Khawatir Ia Kembali

1044 Words
Fyi saja untuk para pembaca setia yang sabar nan budiman. Mohon maaf aku beberapa hari ini update kurang banyak, satu hari hanya satu bab. Karena lagi ada acara beruntun. Insya Allah mulai besok udah bisa update seperti sebelumnya, satu hari 3 bab, kurang lebih 3.500 kata total.     Mohon maaf juga yang disorientasi sama alurnya, ini lagi mundur, ya. Nikmati saja alurnya, karena ini super lambat menuju fase - fase selanjutnya. Tapi insya Allah tetap akan kelar di akhir bulan.     Oke, selamat membaca^^.     ~~~~~ Asmara Samara ~~~~~     Beberapa anak PMR yang stand by di UKS segera bersiap begitu melihat Zee dan Athar yang berlari sembari menggendong siswa pingsan di punggungnya.     "Apa yang terjadi?" tanya salah satu dari mereka. Yang lain menyiapkan brankar dan beberapa alat pertolongan pertama yang dibutuhkan.     "Nggak tahu. Sepertinya dadanya sakit. Terus dia pingsan." Zee yang menjelaskan.     Athar menurunkan Asmara dari punggungnya, membaringkannya di brankar dibantu oleh para anggota PMR.     "Ini Kak Asmara, kan?" tanya salah satu dari mereka.     Athar mengangguk, ia masih ngos - ngosan setelah menggendong Asmara cukup jauh. Zee yang menjawab. "Iya, ini Kak Asmara."     Berhubung Asmara cukup terkenal di sekolah, dan Rafi serta Emma sudah mengatakan ke pihak sekolah tentang kondisi Asmara, meminta tolong untuk memperlakukan Asmara secara khusus karena memang ia berbeda, pihak sekolah sudah memberi tahu pihak kesehatan termasuk anggota PMR dan dokter yang bertugas di UKS tentang kondisi Asmara.     Sehingga sewaktu - waktu terjadi sesuatu, mereka bisa menangani dengan benar karena tahu kondisinya.    Anggota PMR segera melakukan diskusi tentang tindakan yang akan mereka lakukan untuk Asmara.        "Dia auto imun, kan?"     "Iya, diabetes."     "Tapi kok sesak napas."     "Nggak sesak napas, dadanya sakit."     "Oh, iya itu maksudnya. Kok dadanya sakit? Emang diabetes bisa begitu?"     "Jangan - jangan ....." Anak itu tidak berani mengucapkan apa yang ingin ia katakan.     Teman - temannya pun menghentikannya. Anak itu hendak mengatakan komplikasi. Karena penderita penyakit auto imun memang rawan mengalami komplikasi yang membuat penyakitnya menjadi serius.     "Jangan ngomong aneh - aneh dulu. Karena ini Kak Asmara, kita nggak bisa tangani dia sendiri. Kita butuh dokter Ahkam. Tapi sayangnya dokter Ahkam belum Dateng hari ini, karena beliau bertugas jaga di UGD di rumah sakit."     "Ya kalau gitu buruan telepon aja. Kasihan ini Kak Asmara - nya."     "Oke, oke. Kita telepon beliau."     Athar dan Zee masih setia menunggu di sana. Mereka berdiri berdampingan menatap Asmara yang masih terbaring tidak sadarkan diri, dan nampak begitu pucat. Ia pun berkeringat banyak.     Sembari menunggu dokter Ahkam datang, para anggota PMR segera memberikan pertolongan pertama, sekadar untuk membantu Asmara sadar.     Syukurlah, tidak lama kemudian Asmara akhirnya sadar. Cowok itu mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya benar - benar membuka matanya. Namun begitu ia benar - benar sadar, raut kesakitannya kembali. Tangannya pun kembali mencengkeram d**a. Posisi Asmara yang semula berbaring, dalam sekejap menjadi miring dan menelungkup karena menahan sakit.     Para anggota PMR membantu menenangkannya dengan afirmasi positif. Mereka tidak bisa melakukan tindakan apa - apa karena prosedurnya tidak begitu.     "Tenang ya Kak, dokter Ahkam sebentar lagi datang. Kak Asmara bakal segera mendapat pertolongan."     Afirmasi positif itu padahal sebenarnya memang hanya sekadar afirmasi saja. Karena nyatanya bahkan dokter Ahkam belum menjawab telepon. Pasti di UGD sedang sangat sibuk.     Tapi bukan berarti mereka tidak melakukan apa - apa. Salah satu dari anggota PMR baru saja berlari ke ruang guru untuk mencari Pak Yasifun, sang pembina PMR. Ia baru saja kembali bersama Pak Yasifun. Keduanya nampak panik.     Pak Yasifun segera melihat kondisi Asmara. "Dokter Ahkam sudah menjawab?"     "Belum, Pak."     "Karena kondisi Asmara seperti ini, dan kita juga awam, lebih baik langsung kita bawa ke rumah sakit saja."     "Baik, Pak. Kita bawa pakai mobil sekolah atau panggil ambulans?"     Pak Yasifun masih berpikir karena ia tidak tahu mobil sekolah sedang ada atau justru sedang dipakai.     "Pak, dokter Ahkam baru saja menjawab. Katanya Kak Asmara segera dibawa ke UGD saja, beliau tunggu di sana. Beliau suda mengirim ambulans."     Semua orang nampak sangat lega. "Alhamdulillah, oke kalau gitu. Kita tunggu ambulans sembari bersiap - siap."     ~~~~~ Asmara Samara ~~~~~     "Kak, kalau Kak Mara kondisinya parah, nanti gimana nasib kelompok - kelompok kita? Kita nggak akan bisa lakuin lombanya tanpa Kak Mara." Zee nampak begitu terpukul.     Ia dan Athar ikut ke rumah sakit bersama Pak Yasifun, mengantarkan Asmara, dan masih setia mendampinginya, sembari menunggu orang tua Asmara datang. Sementara Pak Yasifun suda kembali ke sekolah karena ia harus mengajar.     "Kita doain aja Mata baik - baik aja. Meskipun dia terlahir dengan fisik yang lemah, tapi dia punya kemauan yang kuat. Itu lah yang bikin dia hebat." Athar berusaha menenangkan Zee meskipun ia sendiri sebenarnya juga takut.     Tapi di dalam pikirannya, ia pun juga sedang menyiapkan rencana cadangan untuk berjaga - jaga seandainya Asmara memang benar - benar tidak bisa mendampingi mereka dalam lomba. Mereka harus bisa tetap ikut dalam olimpiade meskipun tanpa Asmara. Kalau mereka sampai menyerah duluan, itu justru akan membuat Asmara tersakiti tentu saja.     Zee dan Athar segera menoleh ketika mendengar derap langkah kaki yang berlari. Ternyata itu adalah Rafi dan Emma. Keduanya nampak begitu takut dan khawatir.     "Kak Mara masih di dalem, Tante, Om." Zee segera menjelaskan.     "Apa yang terjadi sebenarnya?" Rafi segera meminta penjelasan detail karena tadi saat ditelepon Pak Yasifun, ia keburu panik, sehingga tak terlalu mendengar penjelasan itu.     Zee menatap Athar, meminta cowok itu saja yang menjelaskan pada Rafi dan Emma. Athar pun menurut. Ia segera menjelaskan kejadian sedetailnya. Supaya Rafi dan Emma mengerti.     Rafi dan Emma terdiam begitu mendengar jawaban Athar. Jujur mereka takut akan hal sama. Kenapa Asmara mengalami sakit di d**a lagi, padahal ia sudah menjalani operasi waktu itu. Jangan - jangan ... tumor itu kembali.     Tapi mereka belum bisa menyimpulkan apa pun sebelum mendapatkan keterangan resmi dari dokter Nicholas.     "Terima kasih kalian sudah menjaga dan melakukan yang terbaik buat Mara, ya." Emma segera berterima kasih pada Zee dan Athar. Ia berusaha tersenyum meskipun sulit.     "Tidak perlu berterima kasih, Tante." Zee yang menjawab.     "Oom, Tante, karena Oom dan Tante sudah datang, kalau begitu kami pamit ya. Kami doakan semoga Mata cepat sembuh. Kapan - kapan kami akan ke sini lagi jenguk dia." Athar mewakili berpamitan pada Rafi dan Emma.     "Sekali makasih, ya."     "Iya, Oom, Tante."     Athar dan Zee pun segera pergi setelah itu. Meninggalkan Rafi dan Emma yang kembali begitu ketakutan. Menunggu Asmara selesai ditangani di dalam sana.     ~~~~~ Asmara Samara ~~~~~     -- T B C --   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD