"Memangnya kau pikir kau siapa? Kenapa aku harus memberimu kamar yang layak? Bahkan, gudang itu terlihat berharga untukmu karena kau lebih layak tinggal di jalanan," tanya Kanagara dingin.
Pria itu beranjak mendekati Shalom. Berjalan memutari gadis itu, menatap dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Cih! Pembunuh sepertimu lebih layak membusuk di dalam penjara daripada tinggal di gudang rumahku," ejek Kanagara menatap gadis itu dengan tatapan jijik.
"A-apa maksudmu?" tanya Shalom tergagap. Jantungnya berdegup kencang dengan pikiran yang melanglang buana entah ke mana.
"Kau lupa atau pura-pura lupa, Pembunuh?" tanya Kanagara sinis. "Apa perlu kuingatkan agar kau ingat perbuatan jahatmu, huh!" bentak Kanagara geram. Bagaimana bisa Shalom melupakan perbuatan kejamnya satu tahun lalu yang menewaskan tunangan Kanagara.
Gadis itu mulai limbung. Seluruh tubuhnya bergetar ketakutan melihat bagaimana ekspresi Kanagara saat ini. Sepertinya ia bebas dari kandang harimau dan saat ini ia masuk ke kandang singa.
"Satu tahun yang lalu, kau main kebut-kebutan di jalan dan menabrak tunanganku hingga tewas. Apa kau ingat?!" bentak Kanagara lagi. Ia marah besar karena gadis itu melupakan hal yang paling menyakitkan baginya.
"Ti-tidak. Ja-jadi, ka-kau membebaskanku hanya untuk menyiksaku?" tanya Shalom melangkah mundur.
"Yah. Aku pikir hukumanmu di dalam penjara tidak seberapa. Jadi, aku sengaja membebaskanmu karena aku ingin balas dendam atas kematian tunanganku dengan caraku sendiri."
Mendengar penuturan Kanagara membuat Shalom berlari keluar. Ia lebih memilih hidup di dalam penjara meski ia disiksa daripada harus tinggal di rumah itu dan mati secara perlahan.
"Penta!" teriak Kanagara, "Jangan biarkan pembunuh sialan itu kabur!" tambah Kanagara berteriak.
"Lepas ... Lepaskan aku! Aku mohon lepaskan aku!" teriak Shalom memohon sambil berontak. Ia diseret masuk ke dalam oleh Penta, pengawal pribadi Kanagara.
Sementara Penta, pria itu hanya diam menunjukkan ekspresi dingin. Tanpa menghiraukan permohonan dan berontakkan dari Shalom. Ia menyeret gadis itu hingga tepat berada di hadapan Kanagara.
"Kau berani kabur dariku, hum?" Kanagara mencengkeram dagu Shalom dan menghempaskanya sekuat tenaga, "Jangan mimpi! Kau tidak akan pernah bisa lari dari penjara buatanku," imbuh Kanagara tersenyum menyeringai.
"Aku mohon, kembalikan aku ke penjara," mohon Shalom lebih memilih hidup di penjara dibandingkan dengan hidup di penjara buatan Kanagara.
"Tidak akan. Aku tidak akan membebaskanmu sampai kau mati perlahan di tanganku," balas Kanagara meremas jemarinya, "Bawa dia ke kamarnya!" tambah Kanagara memberi perintah pada Penta. Mana ada kamar yang kondisi ruangannya mirip sekali dengan gudang. Dan, kamar itu memang kenyataannya gudang penyimpanan di rumah mewah itu.
"Baik, Tuan," tegas Penta.
Pengawal dingin itu menyeret Shalom menyusuri lorong dengan minim pencahayaan. Meskipun Shalom terus memohon agar Penta melepaskan dan membiarkannya pergi, pria itu tetap tidak bergeming.
"Terima saja hukumanmu, Nona. Bukankah di sini lebih baik daripada di tahanan sana?" tanya Penta setelah sampai di depan pintu gudang yang kini dijadikan sebagai kamar Shalom.
"Tidak, aku lebih memilih di sana daripada di sini. Jadi, aku mohon bantu aku melarikan diri dari sini," sahut Shalom memohon.
"Maaf, Nona, saya tidak bisa," tolak Penta.
Pria itu hanya seorang pengawal yang digaji. Jadi, ia hanya bisa menerima perintah dari si pemberi gaji. Jika ia berani membantu Shalom untuk melarikan diri. Maka, sama saja ia menyerahkan nyawanya.
Lelah terlalu banyak memohon, akhirnya Shalom memutuskan untuk menerimanya. Karena ia tahu, seberapa banyak ia memohon pada Penta. Pria itu tidak akan pernah menuruti keinginannya.
"Baiklah. Sebelum kau pergi, bolehkah aku tahu siapa namamu, Tuan?" Setidaknya ia harus tahu nama pengawal itu agar lebih nyaman ketika ia membutuhkannya atau sekedar meminta tolong.
"Pentagon, panggil aku Penta. Kalau begitu, masuklah karena aku akan berjaga di sini,"sahut Penta menyebutkan namanya.
"Baiklah, Penta. Aku masuk dulu dan kau benar-benar harus tetap berada di sini."
Gadis itu takut sendirian berada di dalam gudang. Ia sudah bisa menebak apa saja yang ada di dalam sana. Mungkin akan ada kecoa, tikus, laba-laba, atau serangga lainnya. Jadi meskipun ia takut, setidaknya masih ada orang di luar yang akan menjaganya. Dan, jika terjadi sesuatu padanya, ia tinggal berteriak meminta pertolongan pada Penta.
Setelah masuk ke dalam, tangannya meraba-raba tembok mencari tombol untuk menyalakan lampu. Setelah menemukannya dan memencetnya. Lampu menyala dan terlihat jelas bagaimana kondisi ruangan itu. Benar-benar terlihat kotor dan berantakan. Debu tebal yang menempel menandakan gudang itu tidak pernah tersentuh sama sekali.
Bola mata hitam Shalom menggerilya menatap setiap sudut ruangan. Sampai di mana, ia terpaku menatap sesuatu yang terbang ke arahnya.
"Aaa ... Kecoa ... Ada kecoa ... " teriak Shalom lekas keluar dan melompat ke pelukan Penta.
"Kecoa, ada banyak kecoa di dalam, Penta," teriak Shalom mengeratkan pelukannya.
Karena rasa takutnya akan kecoa membuat gadis itu bertindak tidak sesuai akal sehatnya. Lihat saja apa yang ia lakukan saat ini membuat Penta membeku.
"No-nona. Tidak bisakah Nona turun dari tubuh saya?" pinta Penta.
Ia tidak terbiasa terlalu dekat dengan seorang wanita. Jadi, apa yang Shalom lakukan saat ini membuat Penta merasa tidak nyaman.
Untuk sesaat Shalom terdiam mencerna kata-kata Penta. Setelah itu, ia melompat turun menyadari apa yang telah ia lakukan.
"Ah, maaf Penta, aku tidak sengaja. Tadi aku hanya reflek karena terkejut," kata Shalom merona menunduk malu.
"Tidak apa-apa. Mari, saya bantu periksa!"
Penta masuk ke dalam diikuti oleh Shalom di belakangnya. Pria itu mengedarkan pandangannya dan mendapati kecoa mulai berterbangan ke arahnya. Mungkin karena terbiasa gelap dan saat ini lampu menyala. Jadi, kecoa-kecoa itu mulai mencari tempat persembunyian.
"Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak akan bisa tidur di tempat kotor dan banyak serangga seperti ini," keluh Shalom.
"Apakah kita harus merubah ruangan ini menjadi sebuah kamar?" tanya Penta tidak tega.
"Ide bagus! Maukah kau membantuku mewujudkannya?" Shalom mengerlingkan matanya berharap bahwa Penta akan membantunya.
"Tentu saja."
Ternyata, meskipun pria itu selalu menunjukkan ekspresi dingin. Namun, hatinya lembut selembut permen kapas.
"Lalu, kita harus memulainya dari mana?" tanya Shalom bersemangat.
"Kita mulai dari buku-buku ini saja," sahut Penta menunjuk ke arah buku-buku tebal yang menumpuk dan ada pula yang berserakan di lantai.
"Baiklah. Saatnya kita bekerja!" teriak Shalom sambil menggulung lengan bajunya.
Setelah merapikan buku dan menyusunnya di sudut ruangan dekat pintu. Kini, mereka berdua mulai membersihkan debu. Beruntung, di sana ada ranjang tidak terpakai yang tertutup kain putih dengan debu tebal yang menempel.
Shalom dan Penta saling tatap dengan senyum yang mengembang.
"Ada tempat tidur di sini, Penta," ucap Shalom girang. Gadis itu berbicara dengan Penta seolah sedang berbicara dengan temannya sendiri.
Penta menarik kain putih itu, sedangkan Shalom tidak sengaja menghirup debu yang ada di kain itu. Ia terbatuk hingga sudut matanya berair. Bahkan, pijakan kakinya berubah tidak seimbang dan terjatuh ke atas tempat tidur. Penta yang berusaha menangkap Shalom justru ikut terjatuh. Kini, Shalom jatuh di atas pelukan Penta.
"Apa yang kalian lakukan?! bentak Kanagara menggema di ruang gudang itu.