Hari ini menjadi hari yang begitu melelahkan bagi Gendis. Selain lelah bekerja, dia juga begitu lelah menghindari Joni, manager yang terus berusaha untuk bicara empat mata dengannya perihal dia yang masuk ke kamar tamu vvip dan menyerahkan mahkotanya. Pada jam pulang pun, Gendis masih harus mencari cara agar Joni tidak mengikutinya ataupun mengantar dia pulang.
Namun begitu Gendis tiba di rumah, matanya membelalak menatap dua mobil mewah yang dia tahu siapa pemilik mobil tersebut sedang terparkir di depan kontrakannya itu. Bahkan beberapa tetangga yang sedang duduk santai di depan rumah terlihat saling berbisik menatap Gendis dengan tatapan aneh.
Sebenarnya Gendis selama ini jadi bahan ghibah tetangganya karena dia bekerja di hotel. Apalagi saat Joni yang telah diketahui sudah beristri cukup sering menemui orang tua Gendis. Sekarang yang semakin membuat Gendis geram adalah adanya mobil Adam sedang bersanding dengan mobil Joni.
Kontrakan tempat Gendis tinggal memang mempunyai parkir yang cukup untuk tiga mobil berjejer. Selain kontrakan tersebut ada di barisan pertama, tempat tinggal Gendis sejak kecil itu masih cukup asri dengan beberapa pohon tinggi menjulang karena memang masih bisa dibilang pedesaan.
"Gendis pulang," ujar Gendis begitu kedua kakinya masuk dengan malasnya karena dia akan bertemu dengan para pria yang membuatnya kesal. Apalagi pria bernama Adam.
"Eh, Nak! Akhirnya datang juga. Sini! Udah ditungguin dari tadi, loh!" sahut Ayah Pendi sangat antusias melihat anak gadisnya pulang. Sang Ayah tidak pernah menyangka jika Gendis akan dikelilingi pria kaya yang menginginkannya menjadi istri. Bahkan istri kedua pun Ayah Pendi tidak jadi masalah asalkan pernikahan anaknya itu cukup menguntungkan.
Ayah Pendi pikir hanya juragan Barat dan Joni yang berminat menikahi Gendis dengan iming-iming mahar besar, tetapi dengan hadirnya Adam yang mengaku telah berpacaran dengan Gendis cukup lama, membuat sang Ayah semakin senang sebab akan menerima banyak uang dari laki-laki yang menyukai anaknya itu.
"Gendis capek, mau istirahat," sahut Gendis tanpa menoleh sedikitpun untuk melihat Adam ataupun Joni yang sedang duduk bersila di atas karpet di ruangan berukuran empat meter persegi itu.
Ayah Pendi tentu saja kesal dengan sikap tidak sopan Gendis. Bahkan menyapa tamu saja tidak mau dan malah akan langsung masuk ke kamarnya dengan alasan capek. Akhirnya sebelum Gendis benar-benar masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu, Ayah Pendi segera menarik tangan Gendis untuk diajak ke dapur.
"Apa-apaan kamu, hah! Siapa yang ngajarin kamu jadi anak nggak sopan seperti itu? Kamu nggak liat ada tamu yang nungguin kamu sejak tadi?" geram Ayah Pendi seraya menekan pergelangan tangan Gendis tanpa sadar.
"Gendis ini anak Ayah, jadi sifat Gendis udah pasti sifat turunan dari Ayah. Kenapa Ayah tanya siapa yang ngajarin Gendis begini?" sahut Gendis dengan sinisnya. Padahal sebelumnya Gendis selalu bisa sabar dan menjaga ucapan pada kedua orang tuanya. Entah kenapa sore yang melelahkan itu membuat Gendis tidak bisa untuk berpura-pura baik.
"Anak kurang ajar!" pekik Ayah Pendi seraya melayangkan tangan. Namun sebelum tangan itu mendarat di pipi Gendis, Ibu Gina sudah menahan tangan tersebut.
"Cukup, Yah! Gendis pasti punya alasan bersikap begini. Ayah ini seharusnya jadi Ayah yang mengayomi dan mendukung juga melindungi anaknya. Tapi hanya demi uang, Ayah mau menampar anak Ayah sendiri?" Ibu Gina pun menepis kasar tangan suaminya kemudian menarik Gendis agar sedikit menjauh dari sang ayah.
"Ya, baiklah! Ayah minta maaf. Setidaknya pilih salah satu dari mereka dan segeralah menikah," kata Ayah Pendi terpaksa mengalah.
