Operasi Mastektomi itu benar - benar dilakukan dua hari kemudian. Prosedur nya benar - benar lama, memakan waktu tak sebentar. Namun penantian lama itu, setimpal. Dengan pernyataan dokter Nicholas pasca operasi, bahwa Mastektomi itu berjalan dengan sukses. Tinggal menunggu pemulihan Asmara saja.
Sama dengan prosedur operasi yang pertama, Asmara juga diharuskan berada dalam ruang observasi terlebih dahulu. Baru kemudian dipindahkan ke kamar rawat biasa ketika kondisinya dianggap sudah stabil.
Karena Asmara diberi anestesi yang cukup keras, maka efeknya pun hilang dalam jangka waktu lebih lama dibandingkan anestesi untuk pasien operasi biasa. Bahkan sampai Asmara keluar dari ruang observasi, ia masih belum sadarkan diri. Benar - benar berbeda dengan prosedur operasi yang pertama.
Rafi dan Emma bersama - sama menjaga Asmara, mendoakan yang terbaik, berharap putra mereka bisa segera sadar.
Syukur lah doa - doa mereka didengar Tuhan. Asmara akhirnya menunjukkan tanda - tanda akan sadar. Jari telunjuknya sedikit bergerak. Matanya yang terpejam berkedut seakan - akan hendak terbuka.
"Pi ...." Emma segera memberi tahu Rafi yang hampir tertidur karena terlalu lama dan lelah menunggu kesadaran Asmara.
Tadi sedikit tersentak karena terkejut. Tapi kesadarannya segera kembali seratus persen, begitu melihat kedua mata putranya mengerjap. Asmara akhirnya sadar. Ia benar - benar sudah sadar.
Tanpa menunggu apa pun lagi, Rafi segera menekan tombol emergency di sebelah brankar. Ia dan Emma menunggu tim medis datang, sembari merangsang kesadaran Asmara.
"Sayang kamu bisa denger kami, hm?"
Asmara masih terdiam, ia menatap sekeliling ruangan. Pandangannya masih belum jelas.
"Sayang, alhamdulillah operasi nya berjalan lancar dan sukses. Alhamdulillah ya sayang." Emma menggenggam jemari Asmara dengan erat.
Ucapan Emma nyatanya berhasil menciptakan senyuman di wajah putranya. Senyum yang menular, membuat Rafi dan Emma ikut tersenyum karenanya.
Tak lama kemudian tim medis datang. Rafi dan Emma diminta keluar terlebih dahulu supaya mereka bisa lebih leluasa mengecek kondisi Asmara secara detail.
Begitu pemeriksaan selesai, Rafi dan Emma segera diperbolehkan masuk kembali. Saat itu kesadaran Asmara sudah kembali sepenuhnya. Anak itu sudah nampak ceria meskipun kelihatan masih begitu lemas.
"Syukurlah kondisi vital Asmara semuanya baik. Semangat nya untuk sembuh benar - benar luar biasa. Sekarang hanya tinggal menunggu pemulihan saja. Memang akan sedikit lebih lama. Tapi saya percaya Asmara akan mampu melewatinya dengan baik, karena ia adalah anak yang benar - benar luar biasa."
"Aamiin, terima kasih, Dok." Emma mengucap terima kasih dengan tulus.
"Tidak perlu berterima kasih, Bu. Sudah menjadi kewajiban kami merawat pasien."
"Tapi kami tetap berterima kasih, Dok. Atas kerja keras dokter dan tim." Rafi yang menjawab kali ini.
Dokter Nicholas terkikik kecil. "Saya juga berterima kasih kalau begitu. Terima kasih karena sudah percaya pada kami."
Mereka berempat, Asmara, Rafi, Emma, dan dokter Nicholas, tertawa bersama sebagai wujud rasa syukur dan kebahagiaan mereka untuk saat ini.
"Ya sudah, kalau begitu saya pamit, Pak, Bu, Asmara." Dokter Nicholas kemudian menatap Asmara. "Mara, kamu benar - benar pemuda yang hebat. Kamu mungkin bisa melenyapkan pterodactil dengan semangat kamu yang menggebu - gebu."
Mereka kemudian tertawa sekali lagi.
"Semoga lekas pulih ya Mara." Ucapan dokter Nicholas itu diaminkan oleh semua orang, sebelum akhirnya dokter itu benar - benar pergi dari sana.
Rafi dan Emma pun sebenarnya merasa begitu heran. Asmara baru saja sadar setelah tidur cukup panjang pasca prosedur operasi yang tidak sederhana. Namun dengan kondisi fisik yang masih begitu lemah, dan pasti belas luka operasi yang sangat sakit, anak itu masih saja ceria dan tersenyum.
"Sayang, Mami seneng banget lihat kamu ceria dan semangat untuk sembuh. Tapi Mami ingin bilang sesuatu sayang." Emma mengelus rambut hitam Asmara dengan lembut.
"Bilang apa, Mi?" tanya Asmara.
Emma masih mengelus rambut Asmara dengan sayang. Rafi ikut mendengarkan, ia pun juga penasaran dengan apa yang akan dikatakan oleh Emma.
"Sayang, manusia ceria dan semangat sama sekali tidak salah." Emma akhirnya menjawab. "Namun ada kalanya manusia juga perlu jujur terhadap perasaannya. Merasa bahagia ketika bahagia. Merasa sedih ketika sedih. Supaya apa? Supaya pikiran dan jiwa kita senantiasa sehat pula. Sayang, kamu baru saja menjalani sebuah prosedur operasi yang panjang, dan Mami yakin kamu sekarang masih merasa kesakitan, kamu juga baru saka kehilangan sepasang organ dalam tubuh kamu. Ya, mungkin organ itu tidak penting untuk kamu, karena kamu laki - laki. Tapi tetap saja, organ itu sebelumnya adalah bagian dari diri kamu. Kamu pasti merasa kehilangan, kan.
"Kamu menjalani hari yang begitu panjang dan berat. Lelah, sakit, kehilangan. Tidakkah kamu merasa sedih? Tapi kenapa kamu ceria seperti ini? Mami kadang bingung, kamu ceria itu sungguh - sungguh, atau karena memang kamu terlalu baik, Sehingga bisa begitu pandai menyembunyikan perasaan kamu yang sesungguhnya. Mami ingin kamu jujur sayang. Mami ingin kamu meluapkan segala apa pun dalam hati kamu. Supaya kamu lega. Ayo sayang, jujur lah. Mami dan papi tidak akan keberatan. Tidak apa - apa sesekali bermanja."
Asmara tersenyum mendengar rentetan ucapan panjang ibunya. Sementara Rafi terdiam. Ia pun penasaran menunggu jawaban Asmara. Benar apa yang dikatakan Emma. Tidak mungkin seorang manusia selalu merasa ceria menghadapi segala tempaan dalam hidup. Pasti ada kalanya seseorang mencapai batas.
"Mi ... Pi .... Itu benar. Ya, ada kalanya aku pun mencapai batas kesabaran. Karena aku adalah manusia biasa yang punya perasaan. Hanya saja, di saat aku mencapai batas, aku selalu berpikir. Aku punya dua orang tua yang begitu sempurna. Mereka menyayangi aku dengan sempurna. Aku benar - benar bersyukur memiliki kalian. Kalian adalah sumber terbesar dari semangatku. Dan ... segala sesuatu di dunia ini ... bukan kah itu hal fana semata? Nggak ada di dunia ini yang bener - bener milik kita, kan? Bakat, kekayaan, kesehatan, semua itu bukan sepenuhnya milik kita. Jadi kalau sewaktu - waktu mereka hilang dari kita, itu sudah sewajarnya, karena sekali lagi ... itu bukan milik kita."
Rafi dan Emma tercengang mendengar jawaban Asmara. Pemuda 17 tahun itu. Anak mereka. Seseorang yang mereka besarkan. Mereka tidak pernah menyangka putra mereka adalah sosok yang begitu dewasa. Pikiran mereka bahkan tak sampai ke situ pada awalnya. Namun Asmara dengan segala kekurangannya justru menyadarkan mereka. Kekurangan yang justru ia jadikan kelebihan.
~ ~ ~ ~ ~ Asmara Samara ~ ~ ~ ~ ~
-- T B C --