Tak Pernah Terbayangkan

1586 Words
Rai tak tahu perasaan apakah yang harus ia tunjukkan sekarang, haruskah ia senang? Ya, itu harus, karena saat ini ia duduk bersama dengan Sakura, wanita pujaan hatinya. Tapi … kesenangannya rasanya tak sempurna karena kejadian memalukan sebelumnya. Dan rasanya ia ingin tenggelam dalam kubangan air danau yang membeku karena turunnya salju agar bayangan memalukan itu sirna dengan segera. Saat ini Rai dan Sakura tengah duduk berhadapan dibatasi meja rendah dengan keduanya yang duduk seiza yang mana bisa dibilang ruangan tersebut Rai gunakan sebagai ruang tamu dan ruang santai sekaligus.   “Rai-san?” Rai tersentak saat lantunan suara merdu Sakura terdengar. Entah sudah berapa lama mereka duduk dalam diam, mungkin hampir 5 menit. Seketika ia menegakkan kepala dan membuat tatapannya dengan tatapan Sakura bertemu, namun hanya sesaat karena setelahnya ia segera mengalihkan pandangan. Melihatnya, Sakura justru terlihat terkikik menahan tawanya. “Ah, maaf-maaf.” Wajah Rai bersemu merah dan tetap tak berani menatap Sakura. “Ti—tidak apa-apa. Justru aku berterima kasih karena Sakura-san memberiku makan malam,” ucap Rai dengan sedikit gugup dan menatap piring di depannya yang telah bersih. Ia telah melewati hari besar sepanjang sejarah dengan makan malam bersama Sakura. Bukan hanya itu saja, bahkan Sakura membawakannya makan malam. Meski Sakura mengatakan tak sengaja, tetap saja baginya ini sebuah keajaiban. Dan entah bagaimana nasib mie-nya sekarang, mungkin tengah menangis karena tak jadi dimakan olehnya. Sakura menghela nafas panjang seraya meletakkan kedua tangannya di belakang punggung dan bertumpu lantai. “Hah … kadang kesepian juga jika melakukan semuanya sendiri. Masak sendiri, makan sendiri, bahkan tidur juga sendiri,” ujar Sakura. Kepalanya setengah menengadah menatap lampu ruangan yang tak terlalu terang kemudian kembali menatap Rai dengan senyuman tipis yang menghiasi bibirnya.  Mata Rai sedikit melebar mendengar kata terakhir. Namun kesadarannya memaksanya tetap setengah menunduk dan tak menatap Sakura. Ia khawatir Sakura akan curiga padanya. Sakura kembali mengubah posisi duduknya, kedua tangannya kini berada di atas meja dimana satu tangannya memangku dagu dan menatap Rai dengan pasangan tak terbaca. “Rai-san, kenapa kau canggung sekali? Hah … padahal aku ke sini karena ingin ngobrol denganmu, loh.  Atau apa aku mengganggu? Kalau mengganggu, aku akan segera kembali ke kamarku.“ “Tunggu! Jangan!” potong Rai segera bahkan nyaris saja ia bangkit dari duduknya karena mengira Sakura bangun dari duduknya. Nafasnya sedikit tersengal dengan tangan yang terangkat setengah ke udara mengarah ke arah Sakura untuk mencegah. Sakura yang melihat tingkah Rai kembali merekahkan tawa kecilnya. Dan kekehan kecilnya seolah benar-benar membuat Rai ingin mengakhiri hidupnya saat itu juga. Manis, tak ada kata lain yang dapat ia ungkapkan untuk menggambarkan seperti apa Sakura saat ini di matanya.  Sakura kembali berusaha menahan tawanya dengan berdehem kemudian berkata, “Rai-san, kau sangat lucu.” Wajah Rai kembali memerah sempurna dengan menunduk menatap kedua tangannya yang tersembunyi di atas pangkuan di bawah meja. “Ma—maaf, maksudku … aku … sama sekali tak terganggu. Aku … hanya ….” Sakura mengangguk kecil. “Um. Baiklah, kalau begitu … apakah aku boleh makan malam ke sini setiap hari? Ah, maksudku, aku akan membawa makananku sendiri dan kita bisa makan bersama. Atau mungkin di suatu kesempatan kita bisa masak bersama?” Rai terdiam dengan mulut sedikit menganga dan matanya yang juga sedikit melebar. Perlahan kepalanya terangkat membuat pandanganya kembali bertemu dengan makhluk paling manis yang mengisi hati. Apa ia tak salah dengar? batinnya. “Tapi … jika kau tak keberatan,” imbuh Sakura. “Tidak! Aku sama sekali tak keberatan!” jawab Rai dengan cepat. Dadanya terasa bergemuruh hebat dan rasanya ia tak bisa mengalihkan pandangan sedikitpun dari Sakura. Bahkan bayangan mereka akan kembali menikmati makan malam bersama telah terlintas. Dan hal itu kembali membuat Sakura terkikik geli. Rai tak tahu harus melakukan apa, ia merasa Sakura mungkin menertawakannya, tapi ia tak peduli. Asal bisa melihat senyumnya lebih lama ia tak peduli apapun lagi. Ia menelan ludah dan memberanikan diri membuka suara. “Ta—tapi  … Sakura-san, kenapa tiba-tiba … maksudku, setelah sekian lama kita menjadi tetangga, tiba-tiba kau …” “Maksud Rai-san kenapa aku baru mengunjungi apartemen Rai-san?” tanya Sakura yang sedari tadi tak melepas pandangannya sedikitpun dari Rai. Tangannya masih memangku rahang, kemudian pipinya terlihat sedikit menggembung dengan bola mata yang memutar seperti tengah berpikir. Kemudian ia kembali menatap Rai dan mengatakan, “Ah, tunggu, sebelum itu bukankah aku sudah meminta Rai-san hanya memanggilku dengan Sakura saja?” Rai menggaruk pipinya yang tak gatal dan menatap ke arah samping. “Ah, itu … rasanya belum terbiasa. Tapi … ba– baiklah, Sa—Sakura.” Sakura tersenyum tipis. “Yah … mungkin karena aku sudah lelah,” ucapnya memberi jawaban atas pertanyaan Rai sebelumnya. Rai menatap Sakura dengan pandangan tak terbaca. “Mak—maksud Sakura-san?” Seketika Rai segera menutup mulut karena kembali memanggil Sakura dengan embel-embel san. Tiba-tiba raut wajah dan sorot mata Sakura berubah. Arah pandang yang sebelumnya tepat menatap manik obsidian Rai, sedikit turun dan terlihat sendu. Ia tersenyum tipis nyaris tak terlihat kemudian menjawab, “Rasanya aku sudah lelah hidup sendiri. Meski ada banyak orang di sekitarku, tapi kadang di sini.” Menunjuk ke tengah dadanya. “Ada saat-saat dimana rasanya begitu sepi dan ingin memiliki teman setidaknya untuk berbagi apa yang aku jalani selama seharian. Entah itu sesuatu yang membahagiakan, menyedihkan, atau mengejutkan.” Rai hanya diam dimana ia seolah terpaku hingga tak sanggup mengalihkan pandangan melihat bagaimana sorot mata dan raut wajah Sakura. Ekspresi yang ditunjukkannya seolah seketika berubah 180 derajat dari sebelumnya. Seakan-akan senyuman yang sedari tadi ia rekahkan hanya buatan dan dengan mudah dapat digantikannya dengan raut wajah yang ditunjukkannya sekarang. Namun seketika Rai tersentak saat tiba-tiba Sakura kembali menunjukkan senyumannya dan hal itu seketika melunturkan ekspresi tak terbaca yang sebelumnya ditunjukkannya. “Apa aku terlalu berlebihan?” Rai terdiam sejenak, bayangan ekspresi sendu yang Sakura tunjukkan masih teringat dengan jelas. “Tidak. Tidak sama sekali,” ucapnya. “Apa kadang Rai-san juga merasakan hal yang sama?” Rai mengalihkan pandangan dan menjawab, “Y—ya … kadang, saat aku sendiri di rumah. Tapi saat aku bekerja, perasaan seperti itu akan hilang dengan sendirinya.” “Wah … andai aku bisa seperti itu.” “Ke– kenapa tidak?” Sakura terlihat sedikit mengedikkan bahu. “Entahlah, padahal di tempatku bekerja aku menemui banyak orang, tapi meski aku bisa tertawa bersama mereka, rasanya tetap saja seperti ada yang kosong.” Rai tak tahu apakah saat ini Sakura tengah berusaha mencurahkan perasaan dan isi hati yang ia rasakan? Mendengar kata-katanya, seolah ia sangat kesepian dan tak memiliki teman. Jika benar, mungkin Tuhan tengah memberinya jalan dan ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan emas yang Tuhan berikan sekarang. “Bagaimana dengan temanmu, Sa—Sakura?” “Aku tidak begitu punya banyak teman. Apa Rai-san mau jadi temanku?” jawab Sakura dengan mudahnya.  “Tentu saja!” jawab Rai hingga ia bangkit dari duduknya dengan kedua tangannya yang bertumpu di atas meja.  Sakura kembali terkikik kemudian melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 11 malam. Sepertinya sudah cukup untuk malam ini, batinnya. “Ternyata sudah larut. Aku pulang Rai-san. Terima kasih karena telah membuka pintu untukku dan menemaniku makan malam. Rasanya ini sangat menyenangkan, mungkin karena kita baru pertama melakukannya, ya,” ucapnya seraya bangkit dari duduknya kemudian berbalik dan berjalan menuju pintu diikuti Rai yang segera mengikutinya dari belakang.  “Seharusnya aku yang berterima kasih. Besok aku yang akan membeli makanan untuk Sakura-san.” Tap! Sakura menghentikan langkahnya dan setengah menoleh menatap Rai. “Besok? Jadi besok kita bertemu lagi? Atau makan malam lagi?” Wajah Rai memerah, ucapan Sakura sebelumnya yang mengatakan ingin kembali mengulang malam ini teringat dengan amat jelas dan membuatnya menaruh harap. Tapi apa yang baru saja ia dengar? Ia seolah sangat berharap sementara tidak dengan Sakura. Bahkan Sakura seperti sengaja membuat lelucon dengannya. “Pft.” Tangan Sakura terangkat dan menutupi mulut untuk menahan tawanya sayangnya kekehannya tetap saja terlihat jelas dari matanya yang menyipit. “Maaf, maaf, Rai-san. Tentu saja. Kita masih bisa makan bersama lagi besok malam. Kalau begitu sampai jumpa besok malam,” ucapnya kemudian kembali berbalik dan melanjutkan langkah. Meraih gagang pintu, dibukanya pintu rumah Rai kemudian ia kembali menoleh dengan satu tangannya yang melambai.  Jbles! Pintu bercat coklat itu pun tertutup rapat setelah Sakura keluar. Sementara Rai masih berdiri di depan pintu menatap pintu itu dengan pandangan yang tak terbaca. Rasanya mimpinya selama ini menjadi nyata. Ah, bahkan rasanya ia tak berani memimpikannya, tapi hari ini benar-benar tiba. Bruk! Tiba-tiba Rai jatuh dengan lutut mencium lantai. Ia seolah diambang kesadaran mengingat apa yag telah ia lakukan bersama Sakura. Mereka makan malam bersama, mengobrol dan membicarakan banyak hal mengenai Sakura, juga merencanakan hal yang sama besok malam. Ia juga melihat wajah Sakura yang teramat manis kala ia tertawa. Dan ingatan itu menghilangkan ingatan buruknya saat Sakura menunjuk ke arah resleting celananya. Bruk! Perlahan tubuh Rai terhuyung ke belakang dan membuat punggungnya jatuh mencium lantai. Kedua tangannya juga terentang di atas lantai dengan pandangannya yang menatap langit-langit apartemennya. Perlahan sebuah senyuman pun merekah dan lama-kelamaan menjadi tawa dengan degupan jantungnya yang masih menggila. Bukan hanya jantungnya, mungkin, ia memang telah gila karena terlalu merasa senang dengan apa yang baru saja ia dapatkan.  Jbles! Sakura menutup pintu apartemennya dan masih berdiri di depan pintu dengan tangan yang masih di belakang punggung memegang gagang pintu. Wajahnya menunduk menatap kedua kakinya dengan pandangan tak terbaca. Tak ada senyuman seperti yang ia tunjukkan di depan Rai sebelumnya, bahkan raut wajahnya perlahan terlihat menggelap. Hingga akhirnya langkah kakinya membawanya memasuki rumah yang terasa dipenuhi dengan kesunyian. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD