Pria Gila

1039 Words
Brak! Rai terjingkat kaget saat meja kasir yang menjadi daerah kekuasaannya digebrak seorang pembeli yang hendak menghitung belanjaannya.. “Ma—af.” Rai pun segera menghitung belanjaan pria tersebut dengan gugup. Pria tersebut terlihat menggerutu, pasalnya sudah beberapa menit ia menunggu Rai namun Rai tak juga menghitung belanjaannya dan justru melamun seperti otaku yang membayangkan hal kotor dengan waifu. Rai kembali meminta maaf dengan membungkuk setelah pria tersebut membayar dan membawa barang belanjaannya dengan sedikit kasar dari atas meja. Hela nafas panjangnya pun terdengar saat melihat pria tersebut telah keluar dari toko. “Oi, oi, oi, ada apa denganmu.” Nohara berdiri di depan meja kasir. Satu tangannya berkacak pinggang dan satu tangannya bertumpu di atas meja dimana arah pandangannya mengarah pada pengunjung yang masih berada di luar toko. Ia melihat dari kejauhan saat pengunjung pria tersebut memarahi Rai. Rai hanya tersenyum kikuk dan menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. “Haish … melamun, lagi?” kata Nohara dengan memutar bola mata malas. Menegakkan punggungnya, ia bersedekap dan menatap Rai dengan pandangan iba. “Sepertinya kau memang butuh asupan, Bung,” ucapnya. Karena ia tahu pastilah Rai melamunkan wanita pujaan hatinya, kalau tidak, apa lagi? Rai setengah tertunduk dengan bibir yang tampak menyunggingkan senyum tipis. Ia masih teringat apa yang ia lalui tadi pagi bersama Sakura. Bukan hanya tadi pagi, tapi juga tadi malam, dan hal itu selalu berputar-putar dalam ingatan hingga membuatnya melamun. Nohara merangkul Rai dengan melingkarkan tangannya di leher Rai, menariknya hingga tubuh Rai setengah membungkuk dan menjitak kepala Rai. “A—Nohara-san! Hen—hentikan.” Rai berusaha melepaskan diri karena Nohara tak berhenti menjitaknya. “Hahahah,” gelak tawa Nohara terdengar saat ia melepas rangkulan. Sementara Rai terlihat mengusap kepalanya sekaligus merapikan rambutnya.  “Hei, bagaimana kalau akhir minggu ini ikut denganku?” ajak Nohara. “Sssh—“ Rai masih meringis meski begitu ia tahu Nohara hanya berniat bercanda dan tak benar benar ingin menyakitinya. “Mak—maksud Nohara-san?” tanyanya. Nohara mencondongkan tubuhnya dan berbisik di telinga Rai. Mata Rai membulat. “A—apa? Ti—tidak. Aku … tidak terbiasa pergi ke tempat seperti itu,” ucapnya. “Haish … karena itu kita ke sana. Siapa tahu di sana kau bisa sembuh dan melupakan bunga Sakura-mu itu,” ucap Nohara seraya kembali memberi Rai pukulan di kepala dengan pinggiran tangannya. “E—so—soal itu …” Alis Nohara terlihat mengernyit. Ia dapat melihat wajah Rai tampak bersemu merah dimana ia juga tampak malu-malu. “Apa? Jadi … kau berhasil melepas status perjaka tua-mu dengannya?” “A—apa! Bu—bukan-bukan!” Rai mengibaskan kedua tangan dengan mata terpejam. Wajahnya semakin memerah mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut Nohara. “Pft … hahahaha.” Nohara kembali tertawa hingga memegangi perut melihat ekspresi Rai. Baiklah, ia yakin Rai masih perjaka. Rai tak tahu haruskah ia menceritakan apa yang ia alami tadi malam juga pagi ini pada Nohara atau tidak. Tapi … rasanya ia ingin membagi rasa bahagianya dan berharap dengan begitu Nohara berhenti menggodanya atau mengajaknya pergi ke tempat yang disebutkannya barusan. Jangankan memasuki tempat seperti itu, mengetahui di mana tempatnya pun ia tak pernah tahu. “Se—sebenarnya … tadi malam … kami—“ “Apa? Jadi benar?!” potong Nohara hingga kedua tangannya mencengkram bahu Rai. “Ti—tidak, bukan, Nohara-san. Tadi malam kami hanya makan malam,” ucap Rai cepat. “Eh? Makan malam?” Rai menganggki. “Aku … tidak tahu, tiba-tiba dia mengetuk pintu rumahku dan menawarkan okonomiyaki. Dia bilang dia membeli dua okonomiyaki jadi memberikannya satu untukku dan memintaku makan bersamanya,” ungkap Rai yang kembali teringat senyum Sakura kala ia membuka pintu untuknya. Nohara menarik kedua tangan yang sebelumnya bertengger di bahu Rai kemudian bersedekap dengan raut wajahnya yang seperti tengah berpikir. “Lalu?” tanyanya. “Ya … kami hanya makan bersama. Kemudian tadi pagi secara kebetulan dia mengajakku berangkat bersama. Nohara-san tahu sendiri hampir tak pernah aku menemuinya di waktu pagi. Tapi … tadi pagi tiba-tiba dia keluar dari apartemennya dan menyapaku lalu mengajakku berangkat bersama. Rasanya …memang sedikit aneh, tapi …” Rai yang setengah tertunduk menatap meja kasirnya yang bersih mengukirkan senyum tipis teringat Sakura yang menggenggam tangannya. Rasanya ia tak ingin mencuci tangannya seumur hidup agar bekas tangan halus Sakura terus membekas di sana. “Entah kenapa, aku mengharapkannya terjadi setiap hari,” lanjutnya. “Hm … apa kau tak curiga?” Seketika Rai menegakkan kepala dan menatap tepat pada netra Nohara yang terlihat serius menatapnya. “Mak—maksud Nohara-San?” Tatapan Nohara semakin serius dan membuat Rai cemas. Kedua tangannya bertumpu di atas meja dengan tubuhnya yang mencondong ke depan. Ia pun mengatakan, “Apa kau tak curiga dia … mulai menyukaimu! Hahaha.” Secara tiba-tiba Nohara menyentil dahi Rai kemudian tawanya kembali terdengar. Rai meringis dan mengusap dahinya yang menjadi korban kejahilan Nohara. Namun mendengar apa yang Nohara katakan, entah kenapa, ia juga berharap demikian. “Selamat, Bung, selamat,” ucap Nohara dengan kembali memberi bahu Rai tepukan dimana senyumnya masih merekah. “Haish .. baiklah, saatnya kembali bekerja.” Ia berbalik kemudian kembali pada pekerjaannya yang tertunda. Rai hanya menatap punggung Nohara dengan senyuman lemah. Entah sejak kapan tapi ia merasa hubungannya dengan Nohara terasa semakin dekat seperti seorang teman sungguhan. Namun tanpa ia ketahui, raut wajah Nohara tampak berubah kala ia mulai berjalan menjauh. Kling-kling! Lonceng pintu toko berbunyi saat seorang pengunjung datang. Rai Pun menoleh dan seketika matanya melebar dengan jantungnya yang berdetak keras melihat siapa pengunjung yang datang. Dan dia adalah wanita yang baru saja menjadi objek pembicaraannya dengan Nohara. Sakura setengah melambai dengan senyumannya yang merekah menyapa Rai kemudian melangkah menuju rak untuk membeli beberapa barang. Rai masih terpaku, bahkan saat Sakura tak terlihat oleh pandangannya, rasanya ia masih bisa melihat senyumnya yang mengarah ke arahnya. “Rasanya aku tak tega jika mengatakannya, lagi pula aku juga belum yakin dengan apa yang kulihat waktu itu. Haish … kuharap aku memang salah lihat,” gumam Nohara yang menatap Rai dari tempatnya berdiri saat ini. Ia dapat melihat dengan jelas Rai sudah seperti pria gila yang memuja Sakura. Ia harap penglihatannya salah waktu itu, jika tidak, mungkin Rai akan gantung diri jika tahu.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD