Tubuh mungil yang bergetar hebat mengeluarkan segala kesedihan dan juga kesakitan yang tak kasat mata, dengan setia Dehan masih memeluk tubuh Luphi yang semakin terasa lemas, hingga kesadaran gadis itu pun hilang. Dengan sigap Dehan membawa tubuh Luphi menuju bangku dan sedikit memberinya minyak angin agar Luphi segera sadar. Sementara jenazah ibunya Luphi sudah mau di pulangkan untuk di makamkan. Semua keperluannya telah Dehan urus bahkan administrasi pun sudah selesai. Saat Luphi sadarkan diri, gadis itu kembali meraung memanggil nama sang Ibu yang selama ini menjadi segalanya dalam hidupnya. Rasa tak rela dan juga tidak ikhlas menyelimuti perasaan Luphi, seolah takdir mempermainkan hidupnya, dulu ia di buang oleh orang tua kandungnya, saat beranjak dewasa ia harus kehilangan Ayah angkatnya, dan kini ia harus kehilangan ibu angkatnya, satu-satunya keluarga yang ia miliki. Luphi tidak tahu apakah kedua orang tua angkatnya itu memiliki saudara atau tidak, dulu mereka tidak pernah bercerita tentang hal itu pada Luphi.
“Ibu,” ucap Luphi lirih.
“Doakan yang terbaik untuk Ibumu, Beliau akan sedih melihatmu seperti ini,” ucap Dehan lembut seraya mengusap bahu Luphi.
Kini keduanya berada di mobil Dehan, tadinya Luphi mau ikut naik ambulans untuk mendampingi jenazah sang Ibu, tapi sebelum Luphi naik ke mobil ambulance dirinya sudah tak sadarkan diri, hingga Dehan harus menggendongnya ke dalam mobil milik Dehan.
“Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Aku sendirian di sini. Andaikan tadi pagi aku tidak pergi berjualan mungkin aku masih sempat membawa Ibu ke rumah sakit lebih awal,” ucap Luphi.
“Sudah, tenanglah. Doakan saja Beliau, jika kamu berlarut-larut dalam kesedihan Beliau akan sedih di sana,” ucap Dehan.
Luphi hanya mengangguk seraya mencoba menenangkan hatinya, namun entah seberapa banyak sumber air mata yang ia punya hingga tak kunjung mengering sampai di rumahnya pun air mata Luphi semakin deras mengalir. Dengan berlari Luphi mendekat ke arah jenazah sang Ibu yang sudah terbaring kaku. Sosok Ibu yang merawat dan menyayangi Luphi dengan sepenuh hati, mencintai Luphi tanpa pamrih. Satu-satunya tumpuan hidup Luphi telah pergi menghadap Sang Khalid.
“Ibu. Maafkan Luphi. Maaf!” ucap Luphi lemah.
“Phi, yang sabar ya Nak. Doakan yang terbaik buat Bu Rosma, jangan merasa bersalah Nak,” ucap beberapa tetangga Luphi.
Sementara Dehan yang masih berada di sana, melihat gadis yang sekarang tengah menangis, matanya sembab wajahnya memerah rambut kusut dan juga air mata yang tak kunjung mengering, membuat Dehan ingin memeluk tubuh mungil yang terlihat tak berdaya itu. Namun ia sadar dirinya hanya orang asing bagi Luphi, gadis yang baru tadi siang ia kenal dan gadis yang mampu membuatnya tertarik saat pandangan pertama.
“Maaf, Anda siapa?” tanya seorang pria paruh baya pada Dehan.
“Saya, temannya Luphi,” jawab Dehan. Namun pria yang Dehan tahu adalah ketua RT di sana menatapnya dengan tatapan heran, mungkin karena terlihat sekali usia Dehan jauh di atas Luphi.
“Maaf, Pak. Saya hanya orang yang biasa mengantar Mama ke pasar untuk membeli dagangan Luphi, dan tadi pagi saya tidak sengaja bertemu Luphi saat dia di kejar oleh preman,” ucap Dehan mencoba menjelaskan agar tidak timbul fitnah.
“Oh, begitu.”
“Apa pemakaman akan di langsungkan sekarang juga Pak?” tanya Dehan.
“Iya, sebentar lagi akan kami makamkan. Kasihan jika harus menunggu besok pagi, dan Luphi juga menyetujui hal itu,” ucap Pak RT tersebut.
Dehan hanya mengangguk, ia memutuskan untuk menunggu pemakaman ibunya Luphi selesai setelah itu baru ia akan pulang, tadi ia sudah mengabari Mamanya soal hal ini, dan Mamanya memaklumi hal itu.
Setelah acara pemakaman Ibunya Luphi selesai, semua warga yang melayat pamit untuk pulang karena waktu sudah cukup malam. Namun tidak dengan Luphi, gadis itu masih setia memeluk batu nisan sang ibu, saat Bu RT mengajaknya pulang Luphi hanya menggeleng tanpa berbicara sedikit pun, hingga Dehan menarik paksa tangan Luphi dan memasukkannya ke dalam mobilnya bersama Bu RT juga.
