diri untuk tidak melakukan hal sehina dan sebodoh itu. Memang, tidak Zalfa pungkiri jika beberapa teman-teman ada yang melakukan hal tersebut. Tapi Zalfa bukan salah satu di antara mereka. Masih mending jika om-omnya tampan, muda, duda, apalagi yang belum menikah, mungkin itu bisa dijadikan pertimbangan. Tapi jika om-om tua, gendut, botak, suami orang, ihh, Zalfa merasa muak dan jijik sendiri membayangkannya. Senyum di bibir Gibran sedikit melebar ketika melihat ekspresi Zalfa yang berubah-ubah, karena sepertinya gadis itu tengah membayangkan sesuatu yang menarik. "Tapi, bukannya itu menarik?" tanya Gibran setelahnya. "Dan saya tidak tertarik dengan tawaran Anda, Tuan," ucap Zalfa dengan penuh penekanan. Zalfa tidak akan pernah melakukan hal segila itu, never! "Jadi sampai kapan kita akan terus berdebat membicarakan hal tidak penting di sini?" ucap Zalfa yang menyadarkan Gibran tentang apa alasan Zalfa bisa berada di sini. "Ah ya, sini biar saya saja yang menggendong Nando, dia lumayan berat." Gibran hendak mengambil tubuh Nando dari pangkuan Zalfa, namun gadis itu justru menggeleng pelan seraya mengeratkan pelukannya. "Nggak papa, biar saya aja, nanti Nando malah terbangun kalau harus dipindah-pindah," ucap Zalfa seraya sedikit mengatur posisi Nando agar ia dapat dengan mudah menggendongnya. Ah, benar juga kata Zalfa, Nando memang mudah sekali terbangun jika merasa terusik, dan kasihan jika Nando harus terbangun padahal tidurnya terlihat begitu lelap. Gibran terus memperhatikan hal tersebut, hingga Zalfa mulai berdiri dari duduknya dan turun dari mobil. Dengan cepat Gibran menutup kembali pintu mobil lalu mengkuncinya. Dan kemudian berjalan mendahului Zalfa untuk membuka pintu rumah. Jika dilihat seperti sekarang, Gibran layaknya suami yang cekatan. "Ayo masuk," ucap Gibran yang mempersilahkan Zalfa untuk masuk. "Kamar Nando ada di atas," ucapnya seraya mendahului langkah Zalfa, menuntun gadis itu untuk masuk ke kamar Nando. "Tidurkan saja di sana!" Tanpa banyak bicara, Zalfa lebih memilih untuk mengikuti semua intruksi yang Gibran berikan. Selain tidak tahu harus merespon apa, Zalfa juga takut Nando terbangun karena suaranya. Dan ketika Zalfa meletakkan Nando di tengah ranjang, bocah itu nampak menggeliat pelan, seperti mencari pelukan. Dan dengan sigap Zalfa meraih sebuah guling dan memberikannya kepada Nando, lalu mengusap pelan punggung Nando hingga ia tenang. Setelah itu, Zalfa melepas satu per satu sepatu yang Nando kenakan, lalu membuka satu kancing teratas baju Nando, agar napasnya menjadi lebih leluasa. Semua yang Zalfa lakukan tidaklah lepas dari perhatian Gibran. Zalfa begitu telaten dalam mengurus Nando, lebih tepatnya mengurus anak kecil. "Kamu sepertinya sudah terlatih untuk mengurus anak kecil seusia Nando ya?" "Hem?" Refleks Zalfa menoleh, dan dilihatnya Gibran yang tengah memperhatikannya dengan kedua tangan yang dilipat di d**a dan tubuh yang menyandar pada kusen pintu. "Ah, ya. Saya memiliki keponakan seusia Nando, dan biasanya tante akan menitipkannya kepada saya setiap saya pulang sekolah," jawab Zalfa ketika ia sudah menangkap maksud dari pertanyaan Gibran. Gadis itu kemudian beranjak dari sana dan menghampiri Gibran yang terus saja menatapnya. Lalu setelahnya ia sedikit menundukkan tubuhnya dan berjalan melewati Gibran. Zalfa memilih untuk keluar dari kamar Nando, ia tidak ingin bocah itu terbangun. "Tantemu kerja?" tanya Gibran yang juga berjalan mengikuti langkah Zalfa. Gadis itu menuruni tangga dan kembali menuju ruang tamu yang tentu saja terhubung dengan pintu utama. Apa Zalfa akan pulang sekarang? "Ya, dia bekerja di restoran dan mendapatkan sift siang, jadi dia akan berangkat setiap jam tiga sore dan pulang di jam sembilan malam," jelas Zalfa. Gibran mengangguk paham. "Dan sepertinya kamu sudah terlambat untuk mengasuh keponakanmu itu." Zalfa mengangguk setuju. "Ya, tapi ada mama yang- Ya Tuhan! Aku lupa ngabarin mama kalau aku ada di sini, mama pasti bingung nyariin aku!" pekik Zalfa sedikit histeris. Zalfa lupa bagaimana protektifnya Wanti terhadap putri semata wayangnya itu. Pulang terlambat lima belas menit saja Wanti pasti sudah menerornya dengan puluhan telepon dan pesan hingga ia memberikan jawaban. Apalagi sekarang sudah sore dan Zalfa sudah telat satu jam dari waktu ia pulang seharusnya. Wanti pasti sudah memberondong ponselnya dengan puluhan notifikasi. Atau jika ia tidak membalas Wanti pasti menanyai satu persatu tema dekatnya. Dengan cepat Zalfa mencari ponselnya yang berada di ransel sekolahnya, dan ketika ia menemukannya Zalfa harus dihadapkan dengan kekecewaan. "Ck! Pakai lowbat segala sih!" "Kenapa?" "Baterai ponselku habis, boleh pinjem charger?" Zalfa mendongak menatap Gibran juga juga memperhatikannya sejak tadi. "Saya tidak punya charger android." Jawaban Gibran membuat Zalfa mati kutu, tidak punya charger android? Yang benar saja! Tapi mengingat betapa kayanya Gibran sepertinya hal itu tidak perlu diragukan, karena sepertinya, sepanjang hidup pria itu ia tidak pernah membeli ponsel android, jangankan membeli menyentuhnya saja mungkin tidak pernah. "Ahh, lupa. Holkay mah beda, mana punya charger hape kentang," gumam Zalfa pelan, namun hal tersebut masih dapat Gibran dengar dengan jelas. Dan jujur saja Gibran ingin tertawa mendengar gumaman Zalfa tadi, namun itu tidak mungkin, takut jika melukai perasaan gadis di depannya ini. "Kamu bisa pinjam ponsel saya kalau mau, kamu hafal nomor mamamu, 'kan?" tawar Gibran yang seakan memberi solusi pada Zalfa. "Hafal sih, tapi...," "Tapi apa?" Zalfa ingin sekali menerima tawaran Gibran barusan. Namun jika Zalfa melakukannya, ia takut akan ketahuan nantinya. Karena Wanti menyimpan semua nomor telepon teman dekat Zalfa, dan jika Zalfa menelpon dengan nomor baru maka itu akan menumbuhkan kecurigaan Wanti, ia harus memberi alasan apa nantinya? Tapi jika tidak memberi kabar, bisa-bisa Wanti melaporkannya ke polisi dengan laporan anak hilang. Bagaimana ini, apa yang harus Zalfa lakukan. Zalfa menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal, kebiasanya jika tengah berpikir. Hingga kepalanya sedikit menoleh dan menatap keluar jendela yang tertutup tirai berwarna putih. Seketika matanya melebar ketika melihat tetesan air hujan. "Hah? Kok ujan?!" kesal Zalfa, lalu gadis itu berjalan menuju jendela dan menyibak tirainya untuk memastikan. Dan benar saja, hujan yang begitu lebat mengguyur kota Jakarta. "Ck, deres banget lagi!" Sial! Sekarang, bagaimana caranya dia pulang?! "Memangnya kenapa kalau hujan?" tanya Gibran seraya mendekati Zalfa yang masih setia berdiri di depan jendela. "Nggak bisa pulang dong!" sungut Zalfa kesal. "Karena kamu tidak bisa pulang, bagaimana kalau kita melakukan sesuatu untuk menghangatkan diri?" bisik Gibran tepat di depan telinganya yang sukses membuat tubuh Zalfa meremang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD