Pagi yang Indah

1287 Words
Jbles! “Hah …” Rai menghela nafas panjang saat baru saja menutup pintu. Hari ini ia kembali harus menjalankan rutinitas setiap pagi yakni bekerja. Namun seketika ia menegakkan kepala dengan wajah yang menunjukkan semangat membara kala teringat apa yang ia lalui bersama Sakura semalam. Bahkan semalam ia mendapatkan mimpi yang sangat indah dan ia yakin semua karena energy positif yang Sakura suntikkan. Senyumannya, suaranya, gerak tubuhnya, bagaikan vitamin yang membangkitkan semangatnya untuk memulai harinya pagi ini. Rai menoleh menatap pintu apartemen Sakura yang masih tertutup rapat. Senyum simpulnya pun merekah. Rasanya ia ingin seketika hari menjadi malam agar ia bisa kembali menikmati makan malam bersama Sakura seperti yang telah mereka janjikan. Cklek … “Eh? Rai-san?” Deg! Rai tersentak kaget saat tiba-tiba Sakura keluar dari apartemennya dan menyapa. Matanya pun sampai melebar seolah baru saja melihat sesatu yang mengejutkan jantungnya. Seperti biasa, Sakura selalu tampil cantik dengan apapun yang dipakainya. Bahkan Sakura yang saat ini hanya memakai kaos dengan setelan celana jeans pun tetap sempurna di matanya. “Belum berangkat?” tanya Sakura seraya mengunci pintu kemudian melangkah dan berdiri di depan Rai. “A—ya, aku baru saja akan berangkat,” jawab Rai dengan sedikit gugup. Kedua tangan Sakura menyatu di belakang punggung dimana ia sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. “Bagaimana jika berangkat bersama?” tanyanya dengan raut wajah yang sedikit menggoda. Glek! Rai menelan ludah susah payah, masalahnya ini adalah sesuatu yang jarang ia dapatkan di pagi hari. Biasanya Sakura tak pernah menunjukkan batang hidungnya di waktu yang masih pagi seperti ini. Dan tunggu, berangkat bersama? Apa ia tak salah dengar? Atau Sakura hanya ingin menggodanya saja? Sakura tertawa, satu tangannya terkepal lemah dan menutupi mulut menyembunyikan tawanya. Hanya sesaat, kemudian ia kembali menatap Rai dengan raut wajahnya yang lembut. “Apa aku mengejutkan Rai-san?” tanyanya. Rai terdiam sesaat memberi jeda untuk mencari jawaban yang tepat. “Y—ya, sepertinya baru kali ini aku melihat Sakura-san di waktu seperti ini.” Sakura terdiam sesaat dimana bibirnya tampak menyunggingkan senyum tipis. Bukan ia tak menyadari Rai kembali menggunakan embel-embel san di belakang namanya, tapi mungkin ia akan membiarkannya saja. “Mungkin mulai hari ini Rai-san akan lebih sering melihatku di pagi hari.” “Ke—kenapa?” “Aku ingin mencoba mencari pekerjaan.” Rai terkejut. “Apa?” Sakura mengangguk. “Aku ingin mencari pekerjaan sampingan.” Rai hanya diam, ia bahkan tak tahu dimana tempat Sakura bekerja sekarang. Apakah sopan menanyakannya? batinnya.  “Sampingan?” tanya Rai dan berharap dengan begitu Sakura mungkin akan menceritakan pekerjaannya sekarang. Tapi jika memang sudah punya pekerjaan, untuk apa mencari pekerjaan sampingan lagi? “Uum. Rasanya aku sudah lelah dan bosan dengan pekerjaanku sekarang. Jadi kalau sudah mendapat tempat kerja lain, mungkin aku akan berhenti dari pekerjaanku saat ini,” ungkapnya. Rai tak tahu apakah hanya perasaannya saja atau bagaimana. Padahal bisa dibilang mereka jarang berbicara dalam artian mengenai masalah dan hal pribadi, tapi kenapa Sakura seperti dengan mudah mengatakannya sekarang? Apakah karena ia yang tak mengenal Sakura selama ini atau Sakura memiliki maksud dan tujuan lain? Tapi apa? Dan sebuah jawaban yang timbul dari benak Rai seketika membuatnya menggeleng. Ia berusaha mengenyahkan pikiran tak masuk akal yang melintas. Bagaimana bisa ia berpikir hal sejauh itu? Benar-benar pikiran yang sangat konyol. Sakura setengah memiringkan kepala dan menatap Rai penuh tanya. “Rai-san, Rai-san?” panggilnya. “A—ya?” Sakura terkekeh kecil. “Jika kita tidak segera berangkat mungkin kau akan terlambat,” ucapnya dengan disertai tawa ringan kemudian berjalan melewati Rai. Rai mengikuti gerak langkah Sakura, memutar tubuhnya dan menatap punggung Sakura yang terasa begitu dekat sekarang. Tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya dengan ia yang menelan ludah kasar. Mungkin ini lah kesempatan yang Tuhan berikan dan ia tak akan menyia-nyiakannya. Akhirnya ia pun berlari kecil mengikuti Sakura yang mulai menuruni anak tangga. Rai merasa gugup, saat ini ia berjalan tepat di belakang Sakura bahkan ia bisa mencium aroma tubuh Sakura yang begitu harum. Aromanya seperti buah cherry yang sangat menyegarkan dan menenangkan. Kira-kira apa parfumnya? Atau apa shampo yang digunakannya? Rambutnya tampak begitu halus dan lembut dengan harum yang menusuk hidung. Sakura menghentikan langkah dan menoleh menatap Rai kemudian bertanya, “Rai-san, apa di tempatmu bekerja membuka lowongan?” Seakan ia sadar bahwa ia menjadi objek pandangan Rai di belakangnya. Rai sempat terkejut namun hanya sesaat kemudian ia menjawab, “Sepertinya tidak, tapi … aku akan mencoba menanyakannya.” “Hm,baiklah. Terima kasih. Sepertinya kemarin aku melihat ada kedai yang baru buka tak jauh dari tempat Rai-san bekerja, aku akan mencoba ke sana siapa tau ada lowongan pekerjaan.” “A—baiklah, semoga berhasil.” Sakura mengangguk dan tersenyum kecil kemudian kembali melanjutkan langkahnya. Sesampainya di bawah, ia sengaja memperlambat langkah menunggu Rai menyamakan langkah dengannya. Sayangnya Rai lebih memilih berjalan di belakang Sakura, Tap! Sakura menghentikan langkah dan kembali menoleh pada Rai. “Apa Rai-san sengaja berjalan di belakangku?” tanyanya. Mata Rai melebar dengan helaian rambutnya yang seolah terangkat terkena embusan angin walau sebenarnya sama sekali tak terasa sepoi angina sedikitpun. Ia memang sengaja berjalan di belakang Sakura. Karena dengan begitu ia bisa menikmatinya tanpa merasa canggung atau malu Sakura akan melihatnya. Jika ia berjalan di sampingnya, meski itu keinginannya, maka ia tak akan bisa menatap Sakura sepuas-puasnya. Tapi, jika Sakura sudah berkata demikian, sepertinya gak ada pilihan lain baginya, ia tak mau Sakura mengetahui tujuannya bahkan menaruh curiga. Rai mengambil langkah sedikit lebar. “Maaf, aku hanya … merasa canggung karena belum terbiasa berjalan bersama dengan Sakura-san,” kilahnya sebagai alasan. “Kalau begitu Rai-san harus membiasakannya mulai hari ini. Ah, apa Rai-san merasa terganggu?” “A– Apa? Ti—tidak sama sekali.” Tangan Sakura terangkat menepuk dadanya disertai hela nafas penuh kelegaan. “Hah …. Syukurlah. Rasanya aku menyesal.” “Apa? Kenapa?” “Kenapa aku tak melakukan ini sejak dulu?” “Mak—maksud Sakura-san?” “Ternyata sangat menyenangkan berbicara dengan Rai-san. Mungkin jika sedari dulu kita sering berbicara seperti ini, kita bisa jadi sepasang kekasih, ya.” Deg! Mata Rai kembali melebar dengan degupan jantungnya yang seolah ditabuh, seketika wajahnya pun terasa panas dan pastinya sudah berwarna seperti kepiting rebus. Apa ia tak salah dengar? batinnya. Sejak tadi malam Sakura selalu memberinya kejutan jantung yang membuatnya seperti akan kehilangan nyawa. Rai tak sanggup bergerak seolah baru saja disambar petir di siang yang terang tanpa adanya awan hitam. Hingga Sakura membalikkan tubuhnya dan mengambil langkah mendekat dan berdiri tepat di hadapan Rai saja, Rai seolah tak menyadarinya. “Bercanda,” ucap Sakura dimana kedua tangannya berada di belakang punggung dengan tubuhnya yang setengah condong ke arah Rai. Kakinya berjinjit sesaat dengan kepala yang  mendongak dan membuat wajahnya begitu dengan wajah Rai saat mengatakannya.   Dan apa yang dilakukannya menyadarkan Rai saat itu juga. Bukan hanya dikarenakan mendengar kata ‘bercanda’ tapi juga karena apa yang dilakukan Sakura barusan hingga ia dapat melihat dengan jelas bulu mata lentik juga bibir Sakura yang tampak berkilau dan basah karena lip balm. Dengan cepat Sakura kembali berbalik dengan tawanya yang merekah seperti sangat puas telah berhasil membuat Rai terpaku hingga tak sanggup bergerak. Namun tak ada yang tahu dan mengira, tawanya seketika menghilang dan digantikan dengan raut wajah yang tak terbaca kala ia mulai melangkah.  Rai tersenyum kecut dengan hatinya yang merasa mencelos seakan ia benar-benar seorang pecundang yang amat bodoh. Namun saat melihat Sakura tiba-tiba saja berbalik dan berlari kecil ke arahnya kemudian meraih tangannya secara tiba-tiba lalu menariknya, saat itu juga ia merasa seperti pecundang yang amat beruntung di dunia.  Benarkah? Sementara tak ada manusia yang tahu sampai mana batas keberuntungan yang akan diraihnya. Bisa saja selamanya, atau hanya sekejap mata kemudian keberuntungan itu menghilang dan digantikan dengan kesengsaraan.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD