"Dugaan kalian nggak sepenuhnya salah, kok. Kita nggak mau berguru sama mereka tentang caranya jual penyakit. Tapi berguru gimana caranya menjadikan apa yang kita punya sebagai sesuatu yang bermanfaat. Karena aku sama Samran punyanya skill desain, editing, dan penyakit. Dan Sam punyanya skill masak. Ya ... kita manfaatin itu semua semaksimal mungkin."
"Maksudnya gimana, sih, Bang?" Samran masih tak mengerti.
"Kita kirim DM ke itu cewek, tanya kepastian tempat tinggalnya. Sekalian kita kenalin diri, kasih tahu dengan jelas apa tujuan kita ... kolaborasi!"
"Kolaborasi?" Samran dan Samara kompak bertanya lagi. Mengulang apa yang sudah disampaikan Asmara.
Asmara mengangguk mantap. "Kita akan kolaborasi dengan mereka, memanfaatkan semua yang kita punya, semaksimal mungkin. Tentunya kita nggak cuman ambil keuntungan sepihak. Kita juga harus kasih keuntungan ke mereka. Biar terjadi simbiosis mutualisme."
"Caranya gimana, Bang?"
Senyuman Asmara lagi - lagi merekah. Kemudian ia menjelaskan rencananya secara terperinci.
~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~
Sayangnya, rencana ajaib Asmara tak berjalan sesuai bayangan. Semua tak semudah membalik telapak tangan.
Hingga detik ini, perempuan berhijab bernama Vanila itu belum juga membalas pesan langsung yang dikirim Asmara via i********:. Pasti ia sedang sangat sibuk.
"Udah dibales, Adek Ipar?" tanya Asmara untuk ke sekian kali.
Sudah menjadi kebiasaan baru pemuda itu beberapa hari ini. Tepatnya setelah ia mengirim pesan menggunakan ponsel dan akun Samran.
"Belum," jawab Samran apa adanya. "Udah, lah, Bang. Mungkin emang udah nasib kita kudu ngerintis channel dengan cara kita sendiri. Nggak perlu, deh, kolaborasi sama mereka."
Asmara menggeleng. "Kita tetep berusaha, sembari nunggu jawaban mereka, Adek Ipar. Ini kesempatan besar dari Tuhan buat kita. Dosa kalau nggak dimanfaatin. Karena mubadzir."
"Terserah Bang Mara aja, deh."
"Ya udah. Aku mau nyetak undangan yasinan dari Bu Mus. Kamu ikut, nggak?"
"Ikut, dong! Sambil nunggu Ibuk pulang sekolah. Lagian nggak ada sisa kerjaan juga di rumah."
Asmara segera menggenggam kendali kursi roda Samran. Pemuda itu sedang memikirkan hal lain sebenarnya. Matanya fokus menatap tabung oksigennya di bawah. Sudah beberapa hari juga ia lepas infus. Untung nafsu makannya cukup baik.
~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~
"Ya ampun, Mas ... saya ninggal video itu dari minggu kemarin, lho. Ya kali sampai sekarang belum kelar. Padahal udah saya kasih DP. Kalau Mas nggak bisa, harusnya ngomong sejak awal, dong. Jangan PHP - in saya begini. Mas nggak tahu aja, kalau video ini adalah urusan hidup dan mati!"
Baru juga sampai di warnet, Asmara dan Samran sudah disambut suara perempuan yang mengomel. Mereka masuk pelan - pelan. Dan si perempuan berhijab lanjut mengomel.
"Sekarang apa yang akan Mas lakuin atas kerugian waktu dan materi yang saya alami, hm? Ayo jawab, Mas!" Perempuan itu nampak benar - benar murka pada Mas Gondrong penjaga warnet.
"Maaf, Mbak. Saya balikin DP Mbak aja, ya. Ternyata ngedit video nggak semudah yang saya bayangin. Untuk kerugian waktunya, saya benar - benar minta maaf." Mas Gondrong menunduk dalam. Nampak benar - benar menyesal sekaligus ketakutan.
Semua anak yang antre mengerjakan tugas menatap dalam diam. Sementara para pengguna jasa internet turut memperhatikan dari sekat masing - masing.
Asmara memperhatikan wanita itu. Seperti pernah melihatnya, tapi di mana? Kedua mata Asmara membulat saat menyadari siapa wanita berhijab itu. Ia melangkah tanpa ragu menghampirinya.
"Bang Mara ... ke mana?" Samran berusaha bertanya, tapi diabaikan.
"Mbak Vanila!" seru Asmara.
Seketika perempuan berhijab itu menoleh. Sisa emosi di wajahnya, tak cukup untuk menutup raut lelah dan jenuhnya. "Anda siapa, ya?" tanyanya.
Asmara segera mengulurkan tangan. Menperkenalkan diri, sekaligus memberi tahu rencananya untuk kolaborasi dengan channel RSJ.
~~~~~ ASMARA SAMARA ~~~~~
Vanila memasuki rumah itu dengan raut antusias. Sungguh, ini adalah sebuah pencerahan dari Tuhan. Akhirnya ada jawaban dari setiap doa - doa yang ia panjatkan untuk Rori setiap hari.
"Silakan duduk, Mbak!" Asmara tak kalah semringah dari Vanila.
"Makasih, Mas Mara." Vanila tersenyum manis. "Sebenarnya saya juga udah kirim email ke kalian lho. Saya pengin kolaborasi. Saya lihat channel kalian bagus. Dan kalian sangat memotivasi. Maksudnya begini, partner ... eh pacar saya Mas Rori, dia lagi saat parah.
"Belakangan ini dia kayak udah kehilangan semangat buat sembuh gitu. Syukurlah adek saya ngasih tahu tentang channel kalian. Saya nonton dan lihat ... maaf sebelumnya ... saya lihat kondisi kalian pun sakit, sama seperti Mas Rori. Tapi kalian begitu semangat. Saya harap dengan kolaborasi dengan kalian, Mas Rori bisa kembali semangat untuk sembuh."
Asmara dan Samran ternganga mendengar penjelasan Vanila.
"J-jadi gini, Mbak ... gini lho, kami juga ngajak Mbak -- channel RSJ -- kolaborasi. Tapi kami nggak lewat email. Lewat dm i********:. Kami nunggu jawaban lama, kami pikir Mbak super sibuk. Lagian kami mana kepikiran kalau ada channel besar mau kolab sama kami. Kami juga nggak nge cek email sama sekali. Maaf ya, Mbak."
"Eh, nggak apa - apa, Mas. Alhamdulillah saya bersyukur banget kalau ternyata kalian juga pengin kolab sama kami. Makasih ya. Iya saya cukup sibuk akhir - akhir ini. Maklum mahasiswa semester akhir, dan pacar saya juga sakit. Maaf nggak sempet lihat Instagram."
"Alhamdulillah kita ketemu di warnet ya mbak."
"Iya, alhamdulillah banget.".
Tanggapan Asmara berbeda 180 derajat dari Samran. Entahlah, ia tak suka melihat interaksi manis antara Vanila dan Asmara. Samran merasa, Vanila adalah sebuah ancaman besar. Ia dan Asmara segera akrab sesaat setelah berkenalan. Samran tak mau mereka seakrab itu. Tak mau Asmara berpaling dari Samara.
"Mau minum apa, Mbak?" Asmara bahkan menawarinya minuman. Sebelumnya tiap kali ada tamu, Asmara tak pernah begitu.
"Nggak usah repot, Mas. Saya pengin langsung diskusi masalah kolaborasi kita. Sebelumnya saya juga mohon maaf karena belum balas pesan kalian di i********:. Akhir-akhir ini hidup saya chaotic banget. Ngurusin Mas Rori, ngurusin kerjaan, ngurusin masalah keluarga, ngurusin kuliah. Jadi nggak sempet nengok sosmed sama sekali."
"Nggak apa-apa, Mbak. Kami ngerti kok. Yang penting sekarang kita udah ketemu."
Vanila tersenyum. "Saya udah nggak sabar ngasih tahu Mas Rori tentang berita bahagia ini. Dia pasti seneng banget."
Asmara mengangguk. "Oke, deh. Jadi penawaran saya, tuh, semacam simbiosis mutualisme. Saya mau jujur, nih. Kami mengajak RSJ kolaborasi karena ingin numpang tenar. Tapi Mbak Vanila jangan salah sangka dulu. Sebaliknya, kami juga menawarkan sebuah jasa yang menguntungkan untuk RSJ. Karena kami bisa membantu dalam hal editing, sekaligus ngajarin Mbak Vanila dasar-dasar pengeditan video secara cuma-cuma."
Vanila senantiasa tersenyum cerah. "Saya mengerti, kok, Mas. Sebagai informasi, saya ini anak Ekonomi. Jadi saya cukup paham tentang ilmu bisnis seperti ini."
"Bagus, deh, kalau gitu. Saya penginnya kolaborasi ini segera terlaksana. Kenapa? Karena ... ya ... lebih cepat lebih baik, bukan? Mengingat ada tiga orang sakit di antara kita; saya sendiri, Samran, dan Rori. Bukannya pesimis. Mumpung kita masih pada sehat, kan."
"Iya, saya ngerti, Mas Mara. Tapi kondisi Mas Rori saat ini kurang baik. Kalian lihat sendiri, kan. Di video-video terbaru kami, dia lebih banyak tidur dan berbaring sepanjang waktu. Kasihan. Miris saya lihatnya. Padahal dulu dia termasuk anak muda yang cukup hiperaktif."
"Kanker emang begitu, Mbak. Menggerogoti para pasiennya dari dalam secara ganas namun nggak terlihat. Sebegitu licik dan pengecutnya."
Vanila menarik napas dalam. "Saya harap, dengan kolaborasi yang kita lakukan, keinginan Mas Rori akan segera tercapai. Kasihan dia. Sakit sendirian. Tapi keluarganya nggak mau tahu meskipun udah dikasih tahu. Mereka nggak percaya. Emang salah Mas Rori sendiri, sih. Salah sendiri hobi banget bikin prank. Orang-orang jadi gampang nggak percaya sama dia. Bahkan saat dia sakit parah sekalipun, nggak ada yang mau percaya."
"Semoga keluarga Mas Rori segera terbuka hatinya, dan mau percaya bahwa keadaan Mas Rori benar-benar gawat. Kurang lebih saya tahu gimana rasanya jadi dia. Punya keluarga, namun serasa sendiri." Asmara mengungkapkan sedikit kemelut hatinya.
"Semoga channel kalian juga segera maju dan berkembang pesat, ya. Saya juga berharap yang terbaik untuk kalian. Semoga Mas Mara dan Samran cepat sembuh. Dan cita-cita Samara juga segera tercapai."
"Aamiin, kita sama-sama saling berusaha dan mendoakan yang terbaik."
~~~~~ASMARA SAMARA - Sheilanda Khoirunnisa~~~~~
-- T B C --