Rasa lelah menggelayuti tubuh seorang pria berusia dua puluh tujuh tahun, yang kini tengah berada di dalam mobil. Pria itu bernama Dehan Morgarano, seorang pria tampan dengan postur tubuh tinggi tegap dan juga wajah yang sangat bersahabat.
“Maaf, Mas. Sepertinya jalan ini di perbaiki,” ucap sopir Dehan. Ya semua pegawainya memanggil dirinya dengan sebutan ‘Mas’ selain orang kanti tentunya. Ia lebih suka di panggil ‘Mas’ daripada Tuan muda, menurutnya sangat tidak bersahabat.
“Lalu kita akan lewat mana, Pak?” tanya Dehan.
“Kita lewat pasar saja, Mas.”
“Baiklah tidak apa-apa,” ucap Dehan.
Mobil Dehan pun mulai berjalan memasuki jalan dekat pasar tradisional, dengan kecepatan sedang sang sopir terus melajukan mobilnya.
“Astagfirullah! Kenapa Pak?” tanya Dehan saat sopirnya tiba-tiba mengerem mendadak.
“Maaf, Mas. Seperti ada orang yang tiba-tiba ter–“
“Tolong bawa saya pergi!” ucap seorang gadis yang tiba-tiba memasuki mobil Dehan yang kebetulan sudah tidak di kunci.
“Siapa kamu?” tanya Dehan.
“Tolong Pak bawa saya pergi dari sini, itu mereka mengejar saya,” ucap gadis itu.
“Jalan, Pak,” ucap Dehan pada sopirnya.
Dehan menatap gadis yang ada di sebelahnya dengan tatapan heran. Gadis berpakaian sederhana bahkan masih memakai rok abu-abu khas anak sekolah menengah atas dan beberapa bajunya terlihat sobek.
“Siapa kamu?” tanya Dehan.
“Saya, Luphidah, Pak.”
“Kenapa kamu di kejar-kejar sama mereka?” apa kamu mencuri sesuatu, hingga mereka mengejarmu?” tanya Dehan.
“Saya tidak punya hutang, hanya saja mereka mencoba mengambil uang hasil jualan saya,” ucap Luphi.
Dehan terkejut atas pengakuan Luphi. Gadis yang terlihat masih kecil sudah berjualan bahkan dengan pakaian sekolah.
“Kamu masih sekolah?” tanya Dehan.
“Tidak, saya sudah lulus,” jawab Luphi seraya melihat ke arah Dehan. Seketika Luphi terpesona dengan Dehan yang memakai kemeja putih dan jas yang ia pangku serta wajah yang sempurna bagi Luphi.
“Di mana tempatmu?”
“Saya mengontrak di daerah melati,” jawab Luphi.
“Mengontrak?” tanya Dehan.
Luphi hanya mengangguk mendapatkan pertanyaan dari Dehan. Kemudian hanya keheningan yang ada di dalam mobil yang terus melaju menuju tempat kontrakan Luphi.
Sesekali Dehan melirik ke arah Luphi, wajahnya terlihat ketakutan saat gadis itu memasuki mobilnya tadi, terlihat jelas dengan getaran yang di rasakan Luphi. Di balik lusuh dan berantakan penampilan Luphi, terlihat wajah cantik yang alami serta rambut panjang sebahu, yang ikat ekor kuda, tapi kini sudah berantakan, mungkin akibat di kejaran para preman tadi.
“Maafkan saya, Pak. Jika saya merepotkan Bapak,” ucap Luphi membuyarkan lamunan Dehan.
“Aku tidak setua itu untuk kau panggil Bapak!” ucap Dehan.
“jadi saya harus memanggil Anda siapa?”
“Panggil, Mas!” ucap Dehan.
“Hah?” Luphi tercengang atas ucapan Dehan.
“Apa aku setua itu untuk di panggil, Mas?” tanya Dehan yang melihat raut terkejut pada wajah Luphi.
“Tidak.”