"Nggak! Gendis masih dua puluh tahun. Gendis masih ingin bebas, bukan menikah dengan laki-laki yang nggak Gendis cintai. Karena kalau Gendis paksakan untuk menikah, maka sudah bisa Gendis pastikan akan mendapatkan suami yang nggak jauh beda sifatnya seperti Ayah," jawab Gendis semakin membuat Ayah Pendi tersulut emosi.
"Kamu!" Ayah Pendi kembali melayangkan tangannya. Kali ini dia benar-benar marah dengan sikap Gendis yang membangkang. Apalagi dia mengatakan tidak mencintai salah satu dari mereka yang jelas-jelas Adam bilang kalau dia dan Gendis adalah pasangan kekasih.
"Yah, tolong … mengerti keadaan Gendis. Adam menang pernah janji melamar Gendis setelah orang tuanya pulang dari Bali. Tapi semalam Gendis memergoki dia tidur dengan wanita lain di hotel. Sedangkan Tuan Jo … dia mencoba melecehkan Gendis. Mereka nggak ada yang tulus mencintai Gendis, Yah. Apa Ayah nggak mau liat Gendis bahagia dengan keluarga Gendis? Ayah mau Gendis hanya jadi istri pelampiasan aja? Apa Ayah nggak punya hati sama sekali dengan teganya memaksa anak satu-satunya Ayah ini demi mendapatkan banyak uang lalu uang itu untuk mabuk dan judi?"
Ayah Pendi pun menurunkan tangannya. Kini dia berbalik badan menghadap dinding kemudian memukul dinding tersebut hingga tangannya memerah. Sebenarnya cukup berat melawan rasa marah dengan rasa sayangnya pada Gendis. Namun perkataan Gendis kali ini benar-benar membuat Ayah Pendi tidak berkutik.
"Yah, Ibu mohon … hormati keputusan Gendis. Dia anak kita satu-satunya yang dulu kita nantikan setelah dua tahun pernikahan kita. Sekarang Ayah seolah mau menjualnya begitu saja demi uang? Demi kesenangan sesaat?" ujar Ibu Gina kemudian memeluk Gendis dan membelai rambut panjangnya. "Ibu nggak akan rela liat kamu menderita, Nak. Ibu selalu berdoa supaya kamu mendapat suami yang baik dan sangat mencintai kamu, Nak," lanjut Ibu Gina diiringi tetesan air mata.
"Arghh!" Ayah Pendi pun pergi kembali ke ruang tamu untuk menemui Adam juga Tuan Joni.
"Mana Gendis, Pak?" tanya Adam juga Tuan Jo secara bersamaan. Keduanya pun saling melirik sinis karena tidak mau terlihat kompak menanyakan keberadaan Gendis.
"Maaf! Tapi Gendis belum bisa menemui kalian. Dia benar-benar lelah." Entah angin apa yang membuat Ayah Pendi bersikap lembut dan membela Gendis kali ini.
Terlihat jelas kekecewaan dimata Adam juga Tuan Jo. Keduanya kembali kompak menghela napas panjang. Namun tentu saja uang akan bicara dan membuat Ayah Pendi kembali berubah pikiran.
"Ini ada sedikit rezeki dari saya, Pak. Anggap aja sebagai tanda perkenalan kita. Kalau Gendis sudah ada waktu, tolong hubungi saya." Adam menyodorkan sebuah amplop berwarna coklat yang Joni perkiraan isinya adalah uang sepuluh juta. Dia juga memberikan kartu nama pada Ayah Pendi di atas amplop coklat tersebut.
Joni pun menyunggingkan senyum. Dia tidak mau kalah merebut hati Ayah Dedi dengan sogokan uang. Setelah uang yang Adam sodorkan itu diterima oleh Ayah Dedi, dia melirik sinis juga menyunggingkan senyum pada Joni seolah sedang meremehkannya.
Tentu saja Joni tidak mau kalah. Joni segera merogoh tas kerjanya dan mengeluarkan dua gepok uang berwarna merah tanpa amplop dan meletakkan uang itu tepat di sisi uang pemberian Adam. "Ini tanda sayang saya sebagai calon menantu, Pak," ucap Joni lalu membalas tatapan meremehkan Adam.
Melihat uang yang cukup banyak di depannya, Ayah Pendi langsung meraih dan memeluk uang tersebut. "Wah … kalian benar-benar baik. Saya akan berusaha membujuk Gendis. Tapi tentu saja saya hanya akan dominan pada satu orang saja. Maksudnya satu orang yang paling banyak memberikan mahar nantinya," ucap Ayah Pendi dengan tawa jahatnya.