Pertemuan.

1182 Words
Pagi yang cerah dengan senyum yang selalu merekah di bibirnya, Luphi mulai berkemas dan segera pergi menuju pasar untuk berdagang. Karena mulai hari ini sudah tidak bersekolah, jadi Luphi berangkat ke pasar pagi-pagi sekali. Ya Luphi memang hanya berjualan di hari Sabtu dan Minggu, karena ia sudah duduk di bangku sekolah menengah atas jadi pulangnya jam dua bahkan jam 3 hal itu sudah tidak mungkin untuk membuka kios di pasar, tapi kini Luphi sudah lulus, jadi ia bisa berjualan setiap hari. Dulu saat ibunya masih sehat dia akan ikut ke pasar untuk berjualan kue tradisional, dan kini ia yang menggantikan posisi ibunya di pasar. “Sudah semuanya Phi?” tanya Bu Rosma. “Sudah, Bu! Doakan laris ya, Bu,” ucap Luphi. “Ibu selalu mendoakanmu, Nak. Kamu hati-hati ya,” ucap Bu Rosma. “Iya, Bu. Luphi berangkat dulu ya,” ucap Luphi seraya mencium punggung tangan Bu Rosma. “Hati-hati, Nak.” “Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.” Dengan semangat Luphi mengayuh sepedanya menuju pasar, udara pagi yang dingin tidak menyurutkan niatnya untuk mengais rezeki. Saat sudah ada di pasar Luphi mulai menata kembali dagangannya lalu mulai melakukan aktivitasnya, kiosnya tidak terlalu besar, tapi bagi Luphi itu sudah lebih dari cukup untuknya, ia selalu mensyukuri apa pun yang Tuhan berikan padanya. Dengan senyumannya Luphi melayani pembeli dengan ramah, tak heran karena Luphi di didik dengan penuh kasih sayang dan harus menjaga sopan santun terhadap orang lain terutama yang lebih tua. Hari berganti hari tanpa terasa Luphi sudah menerima ijazah sekolahnya, terbesit niatan untuk melanjutkan kuliah, tapi itu hanya ada di angan-angan saja. Luphi tidak mungkin bisa melanjutkan kuliahnya, bukannya meremehkan rezeki dari yang maha kuasa, tapi tekadnya yang menekan agar dia membuang mimpinya untuk melanjutkan pendidikan. Karena bagi Luphidah, membahagiakan Ibunya adalah hal yang paling utama. Kini kesehatan Bu Rosma sudah benar-benar menurun, semakin hari semakin melemah, hal itu membuat Luphi sedih sekaligus khawatir. Dengan uang seadanya Bu Rosma hanya periksa di puskesmas setempat. Kini Beliau tengah duduk di kursi depan rumahnya, seperti biasanya, setiap pagi Bu Rosma akan jalan-jalan di depan rumah agar ototnya tidak kaku. Sementara Luphi tengah memasak dan juga membereskan rumah, hari ini Luphi memutuskan untuk tidak berjualan, karena sang ibu terlihat lebih tidak sehat, wajahnya terlihat pucat dan sembab. Maka dari itu Luphi tidak tega meninggalkan sang ibu. Sebenarnya uang hasil berdagang hanya cukup untuk membeli bahan kembali dan juga untuk makan satu hari, jika Luphi tidak berjualan hari ini maka tidak ada lagi uang untuk esok hari. Namun mau bagaimana lagi, kesehatan ibunya yang paling penting, Luphi masih ada satu cincin pemberian almarhum ayahnya, jika sewaktu-waktu di butuhkan Luphi akan menjualnya. “Bu, ayo masuk dulu,” ucap Luphi. Bu Rosma tersenyum kepada anak gadisnya, tanpa terasa kini Luphi sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik. Rasanya baru kemarin Bu Rosma menemukan Luphi di depan rumahnya, tapi kini bayi mungil itu sudah dewasa. Ya, Luphi bukanlah anak kandung dari Bu Rosma, ia adalah anak angkat dari Bu Rosma dan almarhum suaminya, seseorang memberikan Luphi padanya, tanpa pikir panjang Rosma dan sang suami menerima Luphi dengan senang hati tanpa bertanya siapa sebenarnya Luphi dan siapa orang yang memberikan Luphi padanya. Hanya sebuah kalung bernamakan Luphidah yang ada di leher Luphi. Namun meskipun demikian Rosma dan sang suami sangat menyayangi Luphi dengan setulus hati. Begitupun dengan Luphi, meskipun ia tahu bahwa dia hanya anak