Ketika perjalanan kembali ke rumah sakit, Asmara merasa begitu bahagia. Seakan tak mempedulikan rasa sakit yang menjalar di area dadanya. Ia juga tidak mau menunjukkan rasa sakit itu pada Emma. Keduanya hanya diam duduk manis di dalam mobil, seakan - akan menikmati setiap detail perjalanan.
Sesampai di rumah sakit, keduanya disambut rombongan tim medis. Mereka semua segera melakukan pemeriksaan pada kondisi vital Asmara. Karena Asmara sedang bahagia, kondisinya dinyatakan baik. Dan Syukurlah rasa sakit di dadanya tidak bertahan lama. Rasa sakit itu menghilang sendiri beberapa saat kemudian setelah ia berbaring.
Asmara kembali menjalani kehidupan membosankan menuju kesembuhan. Ia memiliki tujuan lain sekarang. Menunggu kabar dari klub multimedia, sembari menjalani serangkaian proses pengobatan.
Hari demi hari berlalu. Asmara begitu bahagia karena salah satu kelompok klub mereka berhasil menyabet juara dalam olimpiade. Nyatanya terbukti, meski tanpa Asmara, mereka pun bisa menang dalam olimpiade, asal ada kemauan dan kerja keras.
Klub multimedia datang ke rumah sakit beberapa hari setelah olimpiade berakhir. Mereka membawa serta piala yang berhasil mereka dapatkan dari perlombaan. Mereka ingin memperlihatkan piala itu pada Asmara, sekaligus mempersembahkan piala itu. Karena jika tanpa motivasi dan dorongan dari Asmara, mungkin mereka tidak akan meraih kemenangan itu.
Asmara menyambut mereka dengan begitu hangat. Momen haru tidak bisa terhindar ketika Athar memberikan piala itu pada Asmara.
Asmara menerima, menyentuh, dan memegang piala itu dengan begitu bangga. Mereka tidak lupa mendokumentasikan momen berharga itu. Emma yang memotret kebersamaan mereka. Asmara duduk berselonjor di atas brankarnya sambil membawa piala, sementara di kanan kirinya ada para anggota klub multimedia yang berbahagia.
Setelah satu potret terjepret, Asmara segera berbicara pada mereka semua. "Jadi karena piala ini adalah hasil dari kerja keras kalian, bukankah rasanya sangat nggak adil kalau kalian ngasih piala ini ke aku? Jadi, aku ingin memberikan kembali piala ini ke kalian semua. Lebih baik piala ini diletakkan dalam lemari di basecamp kita, jadi salah satu saksi dari perjuangan keras kita, perjuangan keras kalian."
Asmara kemudian benar - benar mengembalikan piala itu. Ia menyerahkan nya pada Athar. "Sekali lagi selamat atas kemenangan kalian ya. Aku berharap aku bisa segera kembali untuk bergabung sama kalian semua. Sayangnya aku nggak bisa kembali dalam waktu cepat. Mungkin nanti saat aku kembali, Athar sudah lulus, dan kalian semua sudah naik kelas. Tapi nggak apa - apa. Yang penting aku bisa kembali, kan."
Asmara mengakhiri kata - katanya dengan tersenyum. Entah mengapa senyuman Asmara selalu membawa semangat menggebu. Padahal ia nampak begitu ringkih.
Mereka semua begitu salut dengan jiwa Asmara yang selalu penuh semangat, membawa pesan dan pengaruh positif dalam setiap kesempatan yang ada. Berharap mereka pun bisa demikian. Meskipun pasti tak akan sama. Karena mereka bukan Asmara.
~~~~~ Asmara Samara ~~~~~
Beberapa tahun kemudian berlalu. Syukurlah penyakit Asmara benar - benar tidak kembali setelah proses Mastektomi. Saat ini Asmara sudah duduk di bangku kuliah. Ia mengambil jurusan multimedia sesuai dengan minat dan bakatnya.
Athar adalah seseorang yang saat ini satu kampus, bahkan satu kelas dengannya. Padahal mereka tidak janjian kuliah di tempat yang sama, mengambil jurusan yang sama. Tapi takdir yang kembali mempertemukan mereka.
Di saat Asmara begitu semangat menyambut masa depannya. Sebuah kondisi kembali harus ia alami.
Sebuah gejala yang berbeda. Memasuki semester ke empat, Asmara mulai sering merasa sesak napas. Tiap sesak itu melanda, rasanya dadanya seperti dihimpit dari depan, dari belakang, dari kanan, dan kiri sekaligus. Sesak disertai rasa sakit yang teramat sangat.
Setiap menarik napas, rasanya seperti ada pasir yang masuk dalam paru - parunya. Asmara begitu takut dan khawatir. Penyakit macam apa lagi yang sedang menggerogoti tubuh ringkihnya. Asmara takut. Ia ingin segera diobati. Ia pun ingin bilang pada Rafi dan Emma. Tapi posisinya begitu sulit.
Bertahun - tahun mereka sekeluarga merasakan kebahagiaan pasca kesembuhan Asmara. Asmara begitu tak tega jika nyatanya mereka kembali harus berjuang menuju kesembuhan. Orang tuanya pasti akan sangat sedih, meski mereka tidak akan bilang, atau menunjukannya secara terang - terangan.
Asmara memutuskan untuk datang ke rumah sakit tanpa kedua orang tuanya. Toh ia sudah dewasa sekarang. Maka setiap tindakan tidak membutuhkan persetujuan dari orang tua seperti dulu.
Apa pun vonis yang akan ia dapat, ia akan terima. Dan pastinya ia akan menjalani pengobatan. Perjuangannya kali ini pasti lah lebih berat karena akan ia hadapi sendirian. Tapi tidak masalah. Ia hanya yakin akan bisa melalui semuanya. Ia akan sembuh, kembali sehat, dan melanjutkan kebahagiaan bersama keluarga.
Karena setiap hari bertemu, Athar menyadari perubahan kondisi fisik Asmara pasca pengobatan yang ia jalani sendirian, mengandalkan kartu asuransi kesehatan yang ia bawa sendiri.
Asmara menjadi semakin kurus, semakin pucat. Ia sering memakai kupluk ke kampus. Ia pun semakin lemah.
Suatu siang, Athar datang menghampiri Asmara yang berjalan sendirian di lorong. Asmara nampak begitu terburu - buru keluar setelah kelas berakhir. Athar hanya ingin bertanya, memastikan apakah Asmara baik - baik saja. Mengingat mereka adalah teman sejak SMA.
Asmara tersenyum ketika Athar tiba - tiba muncul dan berjalan di sebelahnya.
Athar pun membalas senyum Asmara. "Aku mau nanya."
"Nanya apa?" Asmara sama sekali tak menaruh curiga.
"Uhm ...." Athar memikirkan bagaimana ia harus memulai bertanya. "Ngga. Aku cuman mau nanya. Aku perhatikan kamu makin kurus dan pucat belakangan ini. Kamu juga sering bakso kupluk. Kenapa? Kamu baik - baik aja, kan?"
Asmara diam dan menunduk. Ya tentu cepat atau lambat akan ada orang yang mencurigai kondisinya. Wajar kalau Athar curiga karena memang ia mengalami perubahan yang cukup signifikan.
Seandainya Emma dan Rafi ada, pasti mereka juga suda curiga sejak lama. Tapi karena Asmara kuliah di luar kota, ia jadi tak bertemu dengan kedua orang tuanya. Makanya mereka berhasil sembunyi sejauh ini.
"Aku baik - baik aja kok, Thar." Asmara akhirnya memutuskan untuk tidak jujur. Bukannya ia sengaja berbohong atau bagaimana. Tapi ia merasa sudah cukup tentang drama kesehatan nya.
Ia dan Athar sama - sama berjuang di kota orang. Kehidupan Athar sendiri pasti sudah berat. Asmara tidak ingin menambah bebannya.
Lagi pula jika Athar tahu, kemungkin Rafi dan Emma juga akan segera tahu. Padahal ia sudah bertekad kuat menyembunyikan kondisinya. Ia akan menjalani semua prosedur dengan baik, sendirian. Sampai ia sembuh. Dan bersikap layaknya tidak pernah terjadi apa - apa.
"Serius kamu nggak apa - apa, Mara? Ayo nggak apa - apa, jujur sama aku. Kita emang nggak terlalu dekat meski kita satu klub dan bahkan sekarang satu kelas. Tapi aku adalah salah satu saksi dari perjuangan kamu menuju sehat selama ini. Kamu banyak berubah akhir - akhir ini."
Asmara memaksakan sebuah senyuman. Jujur ia terkesan pada kebaikan Athar padanya. Hanya saja ia benar - benar tidak bisa jujur pada siapa pun. Ia hanya yakin akan segera sembuh. Itu saja. Jadi tidak perlu ada lebih banyak orang tahu.
"Iya, aku baik - baik aja, That. Uhm ... aku duluan ya Thar. Aku buru - buru keburu ketinggalan bus. Bye." Asmara mengayunkan langkah kakinya dengan begitu cepat. Ia bahkan tidak menunggu konfirmasi dari Athar terlebih dahulu.
Athar berhenti melangkah. Rasanya berat melepas Asmara tanpa mendapat jawaban pasti. Ia hanya ingin membantu Asmara, tapi nyatanya Asmara telah membangun dinding tinggi dan kokoh di antara keduanya.
Athar hanya bisa diam, pasrah memandangi Asmara yang kini sudah jauh di sana.
~~~~~ Asmara Samara ~~~~~
-- T B C --