“Kenapa kalian memaksaku pulang? Aku ingin menemani Ibu, ibu sendirian di sana dia pasti kedinginan ...!" teriak Luphi.
“Nak, sadarlah. Besok kita ke makam lagi ya, ini sudah malam,” ucap Bu RT mencoba menenangkan Luphi.
“Ibu tidak tahu perasaan ku, ibu tidak tahu rasa kehilangan yang aku rasakan, aku hanya ingin menemani Ibu, apa itu salah? Kenapa kalian tidak mengerti sama sekali,” ucap Luphi seraya menangis.
“BERHENTI!” ucap Dehan pada sang sopir, dan sopirnya pun seketika menghentikan mobilnya.
“Kamu ingin menemani ibumu kan? Turun dan ayo aku akan membunuhmu di sini agar kamu bisa menyusul Ibumu, setelah itu jangan harap Ibumu akan mau melihat wajahmu di sana, karena dia akan kecewa melihat anak yang selalu Beliau banggakan menjadi lemah seperti ini,” ucap Dehan dingin. Luphi dan Bu RT terdiam mendengar nada bicara Dehan.
“Bukan itu maksudku," ucap Luphi lemah seraya kembali menangis.
“Kamu tidak kasihan sama orang-orang yang peduli denganmu? Mereka semua selalu mempedulikan dirimu, menemanimu saat seperti ini hingga larut malam. Apa kamu akan bersikap egois dengan meminta mereka menungguimu di makam semalaman?” tanya Dehan.
“Aku tidak minta di temani, ak–“
“Ya, dasar gadis remaja, labil. Semua orang tahu perasaanmu, maka dari itu mereka peduli padamu. Apa kamu pikir mereka akan membiarkan seorang gadis menangis sendirian semalaman di makam? Tidak Nona. Mereka punya perasaan dan mereka peduli padamu maka mereka juga akan menemanimu sepanjang malam. Pikirkan hal itu baik-baik! Apa kamu mengerti?” entah angin apa yang membuat Luphi mengangguk mendengar ucapan Dehan.
“Jalan, Pak,” ucap Dehan pada sopirnya.
Mobil Dehan pun kembali melaju menuju rumah Luphi. Sementara Luphi masih sesenggukan meratapi nasibnya yang entah akan seperti apa kedepannya nanti. Setelah sampai di kediamannya Luphi memasuki kamarnya dan mengunci diri dari dalam.
“Biarkan saja Bu. Besok kalau ada apa-apa tolong hubungi saya, ini nomer ponsel saya,” ucap Dehan seraya memberikan secarik kertas.
“Baiklah, terima kasih, Nak,” ucap Bu RT.
Dehan pun berpamitan pada Bu RT dan Pak RT untuk pulang.
“Maafkan saya, Pak. Karena kejadian ini Bapak harus pulang malam,” ucap Dehan pada sang sopir.
“Tidak apa-apa, Mas. Kita sebagai manusia harus saling membantu.”
“Ini, Pak. Besok berikan pada Aulia, buat uang sakunya,” ucap Dehan seraya memberikan dua lembar uang seratus ribu pada sopirnya.
“Tidak perlu, Mas. Saya ikhlas membatu Nona tadi,” ucap sang sopir yang bernama Pak Doko tersebut.
“Saya juga ikhlas memberikan ini pada Aulia, Pak. Tolong di terima.”
Akhirnya Pak Doko pun menerimanya dan mengucapkan terima kasih pada Dehan. Aulia adalah cucu Pak Doko yang sekarang tengah duduk di bangku kelas empat SD, terkadang jika libur sekolah gadis kecil itu akan ikut Pak Doko ke rumah Dehan. Orang tua Aulia meninggal karena kecelakaan, hingga Pak Doko dan sang istrilah yang harus merawat Aulia.
“Mobilnya Bapak bawa saja. Besok saya berangkat jam sepuluh, jadi Bapak bisa beristirahat sejenak di rumah,” ucap Dehan saat sudah tiba di rumahnya.
“Baik, Mas.”
“Hati-hati di jalan, Pak,” ucap Dehan.
Kaki Dehan melangkah, memasuki pelataran rumahnya, ah rumah orang tuanya tepatnya. Dengan rasa lelah dan juga mengantuk Dehan berjalan dengan lesu memasuki rumah besar itu. Sebenarnya Dehan memiliki rumah sendiri, hanya saja jaraknya terlalu jauh dari kantornya hingga ia memutuskan untuk singgah di rumah orang tuanya saja.
“Tumben baru pulang, Mas?” tanya adiknya Dehan yang tengah asyik menarikan jemarinya dibatas keyboard laptop.
“Ada urusan mendadak. Kenapa kamu belum tidur?”
“Tinggal sedikit lagi, Mas, tanggung.”
“Cepat selesaikan tugasmu dan langsung pergi tidur,” ucap Dehan. Dan adiknya itu hanya mengangguk mendengar ucapan kakaknya.