“Aku tidak suka di panggil Bapak atau, Tuan. Bagiku itu sangat tidak berperikekeluargaan,” ucap Dehan.
Lagi-lagi ucapan Dehan membuat Luphi tercengang, biasanya memang begitu kan? Jika orang yang berpenampilan seperti pria di sampingnya itu akan senang di panggil Tuan atau Bapak, tapi pria ini justru sebaliknya, dan alasannya juga sangat manusiawi bagi Luphi.
“Maaf, Mbak. Rumah Mbak masuk jalan yang mana ya?” tanya sopirnya Dehan.
“Saya turun di sini saja Pak,” ucap Luphi.
“Katakan di mana kontrakanmu,” ucap Dehan dengan suara tegas, dan hal itu membuat Luphi merinding.
“Baiklah masuk di jalan yang itu, nanti tempatnya tidak jauh dari sana,” ucap Luphi.
“Kenapa ramai sekali di sana?” tanya Dehan seraya melihat ke arah depan.
“Astagfirullah!” pekik Luphi seraya bergegas turun dari mobil Dehan dan segera lari ke kontrakan miliknya.
“Tunggu saya sebentar ya, Pak,” ucap Dehan.
“Ibu! Ya Allah. Ibu kenapa, Pak, Bu?” teriak Luphi yang melihat Ibunya di bopong banyak orang.
“Ibumu tadi pingsan saat duduk di luar, Phi.”
“Ibu!” panggil Luphi seraya menangis.
“Kita bawa ke rumah sakit sekarang, dan tolong masukkan ke mobil saya,” ucap Dehan. Tanpa menunggu lama lagi, para warga membawa Bu Rosma menuju mobil Dehan, di ikuti Luphi yang terus saja menangis.
“Bisakah salah satu dari kalian ikut dengan kami ke rumah sakit untuk menemani Luphidah?” tanya Dehan.
“Biarkan istri saya yang ikut kalian,” ucap pak RT.
Kini mereka pun membawa Bu Rosma ke rumah sakit, sepanjang perjalanan Luphi tak henti-hentinya menangis, menepuk-nepuk pipi Bu Rosma. Tangisannya pilu menandakan jika ia benar-benar takut, takut kehilangan satu-satunya keluarga, takut untuk menghadapi hal yang tidak-tidak. Sementara Dehan merasa kasihan mendengar tangisan Luphi, tapi ia tak bisa berbuat banyak selain mengantarkan ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit Bu Rosma pun segera di tangani oleh tim dokter, sementara Dehan mengurus administrasi untuk Bu Rosma.
“Iya, Bun,” ucap Dehan saat sang Bunda meneleponnya.
"kamu di mana? kenapa belum pulang? katanya pulang cepat?"
“Maafkan aku, Bun. Sepertinya aku pulangnya telat, aku tengah membantu temanku, ibunya masuk rumah sakit,” ucap Dehan.
"Ya sudah kalau begitu, hati-hati nanti pulangnya. assalamualaikum."
“Waalaikumsalam, Bun.”
Dehan pun menutup sambungan teleponnya. Ya, tadinya Dehan mengatakan jika hari ini ia akan pulang siang, karena pekerjaannya telah selesai. Namun siapa yang menyangka jika ia bertemu dengan Luphi dan menolong gadis itu membawa Ibu gadis itu ke rumah sakit.
“Maaf, Nak. Anda siapa ya?” tanya Bu RT pada Dehan.
“Saya temannya Luphi, Bu,” jawab Dehan.
“Terima kasih karena sudah menolong dia, dia adalah gadis yang baik, mandiri dan juga sangat menyayangi kedua orang tuanya, meskipun hanya orang tua angkat, tapi Luphi sangat menyayangi kedua orang tuanya. Dan kini hanya tinggal sang Ibu yang ada, Ayahnya sudah tiada beberapa tahun lalu,” ucap Bu RT.
Dehan terkejut mendengar ucapan Bu RT tersebut, ternyata Luphi adalah anak angkat dari perempuan yang tadi pingsan.
“Ibunya, Luphi sakit apa ya, Bu?” tanya Dehan.
“Saya kurang tahu, tapi Ibunya memang sudah tua, mungkin saja sakit karena usia,” ucap Bu RT.
Dehan mengangguk mendengar ucapan Bu RT, seraya melihat sosok Luphi yang tengah duduk di bangku depan ruangan sang Ibu di tangani. Dehan melihat air mata terus mengalir di pipi Luphi. Tangannya menangkup seakan mengucapkan segala harapan pada Tuhan. Pakaian yang lusuh dan masih terdapat beberapa robekan di sikunya. Membuat Luphi terlihat semakin memprihatinkan. Dehan meminta pada sopirnya untuk membelikan baju untuk Luphi.
“Ganti, bajumu!” ucap Dehan seraya memberikan tas kertas pada Luphi.
Luphi kaget saat Dehan mengulurkan tas itu pada dirinya.
“Terima kasih, tapi saya masih ingin menunggu Ibu,” ucap Luphi.
“Phi, sebaiknya kamu ganti baju dulu. Lihatlah kondisimu, jika Ibumu nanti sadar dan melihatmu seperti ini dia akan kaget,” ucap Bu RT.
Akhirnya Luphi pun mengambil tas pemberian Dehan dan segera berganti pakaian di salah satu kamar mandi yang terdapat di rumah sakit tersebut. Sementara Bu RT cukup penasaran pada Dehan, pria itu terlihat sangat hangat pada Luphi.
“Maaf, sebenarnya apa yang terjadi pada Luphi?” tanya Bu RT.
“Tadi kami tidak sengaja bertemu di pasar, dan sopir saya menabrak dirinya,” ucap Dehan.
“Astagfirullah, jadi itu yang menyebabkan dia seperti itu? Tapi syukurlah melihat dia tidak apa-apa, Ibu tidak merasa khawatir lagi,” ucap Bu RT terlihat lega.
Setelah selesai ganti baju, Luphi kembali duduk di depan ruangan sang Ibu. Dehan melihat penampilan Luphi dengan saksama, baju berlengan panjang berwarna coklat muda serta celana warna hitam, terlihat sangat pas di tubuh Luphi.
“Cantik!” gumam Dehan pelan.
Pintu ruangan pun terbuka, setelah tiga puluh menit berlalu akhirnya sosok dokter pun keluar dari ruangan itu.
“Bagaimana keadaan Ibu saya, Dok?” tanya Luphi khawatir.
“Maafkan kami, kami sudah berusaha sebisa mungkin, tapi nyawa Ibu kamu tidak bisa kami selamatkan, penyumbatan pada pembuluh darahnya sudah tidak bisa kami tolong.”
“IBU ...!” Luphi berlari masuk ke dalam ruangan sang ibu.
“Ibu ...! Bangun Bu, Luphi mohon bangun, Bu. Jangan tinggalkan Luphi. IBU ...! BANGUN BU ...! Luphi mohon Bu ...!” teriakan demi teriakan keluar dari mulut Luphi. Namun sayang, hal itu sama sekali tak bisa menggerakkan sebuah raga yang sudah tak bernyawa lagi. Tangisan pilu terdengar di seluruh penjuru ruangan tersebut, dengan sebuah harapan hampa, Luphi mengguncang tubuh kaku sang Ibu.
Dengan spontan, Dehan mendekati Luphi, dan entah keberanian dari mana, ia memeluk tubuh Luphi yang mulai melemah akibat tangisannya dengan getaran hebat dari tubuh Luphi Dehan mencoba menenangkan Luphi. Tanpa terasa air matanya pun ikut menetes, hatinya seperti tersayat mendengar tangisan pilu Luphi, tangisan penuh kesakitan, penuh kehancuran dan juga kesedihan yang tak bisa ia gambarkan seperti apa rasanya. Tangannya terus terulur mengusap punggung Luphi.
“Tenanglah, ada aku di sini,” ucap Dehan.