angkat, Luphi juga sangat menyayangi kedua orang tuanya itu. Bahkan Luphi sangat bersyukur bisa di besarkan di tengah-tengah keluarga sederhana dan juga hangat seperti keluarga Bu Rosma. Jika saja bukan mereka yang merawat Luphi mungkin Luphi tidak akan di dunia ini saat ini. “Ibu kenapa?” tanya Luphi. “Tidak apa-apa. Kamu hari ini tidak kepasar?” “Luphi libur saja Bu. Bisa menjaga Ibu, nanti kalau Ibu sudah sehat kembali Luphi akan kembali berdagang,” ucap Luphi. “Tidak apa-apa, Nak. Pergilah, Ibu tidak apa-apa,” ucap Bu Rosma. “Tapi, Bu–“ “Pergilah!” “Ibu yakin?” tanya Luphi. Bu Rosma hanya mengangguk seraya tersenyum. “Baiklah, aku hanya setengah hari saja, nanti sholat dzuhur di rumah saja,” ucap Luphi. “Terserah kamu saja.” Akhirnya Luphi pun berkemas dan berangkat ke pasar, tapi entah mengapa pikirannya hanya berpusat pada Ibunya. Ada rasa tidak rela meninggalkan sang Ibu sendiri di rumah, tapi tadi Luphi sudah meminta bantuan tetangganya untuk memantau keadaan sang Ibu. “Kamu ke mana saja, Phi? Kok baru jualan sekarang?” tanya Ibu-ibu di sana. “Ibuku sakit, Bu. Jadi aku harus merawatnya,” ucap Luphi. “Oh iya. Maaf ya aku belum bisa menjenguk Mbak Rosma.” “Tidak apa-apa, Bu. Sekarang Ibu sudah sehat,” ucap Luphi. “Alhamdulillah kalau begitu. Ya sudah kami pergi dulu ya, Phi.” “Iya, Bu.” Luphi kembali melakukan aktivitasnya dan melayani para pembeli yang datang ke kiosnya. “Loh, ini kan masih siang. Kok kamu sudah beres-beres?” tanya Bu Ani yang ada di belakang kiosnya. “Iya, Bu. Kasihan Ibu, di rumah sendirian,” ucap Luphi. “Tapi itu kuenya masih banyak.” “Nanti aku jual sambil pulang, Bu.” “Salam buat ibumu ya, insyaallah nanti sore aku akan ke sana.” “Iya, Bu. Terima kasih.” “Ya, sudah Ibu mau kembali ke lapak Ibu.” “Iya, Bu,” ucap Luphi seraya tersenyum. Setelah selesai mengemasi semua dagangannya, kini Luphi berniat pulang seraya kembali menjajakan kue miliknya yang hanya tinggal sedikit. Dengan sepeda kesayangannya Luphi terus mengayuh pedal sepedanya di bawah terik matahari yang menyengat. Ketika kuenya tinggal sedikit, Luphi tidak langsung pulang, ia justru kembali berkeliling dan berharap kuenya akan habis. “Heh, berhenti!” Dua orang yang terlihat seperti preman menghentikan Luphi. “Apa kalian mau membeli kue?” tanya Luphi dengan polosnya. “Mana uangmu?” “Lah, buat apa?” tanya Luphi. “Karena kamu sudah lewat jalan ini, maka kamu harus membayar pada kami!” bentak salah satu dari mereka. “Ini kan jalan bebas, kenapa aku harus bayar pada kalian?” “Jangan banyak tanya, berikan uangmu!” Aksi saling tarik menarik tas Luphi pun tak bisa di hindari. Dengan sekuat tenaga Luphi berusaha melindungi tasnya, dan setelah Luphi menggigit tangan salah satu preman itu, Luphi segera kabur, tapi naas Luphi malah tertangkap dan kembali berebut tas dengan preman dan membuat sang preman geram lalu mendorong tubuh Luphi. “Jangan mencoba untuk teriak jika kamu ingin selamat!’ ucap salah satu dari mereka seraya mencengkeram bahu Luphi. Dengan sekali tendangan Luphi bisa mendapat celah untuk berlari dan kedua preman itu terus mengejarnya hingga ke jalan raya. “Aw!” pekik Luphi saat sebuah mobil menabraknya. “Tolong bawa saya pergi!” ucap Luphi yang tiba-tiba masuk ke dalam mobil yang menabraknya barusan. Sementara pemilik mobil hanya diam saja menelisik setiap inci tubuh Luphi dengan heran. “Kamu siapa?” “Tolong Pak bawa saya pergi dari sini, itu mereka mengejar saya,” ucap Luphi seraya menunjuk ke kiri dan di sana terdapat dua orang yang tengah mengejar Luphi. Dengan menghela napas sang pemilik mobil itu pun meminta sang sopir untuk menjalankan mobilnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD